Kumpulan Artikel Akuntansi Syariah

Ini adalah kumpulan artikel yang dikumpulkan mahasiswa akuntansi dari berbagai sumber yang ada di perpustakaan, website dan jurnal yang relevan…semoga bisa dimanfaatkan


144 respons untuk ‘Kumpulan Artikel Akuntansi Syariah

    Ami Sulistami Mahmudah said:
    Februari 21, 2009 pukul 11:01 am

    AKUNTANSI SYARIAH BIDANG BARU STUDI AKUNTANSI DALAM KONTEKS EPISTIMOLOGI ISLAM
    By Parno

    A. PENDAHULUAN
    Seiring dengan meningkatnya rasa keberagamaan (religiusitas) masyarakat Muslim menjalankan syariah Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi, semakin banyak institusi bisnis Islami yang menjalankan kegiatan operasional dan usahanya berlandaskan prinsip syariah. Untuk mengelola institusi Islami ini diperlukan pencatata transaksi dan pelaporan keuangan. Pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan dengan karakteristik tertentu yang sesuai dengan syariah. Pencatatan transaksi dan pelaporan keuangan yang diterapkan pada institusi bisnis Islami inilah yang kemudian berkembang menjadi akuntansi syariah. Akuntansi syariah (shari’a accounting) menurut Karim (1990) merupakan bidang baru dalam studi akuntansi yang dikembangkan berlandaskan nilai-nilai, etika dan syariah Islam, oleh karenanya dikenal juga sebagai akuntansi Islam (Islamic Accounting).
    Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dan berarti, terutama mengenai kerangka teori yang mendasari dituntur mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karim(1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar kontruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi.
    Demikian halnya dengan kontruksi akuntansi konvensional menjadi akuntansi Islam (syariah) yang lahir dari nilai-nilai budaya masyarakat dan ajaran syariah Islam yang dipraktikan dalam kehidupan sosial-ekonomi (Hammed:1997). Akuntansi syariah dapat dipandang sebagai kontruksi sosial masyarakat Islam guna menerapkan ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi. Akuntansi syariah merupakan sub-sistem dari system ekonomi dan keuangan Islam, digunakan sebagai instrument pendukung penerapan nilai-nilai Islami dalam ranah akuntansi, fungsi utamanya adalah sebagai alat manajemen menyediakan informasi kepada pihak internal dan eksternal organisasi (Hasyshi: 1986; Baydoun dan Willet, 2000 serta Harahap, 2001).
    Motivasi para pakar dan akademisi akuntansi terutama dari kalangan orang-orang Muslim guna mengkaji dan mengembangkan akuntansi syariah semakin meningkat. Setelah mengetahui beberapa peneliti (Gray, 1988; Perera, 1989; Hamid et al., 1993; Baydoun dan Willet, 1994) yang menguji hubungan antara budaya, religi dan akuntansi, menyatakan bahwa budaya secara umum dan Islam secara khusus mempengaruhi bentuk-bentuk akuntansinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaffikin dan Triyuwono (1996) akuntansi adalah refleksi dari sebuah realitas yang idealnya dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai dan etika. Nilai-nilai dan etika orang Muslim adalah syariah, maka alternatif terbaik pengembangan akuntansi syariah adalah menggunakan pemikiran yang sesuai dengan syariah. Untuk memahami pengertian akuntansi syariah, dapat mengacu pada definisi akuntansi syariah yang dikemukakan oleh Hameed (2003) yaitu:
    Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar kontruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi.
    Demikian halnya dengan kontruksi akuntansi konvensional menjadi akuntansi Islam (syariah) yang lahir dari nilai-nilai budaya masyarakat dan ajaran Islam yang dipraktikan dalam kehidupan sosial-ekonomi (Hameed, 1997). Oleh karenanya akuntansi syariah dapat dipandang sebagai kontruksi sosial masyarakat Islam guna menerapkan praktik-praktik ekonomi Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi.

    B. Akuntansi Syariah dan Epistimologi Islam
    Kerangka konseptual akuntansi syariah sebagaimana telah dikemukakan di atas dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi Islam. Epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan, secara harfiah epistimologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan (Suria Sumantri, 1991). Dalam lingkup filsafat ilmu, epistimologi mengandung pengertian sebagai metode memperoleh pengetahuan agar memiliki karakteristik, kebenaran, dan nilai-nilai tertentu sebagai ilmu (Chalmers, 1991).
    Dalam konteks epistimologi sebagai metode memperoleh pengetahuan ilmu, epistimologi Islam diperlukan guna memperoleh pengetahuan yang diharapkan memiliki karakteristik, kebenaran dan nilai-nilai Islami. Epistimologi Islam adalah metode memperoleh pengetahuan ilmu yang Islami melalui proses penalaran yang sistematis, logis dan sangat mendalam menggunakan “ijtihad” yang dibangun atas kesadaran sebagai khalifatullah fii-ardl (lihat Syafi’i, 2000 dan Triyuwono, 2000).
    Prinsip dasar paradigma syariah merupakan multi paradigma yang holistic, mencakup keseluruhan dimensi wilayah mikro dan makro dalam kehidupan manusia yang saling terkait. Pertama, dimensi mikro prinsip dasar paradigma syariah adalah individu yang beriman kepada Allah SWT (tauhid) serta mentaati segala aturan dan larangan yang tertuang dalam Al-Qur’an,Al Hadits, Fiqh, dan hasil ijtihad. Landasan tauhid diperlukan untuk mencapai tujuan syariah yaitu menciptakan keadilan sosial (al a’dl dan al ihsan) serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Pencapaian tujuan syariah tersebut dilakukan menggunakan etika dan motal iman (faith), taqwa (piety), kebaikan (righteoneus/birr), ibadah (worship), tanggungjawab (responsibility/fardh), usaha (free will/ikhtiyar), hubungan dengan Allah dan manusia (Habluminallah dan Habluminannas), serta barokah (blessing).
    Kedua, dimensi makro prinsip syariah adalah meliputi wilayah politik,ekonomi dan sosial. Dalam dimensi politik, menjunjung tinggi musyawarah dan kerjasama. Sedangkan dalam dimensi ekonomi, melakukan usaha halal, mematuhi larangan bunga, dan memenuhi kewajiban zakat. Selanjutnya dalam dimensi sosial yaitu mengutamakan kepentingan umum dan amanah.
    Dalam kerangka konseptual akuntansi syariah tersebut di atas, dinyatakan bahwa tujuan diselenggarakannya akuntansi syariah adalah mencapai keadilan sosial-ekonomi; dan sebagai sarana ibadah memenuhi kewajiban kepada Allah SWT, lingkungan dan individu melalui keterlibatan institusi dalam kegiatan ekonomi. Produk akhir teknik akuntansi syariah adalah informasi akuntansi yang akurat untuk menghitung zakat dan pertanggungjawaban kepada Allah SWT dengan berlandaskan moral, iman dan taqwa.
    Dengan demikian dalam hal akuntansi syariah sebagai alat pertanggungjawaban, diwakili informasi akuntansi syariah dalam bentuk laporan keuangan yang sesuai dengan syariah yaitu mematuhi prinsip full disclousure. Laporan keuangan akuntansi syariah tidak lagi berorientasi pada maksimasi laba, akan tetapi membawa pesan modal dalam menstimuli perilaku etis dan adil terhadap semua pihak. Jenis laporan keuangan akuntansi syariah yang memenuhi criteria ini menurut Harahap (2000) meliputi”
    Neraca, yang menyajikan pula Laporan Sumberdaya Manusia. Laporan Nilai Tambah (Value Added Reporting) yang menyajikan semua hasil yang diperoleh perusahaan darikontribusi semua pihak yang terkait dengan entitas, dan kemudian mendistribusikannya secara adil. Laporan Arus Kas (Cash Flow). Laporan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan (Socio Economy Accounting Reporting). Catatan atas Laporan Keuangan, mengenai implementasi syariah misalnya zakat, infaq, shodaqoh, transaksi haram, dan laporan dewan syariah. Melaporkan good governance, mengenai produksi, efisiensi, produktivitas, dan laporan lainnya yang relevan.

    C. PENUTUP
    Akuntansi syariah yang lahir dari nilai-nilai dan ajaran syariah Islam seiring dengan meningkatnya religiusitas masyarakat Islam dan semakin banyaknya entitas ekonomi yang menjalankan usahanya berlandaskan prinsip syariah. Merupakan sebuah fenomena perkembangan akuntansi sebagai idiologi masyarakat Islam dalam menerapkan ekonomi Islami dalam kehidupan sosial-ekonominya. Akuntansi syariah merupakan bidang baru dalam kajian akuntansi yang memiliki karakteristik unik berbeda dengan akuntansi konvensional, karena mengandung nilai-nilai kebenaran berlandaskan syariat Islam. Perolehan pengetahuan akuntansi syariah sebagai bagian dari ilmu akuntansi digali menggunakan pendekatan epistimologi Islam.
    Akuntansi syariah yang pertama kali diterapkan di Indonesia adalah akuntansi perbankan syariah. Standar akuntansi perbankan syariah dikeluarkan pada tanggal 1 Mei 2002 oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam dua buku, yaitu Buku Pertama, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (IAI, 2001). Buku Kedua, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Akuntansi Perbankan Syariah atau PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (IAI, 2001a). Standar ini diharapkan menjadi acuan dan ditaati oleh bank syariah dalam menyelenggarakan praktik akuntansi.
    Seiring dengan semakin banyaknya entitas ekonomi yang menerapkan praktik akuntansi syariah, akuntansi syariah perlu dikaji secara mendalam untuk diajarkan di perguruan tinggi. Pengajaran akuntansi syariah akan mengingkatkan akuntabilitas perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

    Sumber: http://agt122005.blogspot.com/2007/08/akuntansi syariah_15.html?zx=860b0fc631bbdfa

    Ridzki Muhamad Rhamdan said:
    Februari 21, 2009 pukul 11:16 am

    Akuntansi Syariah Sebagai Kontruksi Sosial

    Lebih dari satu decade yang lalu Francis (1990) telah mencoba menarik perhatian para akuntan agar melihat akuntansi tidak hanya sekedar sebagai angka-angka yang mencerminkan realitas ekonomi semata, akan tetapi melihat juga akuntansi sebagai praktik moral dan diskursif, seperti dikemukakan dalam pernyataan berikut:
    Akuntansi hendaknya dilihat sebagai praktik moral dan diskursif. Sebagai praktik moral, akuntansi secara idial dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi yang dipancarkan juga bernuansa etika, dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan etika tadi mendorong diciptakannya realitas ekonomi dan bisnis yang beretika. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang sebagai alat menyampaikan informasi kepada orang lain yang berpengaruh pada perilaku penggunanya (users), dan sebaliknya pengguna informasi akuntansi mempunyai kemampuan mempengaruhi akuntansi sebagai instrument bisnis (dalam Triyuwono 2000 dan 2001).
    Akuntansi menurut Tricker (Belkoui, 2001) adalah anak dari budaya masyarakat dimana akuntansi itu dipraktikan, lebih jauh dikemukakan bahwa nilai-nilai masyarakat mempunyai peran besar dalam mempengaruhi bentuk akuntansinya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada, Belkoui (2001) menyatakan bahwa akuntansi dapat dipandang sebagai idiologi yang menjadi instrument pendukung tatanan sosial-ekonomi suatu masyarakat.
    Lahirnya akuntansi syariah sebagai idiologi masyarakat Islam menerapkan praktik-praktik ekonomi Islami dalam tata kehidupan sosial-ekonominya, sejalan dengan teori colonial model yang dikemukakan oleh Gambling dan Karim (dalam Harahap, 2001:198, 208) sebagai berikut:
    “Seyogyanya suatu masyarakat melahirkan teori dan praktik ekonomi yang sesuai dengan idiologinya. Apabila idiologi yang dianut sebagian besar masyarakatnya adalah Islam, maka aturan yang dipakai seharusnya berakar pada syariat Islam. Dengan demikian system sosial, ekonomi, dan akuntansi yang diterapkan harus sesuai dengan syariat Islam (syariah). Islam memiliki syariah yang dipatuhi semua umatnya, maka wajarlah jika masyarakat Islam memiliki sistem ekonomi dan sistem akuntansi yang sesuai syariah”.
    Harahap (2001:23) mengemukakan bahwa akuntansi syariah adalah suatu bentuk akuntansi yang disusun berdasarkan pada pencapaian tujuan syariah, tujuan ekonomi Islam. Serta tujuan masyarakat Islam. Hal ini digambarkan dalam suatu hubungan antara akuntansi syariah dengan masyarakat Islam sebagai berikut:
    Keberadaan akauntansi syariah sebagai idiologi masyarakat Islam menerapkan ekonomi Islam dalam kehidupan sosial ekonomi, dikenali dari persyaratan mendasar yang harus dipenuhi dan tujuan diselenggarakan akuntansi syariah (Hameed, 2001). Persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh akuntansi syariah yaitu benar (truth), sah (valid), adil (justice), dan mengandung nilai-nilai kebaikan atau ihsan (benevolenc). Sedangkan tujuan diselenggarakan akuntansi syariah adalah memberikan informasi secara lengkap untuk mengetahui nilai dan kegiatan ekonomi yang bertentangan dan yang diperbolehkan oleh syariah; meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha; serta menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak yang berkepentingan (terkait) dalam suatu entitas ekonomi syariah berlandaskan pada konsep kejujuran, keadilan, kebajikan, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai dan etika bisnis Islami.
    Akuntansi syariah diperlukan oleh masyarakat Islam sebagai instrument pendukung menerapkan praktik ekonomi Islam dalam tata kehidupan sosial-ekonominya dengan dasar pertimbangan berikut (Yusoh dan Ismail, 2001 dalam Harahap, 2001);
    Adanya konsep kepemilikan yang diyakini oleh orang Islam bahwa harta dan kekayaan adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah penerima amanah yang harus mempertanggungjawabkan pemanfaatannya sesuai dengan syariah.
    Adanya konsep personal accountability yang harus dipatuhi oleh Islam dalam menjalin hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) dan menjalin hubungan dengan sesame manusia (hablum minannas).
    Adanya konsep distribusi kekayaan secara adil yang harus dilaksanakan oleh orang Islam yaitu melalui mekanisme kewajiban membayar zakat.
    Berangkat dari pengertian akuntansi sebagai idiologi, Baydoun dan Willet (2000:82) mengungkapkan adanya perbedaan yang sangat mendasar mengenai system, prinsip dan criteria akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah seperti disajikan dalam tabel Perbedaan Akuntansi Konvensional. Selain perbedaan system, prinsip dan criteria akuntansi syariah dibandingkan dengan akuntansi konvensional yang melahirkan suatu bentuk akuntansi syariah yang memiliki karakteristik unik, perbedaan yang lebih mendasar sebenarnya terletak pada kerangka konseptual yang mendasari kedua bentuk akuntansi tersebut.
    Kerangka konseptual akuntansi syariah, dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi Islam, sedangkan kerangka konseptual akuntansi konvensional dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi kapitalis. Penjelasannya secara mendalam mengenai kerangka konseptual syariah yang dirumuskan menggunakan pendekatan epistimologi Islam disajikan dalam uraian mengenai akuntansi syariah dalam konteks epistimologi Islam.

    Praktik Akuntansi Syariah

    Praktik akuntansi syariah yang pertama kali diterapkan di Indonesia adalah akuntansi perbankan syariah. Munculnya akuntansi perbankan syariah seiring dengan diterapkannya Islamic Banking System yang diakui legalitasnya dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang menganur dual banking system, dimana Islamic banking system diterapkan berdampingan dengan c0nvensional banking system. Dalam undang-undang perbankan ini ditegaskan bahwa lembaga perbankan yang dalam kegiatan oeprasionalnya menerapkan prinsip syariah dinyatakan sebagai “bank berdasarkan prinsip syariah” atau “bank syariah” (Setiadi, 2000 dan Usman, 2002).
    Sebagai konsekuensi diterapkannya prinsip syariah dalam kegiatan oeprasional perbankan di Indonesia, maka pada tanggal 1 Mei 2002 Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengeluarkan regulasi akuntansi perbankan syariah. Regulasi akuntansi perbankan syariah di Indonesia banyak mengadopsi dari Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAS-IFI) yang dihasilkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAO-IFI) pada tahun 1998. Standar akuntansi ini telah diterapkan oleh institusi keuangan Islam diberbagai negara seperti Araban, Iran, Sudan dan Malasyia.
    Regulasi akuntansi perbankan syariah dituangkan dalam buku, yaitu: Buku Pertama, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (IAI, 2001). Buku Kedua, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Akuntansi Perbankan Syariah atau PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah (IAI, 2001a) memuat standar teknis mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapannya dalam bentuk laporan keuangan dari setiap transaksi keuangan bank syariah yang meliputi mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah, wadhiah, qardh, transaksi berbasis imbalan zakat, infaq dan shadaqah.
    Standar akuntansi perbankan syariah diberlakukan secara efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan lembaga keuangan bank syariah periode yang dimulai atau setelah tanggal 1 Januari 2003. Sebelum dikeluarkan regulasi standar akuntansi perbankan syariah ini, pencatatan transaksi dan penyusunan laporan keuangan bank syariah menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Perbankan (PSAK No. 38) dengan berbagai penyesuaian yang menurut Harahap (2002) dan Triyuwono (2002) sering kali tidak sejalan dengan tujuan akuntansi keuangan bank syariah.
    Regulasi akuntansi perbankan syariah sesungguhnya merupakan fenomena praktik akuntansi yang berkembang dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Islam sebagai instrument menerapkan prinsip syariah dalam dunia perbankan. Seiring dengan semakin banyaknya lembaga perbankan yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah, praktik akuntansi perbankan syariah semakin luas dan berkembang.

    KESIMPULAN

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

    Sumber : http://agt122005.blogspot.com/2007/08/akuntansi-syariah_15.html

    AI PADILAH said:
    Februari 21, 2009 pukul 12:06 pm

    AKUNTANSI SYARIAH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS.
    1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis menurut Mulawarman menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi. Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan.
    Penelitian yang dilakukan Hameed dan Yaya yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    Terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah.
    2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba. Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang lebih luas. Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory, karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
    1. akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory.digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis.
    2. akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shariate ET.penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
    http://islamic-accounting.blogspot.com/2008/02/akuntansi-syariah-pengantar-1.html
    DISARIKAN DARI:
    Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syariah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
    Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.
    Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli
    Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
    Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
    Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syariah. Seminar Akuntansi Syari’ah, Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, 24 Nopember.

    Tita Sri Nurwenda said:
    Februari 21, 2009 pukul 12:30 pm

    Akuntansi Syariah
    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).
    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Penulis: M. Aqim Adlan Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.
    http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single

    RIZAL PAHLEVI Z (063403367) said:
    Februari 21, 2009 pukul 2:57 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah

    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Dalam Al Quran surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil.

    Dalam Islam, fungsi Auditing disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

    Dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
    sumber : http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/

    HANA HUJAEMAH said:
    Februari 22, 2009 pukul 7:48 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    • Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)-
    • diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Dalam Al Quran surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”. Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”. Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”.
    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

    Rika Widiyanti said:
    Februari 22, 2009 pukul 8:27 pm

    Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc
    Mekanisme Dasar Bank Syariah

    Sebagai sebuah lembaga intermediasi keuangan, mekanisme dasar bank syariah adalah menerima deposito dari pemilik modal (depositor) pada sisi liability-nya (kewajiban) untuk kemudian menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-free current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor. Sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.
    Untuk mencapai tujuan akuntansi yang bersifat standar, maka struktur dasar aktivitas investasi dapat kita bagi kedalam dua bagian, yaitu pertama, unrestricted investment accounts (rekening investasi tanpa batasan) dan yang kedua, yaitu restricted investment accounts (rekening investasi dengan batasan). Adapun maksud poin yang pertama adalah bank Islam memiliki kebebasan untuk menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara bersama-sama dengan modal pemilik bank. Sedangkan maksud pada poin yang kedua adalah pihak bank hanya bertindak sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang diterimanya dengan modal pemilik banknya tanpa persetujuan investor. Selain kedua hal tersebut, bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu, pada aspek pengenalan (recognition), pengukuran (measurement), dan pencatatan (recording) setiap transaksi pada sistem akuntansi bank syariah terdapat kesamaan dengan proses-proses yang terjadi pada sistem konvensional.
    Tujuan Akuntansi Keuangan
    Untuk menjaga konsistensi, baik yang bersifat internal maupun eksternal bank, maupun untuk menjamin kesesuaiannya dengan syariat Islam, maka kita perlu mendefinisikan tujuan standarisasi akuntansi keuangan pada bank syariah. Hal ini juga sebagai upaya untuk memberikan panduan umum didalam menentukan sejumlah pilihan berdasarkan alternatif-alternatif yang ada. Adapun tujuan sistem akuntansi keuangan ini adalah pertama, untuk menentukan hak dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan, seperti para depositor dan pemilik bank. Kemudian yang kedua adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan aset bank syariah, termasuk menjamin hak bank yang bersangkutan dan hak stakeholder lainnya. Yang ketiga, menjamin perbaikan manajemen dan kapabilitas produktif bank syariah agar senantiasa selaras dengan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan yang keempat adalah untuk menyediakan laporan keuangan yang berguna bagi para pemakainya ¡ªseperti pemegang saham, pemilik rekening, otoritas fiskal, dll¡ª sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang legitimate didalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan pihak bank syariah.
    Agar sebuah laporan keuangan tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka kualitas informasi yang diberikan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (i) asas manfaat, terutama bagi pihak pemakainya; (ii) relevansi antara laporan keuangan tersebut dengan tujuan pelaporannya; (iii) tingkat kepercayaan; (iv) komparabilitas, artinya dapat diperbandingkan berdasarkan periode waktu tertentu; (v) konsistensi, artinya metode yang digunakan konsisten dan tidak mudah berubah; dan (vi) mudah dipahami, serta tidak multi interpretasi. Selain keenam hal tersebut, informasi yang diberikan juga harus mencakup beberapa aspek. Pertama, informasi yang tersedia harus mampu menggambarkan pencapain tujuan yang ada dan konsistensinya dengan syariat. Jika bank melakukan deal pada transaksi yang diharamkan, misalnya terkait dengan sistem riba, maka harus dijelaskan secara detil mengenai pemisahan pencatatan transaksi tersebut. Dan yang kedua, informasi tersebut harus mampu membantu pihak luar bank untuk mengevaluasi rasio kecukupan modal, resiko investasi, likuiditas, dan berbagai aspek finansial perbankan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, sehingga kredibilitas bank dapat dipertanggungjawabkan.
    Tantangan kedepan
    Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun sistem auditing dan akuntansi yang bersifat standar bagi kalangan perbankan syariah. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh AAOIFI (the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang berbasis di Bahrain. Sejak berdiri pada tahun 1991, lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun tentu saja, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pakar dan praktisi perbankan syariah. Hal ini dikarenakan tantangan yang semakin besar, termasuk bagaimana bersaing secara sehat dan produktif dengan kalangan perbankan konvensional.
    Diantara tantangan yang terberat kedepannya adalah bagaimana menciptakan standar metodologi akuntansi terhadap beragam tipe pola atau skema pembiayaan perbankan syariah yang dapat diterima secara internasional. Kemudian juga adalah tantangan regulasi yang secara umum belum menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap sektor perbankan syariah. Namun penulis berkeyakinan, bila semua pihak tetap konsisten didalam menegakkan konsep perbankan syariah secara utuh, maka lambat laun perbankan syariah kedepannya memiliki harapan untuk dapat menggantikan sistem perbankan konvensional. Semoga. Wallahu`alam.

    Ditulis oleh:
    Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM IPB dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia)
    dan
    Laily Dwi Arsyianti (Mahasiswa Program S2 Keuangan Syariah IIU Malaysia)

    http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1074&Itemid=5

    Soni Setiawan said:
    Februari 23, 2009 pukul 1:00 am

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah

    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Namun dalam “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami). Diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/

    Nuni Nurbaedah, kls/c said:
    Februari 23, 2009 pukul 9:20 am

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
    http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/

    Mega Elvira Muthiasari said:
    Februari 23, 2009 pukul 9:27 am

    Menyibak Akuntansi Syariah :
    “Akuntansi Syari’ah Masih Fotokopi Akuntansi Konvensional”

    -UII News, Yogya – Pada saat ini banyakan kalangan memandang akuntansi hanya sebagai dari pencatatan dan pelaporan. Dimana Perusahaan hanya mencatatkan laba sebanyak-banyaknya. Subtansi konomi konvensional lebih pada self Interest. Ini dikuatkan oleh.Soros bahwa Akuntansi syariah berprinsip pada self interest atau sekularisme dalam akuntansi. Realitas ekonomi yang cenderung kapitalisme dengan karakteristik KKN, sarat dengan ciri otoritas kepentingan peribadi (self interest). Akibat dari rasionalitas konsumsi yang lebih mendukung individualisme dan self interest, maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai. Yang terjadi adalah munculnya berbagai ketimpangan dalam berbagai persoalan sosio-ekonomi. Untuk itu perlu menginjeksikan nilai-nilai (values) dalam sektor konsumsi sehingga tidak membahayakan bagi keselamatan manusia itu sendiri. Ekonomi yang dipandu oleh keserakahan melalui peraihan mekanisme nilai tambah yang tak terhingga, semakin menjauh dari
    keridloan Allah SWT. Muara dari pada itu, adalah munculnya keresahan, dan mendorong manusia hidup dalam keadaan yang senantiasa konflik. Semangat konflik itu menyebabkan manusia menjadi lebih menyenangi persaingan dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya (profit maximum principle). Al Qur’an dan hadist secara tegas menolak perikehidupan ekonomi seperti itu. Ekonomi yang berlandaskan pada pemahaman Islam, mengasumsikan manusia keadilan dan kesetaraan (egalitarian). Artinya, pada dasarnya setiap orang itu sama, dan diberi tugas yang sama pula, yakni mengabdi kepada Allah SWT dalam berbagai implementasi kehidupan termasuk ekonomi (QS. 18:29).
    Islamisasi pengetahuan dalam ekonomi lebih khusus bidang akuntansi atau yang biasa disebut dengan Akuntansi Syari’ah atau akuntansi Islam telah lebih dari tiga puluh tahun dilakukan. Gagasan dan wacana filosofis teoritis akuntansi syari’ah telah banyak dihasilkan, namun belum ada bentuk konkret akutansi syariah dalam bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan syari’ah. Laporan keuangan syari’ah saat ini masih melakukan `fotokopi akutansi konvensional’ dan melakukn `tipp-ex sana-sini’ dan kemudian `menempel tulisan yang bernuansa syari’ah. Tetapi laporan keuangan syari’ah yang memang diturun kan dari nilai-nilai Islam (Islamic Values) dan sesuai dengan tujuan syari’ah (maqasid
    syari’ah). Dalam kesempatan diskusi yang diselenggarakan HMI-Mpo Cabang Yogyakarta Kamis (9/2) ini Aji Dedi Mulawarman, selak mencoba mengenalkan Shari’ate Value Added Statement (laporan Nilai Tambah syari’ah), yaitu laporan kinerja keuangan pengganti Income Statement (laporan laba-rugi), melalui rekonstruksi Value added statement (laporan nilai tambah) menjadi Shari’ate Value Added Statement. Penggantian laporan laba-rugi menjadi laporan nilai tambah syari’ah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi dunia pencatatan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan perusahaan- perusahaan islam. Laporan nilai tambah Syari’ah adalah bentuk pertanggungjawaban keuangan perusahaan Islami yang idealnya untuk memberikan nilai tambah (value added) dan tazkiyah (pensucian).Pemberian nilai tambah yaitu berupa peningkatan kesejahteraan bagipemilik, manajemen dan pemegang saham di satu sisi. Sekaligus nilai tambah kesejahteraan bagi pemilik, manajemen dan pemegang saham di satu sisi. Sekaligus nilai tambah kesejahteraan yang harusnya dilakukan pula pada karyawan, buruh supplier, masyarakat sekitar perusahaan, pemerintah, dan lingkungan serta yang paling utama adalah tugas perwujudan nilai tazkiyah (pensuciaan) laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan (kumpulan komunitas yang berbentuk organisasi) kepada Allah Azza wa Jalla. Lain halnya Drs. Mashudi Muqorrobin, Ak. MEc., kandidat Doktor Ekonomi Universitas Kebangsaan Malaysia lebih menekankan pada perubahan metodologi ekonomi. Saat ini perkembangan ilmu ekonomi modern masih banyak menilik teori Adam Smith “The Wealth Of Nations” yang notabene ini merupakan jiplakan pemikir Islam yang sedikit banyak diubah oleh Adam Smith yang hanya berorientasi pada keuntungan dan mengabaikan keadilan. Metodologi ilmu ekonomi belum
    mendapatkan landasan filosofis gerakan selama 50 tahun. Saat ini ilmu ekonomi masih dalam baying-bayang ilmu ekonomi konvensional. Begitu kuatnya falsafah ekonomi materialistik ini menguasai pola
    berpikir ilmiah modern, sehingga mempersulit proses usaha untuk dan falsafah lain. Pada saat ini Islamisasi ilmu ekonomi konvensioanal mulai berkembang. Hal ini juga pernah dilakukan oleh
    Ulama-ulama Islam terdahulu, seperti Ibnu Sina pernah melakukan Islamisasi buku Aristoteles “The Politics” dengan memasukkan nilai- nilai Islam kedalamnya dan buku ini berjudul “Manajemen KeuanganRumahTangga”
    Menurut Rizal Yaya, SE., M.Sc. Akt, sebagai pembicara dalam diskusi mengatakan permasalahan Akuntansi Konvensional pada saat ini adalah Lingkup dan kebebasan praktik akutansi dimana aturan akutansi yang dibuat oleh The Big Five (Amerika dkk.) dibuat untuk melakukan
    praktik kejahatan bersama (economic consequences). Lainnya Rizal mengatakan akuntansi konvensional saat ini sebagai alat legitimasi K, privatisasi, transfer 0f wealth to Rich dan hanya wilayah polusi dll. Permasalahan yang lain menurut Rizal seperti dikatakan dalam bukunya Dr. Akhyar Adnan dan Gaffikin, konsep akutansi konvensional bertentangan dengan pengungkapan semua informasi yang relevan dimana informasi yang diungkap tidak memadai dalam mendorong pertanggung jawaban pada Allah dan manusia.(EDO)

    Nb. Ini hasil liputan saya dalam sebuah acara diskusi dan bedah buku
    yang diadakan HMI-Mpo Cabang Yogyakarta, semoga bisa menjadi bahan
    diskusi kita tentang Islamisasi ilmu.

    Salam,
    Edo Segara

    Anggis Ratnasari said:
    Februari 23, 2009 pukul 11:59 am

    SEjaRah aKUntaNsi SYARIAH
    AKUNTANSI SYARIAH
    Oleh : Merza Gamal

    27-Mar-2007, 20:00:55 WIB – [www.kabarindonesia.com]
    KabarIndonesia – Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata “Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/16:89)

    Anggis Ratnasari
    Akuntansi C
    063403307

    Dina Adillah Hanifah NPM 063403265 said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:02 pm

    Mengenal prinsip Akuntansi Syari’ah
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    http://f-andriana.blogspot.com/2007/10/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah.html

    Soni Setiawan said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:13 pm

    Akuntansi Syariah dalam sebuah tinjauan
    Oleh: Ahmad Sanusi Nasution,SE

    Sejarah Akuntansi Syariah
    Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli yang menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
    Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam bermuamalah (bertransaksi), penunjukan seorang pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M
    Prinsip Umum Akuntansi Syari’ah
    Nilai pertanggung jawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam prinsip akuntansi syariah. Apa makna yang terkandung dalam tiga prinsip tersebut? Berikut uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat Al-Baqarah:282.
    Prinsip pertanggung jawaban, Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan..
    Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah;282 mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat dalam fitrah manusia
    Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran laporan
    Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
    Dalil Akuntansi Dalam Al-Quran
    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
    keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat A-Baqarah :282).
    Nilai-Nilai Akuntansi syariah
    Nilai utama yang melekat dalam diri akuntansi modern adalah nilai egoistik. Nilai utama kedua yang melekat pada akuntansi modern adalah nilai materialistik, yang juga merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Dengan nilai ini akuntansi hanya akan memberikan perhatian pada dunia materi (uang). akuntansi syari’ah memiliki dua macam akuntabilitas yaitu akuntabilitas horisontal, dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horisontal berkaitan dengan akuntabilitas kepada manusia dan alam, sementara akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
    Akuntansi syari’ah dibangun dengan mengambil inspirasi dari syari’ah Islam. Secara ontologis, akuntansi syari’ah memahami realitas dalam pengertian yang majemuk. Sedangkan secara epistemologis, akuntasi syari’ah dibangun berdasarkan kombinasi antara akal yang rasional dengan rasa dan intuisi (kombinasi dunia fisik dengan dunia non fisik).
    Konsep Pengukuran dalam Akuntansi Syari’ah
    Dalam akuntansi islam ternyata perhitungan labaini juga penting, baik dalam kaitannya dengan pembagian laba antara pihak yang melakukan kerjasama maupun dalam menentukan hak, menentukan pembagian warisan, dan perhitungan zakat dari suatu kegiatan muamalat. Menurut Baydoun dan Willet (2000), bentuk laporan keuangan perusahaan yang lebih cocok dengan akuntansi islam adalah value added reporting bukan laporan laba rugi konvensional. Menurut beliau laporan value added reporting cenderung kepada prinsip-prinsip pertanggung jawaban sosial. Dalam value added reporting informasi yang disajikan meliputi laba bersih yang diperoleh perusahaan sebagai nilai tambah yang kemudian didistribusikan secara adil kepada kelompok yang terlibat dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai tambah
    Konsepsi Pelaporan Keuangan
    Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
    Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini.
    Ilmu Auditing Dalam Perspektif Islam
    Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu : 1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini. 2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kepitalis kemudian mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah.
    Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah :
    Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban.
    Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan lainnya. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif dari perilaku yang bertentangan dari syari?ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syari?ah.Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin.

    Kesimpulan
    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka akuntansi konvensional, yang didasarkan pada ide-ide barat, tidak sesuai diterapkan pada masyarakat islam. Ketidaksesuaiannya itu terlihat pada aspek: pengeliminasian nilai-nilai agama; penggunaan rasionalitas sebagai dasar pengambilan keputusan; dan penekanannya pada nilai pemilik modal pada suatu perusahaan. Oleh karena itu kenyataannya masyarakat islam memiliki alternatif atas keberadaan akuntansi konvensional, dan para sarjana muslim mampu mengembangkan kerangka akuntansi yang sesuai dengannya dan didasarkan pada nilai-nilai agamanya.
    Sementara itu, paradigma stari’ah, menekankan pada aspek nilai hukum dan etika islami dalam sistem akuntansi. Aspek ini diusulkan menjadi kerangka yang sesuai dalam mengembangkan akuntasi syari’ah. Suatu hal yang sangat penting untuk diperkenalkan adalah bahwa penerapan akuntansi syari’ah berdasarkan pada paradigma syari’ah yng merupakan bagian yang sangat berhubungan dengan tauhid al-ibadah mengakui ke-Esa-an Allah sebagai pemilik Alam semesta ini). Denagn demikian, usaha berkelanjutan akan dilakukan oleh setiap orang islam untuk menjabarkan syari’ah dalam kehidupannya. Hal yang lebih penting adalah penjabaran tersebut diharapkan dapat diterima oleh semua golongan, khususnya bagi kelompok non-muslim.
    Oleh karena itu, hal ini bukanlah tugas yang mudah, kecuali ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu keadaan yang islami, pada seluruh aspek kehidupan. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka usaha yang terus menerus itu dapat diterjemahkan dalam bisnis , manajemen. Itu semua dapat dilakukan dalam rangka untuk menantarkan manusia dapat mencapai tingkat kemenangan (falah).
    DAFTAR KEPUSTAKAAN
    Harahap, Sofyan Syafri, 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Penerbit Quantum, Jakarta
    Muhammad, 2002. Pengantar Akuntansi Syari’ah. Penerbit Salemba Empat, Jakarta
    Ash-Shadr, Syahid Muhammad. 2002. Keunggulan Ekonomi Islam. Pustaka Zahra, Jakarta
    http://www.fatimah.org. Akuntansi dalam Perspektif Islam , Diakses Pada Tanggal 21 Juli 2007 Pukul 16.00 WIB
    http://www.bpkp.or.id. Auditing, Diakses Pada tanggal 21 Juli 2007. Pukul 16.30 WIB

    Hery Herdiana (063403269) Kelas C said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:15 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH
    Latar Belakang
    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.
    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.
    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.
    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:
    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.
    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah
    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.
    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.
    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.
    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.
    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:
    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings
    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking
    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest.
    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.
    Sumber : http://re-searchengines.com/1107kesiper.html

    Yucki Kusmawan (063403293) said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:32 pm

    Urgensi Standarisasi Akuntansi Perbankan Syariah

    Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc

    Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Kita mengetahui bahwa diantara kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini.
    Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan kalangan perbankan konvensional. Bahkan jika kita melihat pada Al-Quran, maka kebutuhan pencatatan transaksi dalam sebuah sistem akuntansi yang tertata merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah : 282, dimana Allah SWT berfirman : ¡°Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…¡±.
    Tentu saja, kalau kita kaitkan ayat tersebut dengan konteks perbankan kontemporer, maka memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Namun yang perlu kita perhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada perbankan syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi perbankan konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu, keduanya memiliki persamaan-persamaan. Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.

    Mekanisme Dasar Bank Syariah
    Sebagai sebuah lembaga intermediasi keuangan, mekanisme dasar bank syariah adalah menerima deposito dari pemilik modal (depositor) pada sisi liability-nya (kewajiban) untuk kemudian menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-free current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor. Sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.
    Untuk mencapai tujuan akuntansi yang bersifat standar, maka struktur dasar aktivitas investasi dapat kita bagi kedalam dua bagian, yaitu pertama,unrestricted investment accounts (rekening investasi tanpa batasan) dan yang kedua, yaitu restricted investment accounts (rekening investasi dengan batasan). Adapun maksud poin yang pertama adalah bank Islam memiliki kebebasan untuk menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara bersama-sama dengan modal pemilik bank. Sedangkan maksud pada poin yang kedua adalah pihak bank hanya bertindak sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang diterimanya dengan modal pemilik banknya tanpa persetujuan investor. Selain kedua hal tersebut, bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu, pada aspek pengenalan (recognition), pengukuran (measurement), dan pencatatan (recording) setiap transaksi pada sistem akuntansi bank syariah terdapat kesamaan dengan proses-proses yang terjadi pada sistem konvensional.

    Tujuan Akuntansi Keuangan
    Untuk menjaga konsistensi, baik yang bersifat internal maupun eksternal bank, maupun untuk menjamin kesesuaiannya dengan syariat Islam, maka kita perlu mendefinisikan tujuan standarisasi akuntansi keuangan pada bank syariah. Hal ini juga sebagai upaya untuk memberikan panduan umum didalam menentukan sejumlah pilihan berdasarkan alternatif-alternatif yang ada. Adapun tujuan sistem akuntansi keuangan ini adalah pertama, untuk menentukan hak dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan, seperti para depositor dan pemilik bank. Kemudian yang kedua adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan aset bank syariah, termasuk menjamin hak bank yang bersangkutan dan hak stakeholder lainnya. Yang ketiga, menjamin perbaikan manajemen dan kapabilitas produktif bank syariah agar senantiasa selaras dengan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan yang keempat adalah untuk menyediakan laporan keuangan yang berguna bagi para pemakainya ¡ªseperti pemegang saham, pemilik rekening, otoritas fiskal, dll¡ª sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang legitimate didalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan pihak bank syariah.
    Agar sebuah laporan keuangan tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka kualitas informasi yang diberikan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (i) asas manfaat, terutama bagi pihak pemakainya; (ii) relevansi antara laporan keuangan tersebut dengan tujuan pelaporannya; (iii) tingkat kepercayaan; (iv) komparabilitas, artinya dapat diperbandingkan berdasarkan periode waktu tertentu; (v) konsistensi, artinya metode yang digunakan konsisten dan tidak mudah berubah; dan (vi) mudah dipahami, serta tidak multi interpretasi. Selain keenam hal tersebut, informasi yang diberikan juga harus mencakup beberapa aspek. Pertama, informasi yang tersedia harus mampu menggambarkan pencapain tujuan yang ada dan konsistensinya dengan syariat. Jika bank melakukan deal pada transaksi yang diharamkan, misalnya terkait dengan sistem riba, maka harus dijelaskan secara detil mengenai pemisahan pencatatan transaksi tersebut. Dan yang kedua, informasi tersebut harus mampu membantu pihak luar bank untuk mengevaluasi rasio kecukupan modal, resiko investasi, likuiditas, dan berbagai aspek finansial perbankan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, sehingga kredibilitas bank dapat dipertanggungjawabkan.

    Tantangan kedepan
    Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun sistem auditing dan akuntansi yang bersifat standar bagi kalangan perbankan syariah. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh AAOIFI (the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang berbasis di Bahrain. Sejak berdiri pada tahun 1991, lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun tentu saja, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pakar dan praktisi perbankan syariah. Hal ini dikarenakan tantangan yang semakin besar, termasuk bagaimana bersaing secara sehat dan produktif dengan kalangan perbankan konvensional.
    Diantara tantangan yang terberat kedepannya adalah bagaimana menciptakan standar metodologi akuntansi terhadap beragam tipe pola atau skema pembiayaan perbankan syariah yang dapat diterima secara internasional. Kemudian juga adalah tantangan regulasi yang secara umum belum menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap sektor perbankan syariah. Namun penulis berkeyakinan, bila semua pihak tetap konsisten didalam menegakkan konsep perbankan syariah secara utuh, maka lambat laun perbankan syariah kedepannya memiliki harapan untuk dapat menggantikan sistem perbankan konvensional. Semoga. Wallahu`alam.

    Ditulis oleh: Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM IPB dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia) dan Laily Dwi Arsyianti (Mahasiswa Program S2 Keuangan Syariah IIU Malaysia)

    Sumber :
    http://nani3.wordpress.com/2009/02/01/urgensi-standarisasi-akuntansi-perbankan-syariah/

    MARPIN SUTISNA said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:32 pm

    Akuntabilitas sebagai dasar akuntansi sya’riah
    Saturday, 12. January 2008, 22:08:42
    tujuan dasar akuntansi syariah

    Edit
    Akuntabilitas Sebagai Tujuan Dasar Akuntansi Shari’ah
    Indeks > Artikel > Akuntansi Syariah
    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah

    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.

    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:

    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8

    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11

    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.

    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12

    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13

    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    Bibliografi
    Antonio, Syafi’i, M., Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
    Arifin, Syamsul, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996.
    Harahap, Sofyan Syafri, Akutansi Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
    Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: AMP YKPN, tt.
    _________, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
    _________, Teori Akutansi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999.
    Tiyuwono, Iwan, Organisasi dan Akutansi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2000.
    _________, “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah”‘ Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997.
    __________, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.
    1 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 252.

    2 Iwan Triyuwono, “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah” Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997, 3-4.

    3 Akutansi dan …, 27.

    4 Lihat Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akutansi Syari’ah (Yogyakarta: LkiS, 2000), xiv.

    5 Sofyan Syafri Harahap, Teori Akutansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 98-99.

    6 Stockholders adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham perusahaan. Entity adalah perusahaan sebagai sebuah entitas yang terlepas dari stockholders.

    7 Syamsul Arifin, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), 76-77.

    8 Q.S al-Mulk, 14.

    9 Q.S al-Dzariat, 56.

    10 Lihat: Sofyan Syafri Harahap, Akutansi Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), 154-155.

    11 Lihat Iwan Triyuwono, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuajn Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

    12 Q.S al-Baqarah 30.

    13 Q.S Thaha, 15.

    14 Q.S al-Nur, 24.

    Penulis: M. Aqim Adlan

    Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

    Marpin sutisna
    Akuntansi C
    063403370

    sri nur yuningsih 063403285 said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:40 pm

    Akuntansi Syariah: Dari Konsep ke Aplikasi
    Zulhanief Matsani (Ketua Divisi Kajian Ekonomi Islam FSI)

    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (melakukan transaksi bisnis) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis (akuntan) di antara kamu, menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS[2]:282)

    Ayat tersebut adalah ayat terpanjang dalam Al-Quran yang bercerita tentang konsep akuntansi. Secara langsung, hal tersebut membuktikan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman manusia sangat concern terhadap hubungan horizontal antarsesama manusia. Hal tersebut juga membuktikan bahwa Islam –sebagai agama yang diajarkan dalam Al-Qur’an– adalah agama yang lengkap (syamil) dan mampu mencakup seluruh aktivitas hidup manusia, bahkan di bidang ekonomi sekalipun. Islam bukan agama parsial, yang hanya digunakan ketika berada di dalam masjid, tetapi juga mampu membahas realitas kekinian yang harus dihadapi manusia untuk menghadapi problematika kompleks kehidupannya.
    Dalam tataran yang lebih nyata, tradisi dan sejarah Islam terhadap interpretasi ayat tersebut telah mampu menciptakan budaya akuntansi baik pada tingkat Negara (kelembagaan) maupun tingkat individu. Pada konteks Negara, prosedur pencatatan akuntansi, telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (periode 636-645 M). Pada masa ini, Baitul Mal (lembaga pengelola harta Negara dan umat) memerlukan pencatatan formal atas dana-dana yang diperoleh lembaga tersebut dari berbagai sumber. Kemudian, sistem tersebut mengalami perkembangan pada periode berikutnya seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan adanya buku Akuntansi pada masa Abasiyah (750-847 M) seperti: Jurnal Pengeluaran (Jaridah Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah Al-Maal/Funds Journal), Jurnal Dana Sitaan (Jaridah Al-Musaridin/Confiscated Funds Journal), dan laporan akuntansi yang dikenal dengan nama Al-Khitmah (Triyuwono 2006, 20).
    Pada konteks sebagai manusia Muslim, individu memiliki kewajiban untuk memperhitungkan jumlah harta yang dimilikinya. Perhitungan ini, baik yang melalui pembukuan atau sekedar pencatatan, akan digunakan untuk menentukan kewajiban zakat yang harus dibayarkan oleh masing-masing individu.

    Konsep Akuntansi Syariah
    “Metodologi pengetahuan Islam seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap warisan pengetahuan Barat, tetapi lebih dipandang sebagai sebuah metodologi yang lebih luas dan komprehensif yang di dalamnya” (Bashir, 1986b)
    Istilah Akuntansi Syariah sendiri sebenarnya baru diwacanakan pada tahun 1995, berawal dari sebuah disertasi di University of Wollongong, Australia yang berjudul “Shari’ate Organization and Accounting: The Reflection of Self’s Faith and Knowledge“. Istilah ini kemudian berkembang membentuk cara pandang baru tentang akuntansi. Syariah, yang melekat pada kata akuntansi -dalam tataran normatif- akan mencelupkan nilai tentang bagaimana seharusnya peran akuntansi sebagai sebuah alat untuk mewujudkan tujuah syariah sendiri. Tujuan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga lima hal yang substantif dalam kehidupan manusia (maqashid syariah): agama (faith), akal (intellect), jiwa (life), keturunan (lineage), dan harta (property).
    Untuk dapat berkembang dengan baik, -sebagai sebuah alat- akuntansi syariah sudah seharusnya mendiferensiasikan diri dari akuntansi yang ada sekarang. Diferensiasi ini tentu tidak hanya sebatas pada masalah aplikasi-teknis semata. Dari nilai-nilai yang dibawa, akuntansi syariah sudah sewajarnya harus memberikan landasan yang berbeda. Jika akuntansi konvensional bergerak dari sebuah konsep tentang materialisme, maka akuntansi syariah bergerak dari landasan ideologis Islam yang merupakan proses integrasi Islamisasi pengetahuan.
    Selanjutnya, karena proses pergerakan akuntansi syariah bergerak dari ideologi Islam, maka tujuan akuntansi syariah juga diformulasikan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Misalnya, tujuan dasar laporan keuangan syariah yang bersifat material-spiritual. Material, karena pelaporan itu adalah untuk pemberian informasi, seperti yang dilakukan dalam akuntansi konvensional dan spiritual, karena pelaporan tersebut juga memperhitungkan aspek akuntabilitas yang sarat dengan nilai-nilai etika syariah dan dapat menghantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan (God-consciousness).

    Pengembangan Aplikasi Akuntansi Syariah
    Pada tiga dekade terakhir, konsep akuntansi syariah terus berkembang. Hal ini paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan pemikiran ahli ekonomi syariah kontemporer yang mampu menganalisa lebih dalam tentang konsep ekonomi syariah secara luas. Maka muncullah nama-nama seperti Umar Chapra, Timur Khan, Mannan, dll yang mendefinisikan kembali ekonomi syariah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan modern, termasuk tentang pemikiran akuntansi syariah di dalamnya.
    Kedua, perkembangan tersebut juga didorong oleh bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah di dunia. Mulai dari Amerika Serikat (Abrar Investment, Inc dan Albaraka Bank Corp, Inc), Inggris (Gulf International Bank, London dan Islamic Finance House Public) sampai ke Timur Tengah (Kuwait Finance House). Kemunculan lembaga ini, secara langsung mampu mendorong permintaan terhadap standar pelaporan keuangan yang sesuai dengan syariah. Maka, pusat-pusat studi ekonomi Islam di kampus atau institut yang tersebar di seluruh dunia menyediakannya untuk mendukung proses bisnis tersebut tetap berjalan sesuai syariah. Output dari studi yang mereka hasilkan itulah yang menjadi faktor ketiga yang mendorong pengembangan konsep akuntansi syariah.
    Dengan tiga faktor pendorong tersebut, maka kemudian banyak muncul buku, karya tulis maupun regulasi yang mengatur tentang aplikasi-praktis ekonomi syariah. Di Indonesia sendiri, beberapa buku dan karya tulis akuntansi syariah sudah banyak dihasilkan oleh akademisi dan praktisi. Dalam tataran produk regulasi, terdapat PSAK No.59 yang dikeluarkan IAI untuk menetapkan standar khusus mengenai akuntansi perbankan syariah.
    Permasalahannya sekarang, tinggal pada proses penerimaan dan akselerasi. Penerimaan akan akuntansi syariah pada kalangan akademisi, terutama mahasiswa misalnya, berarti keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang akuntansi syariah sebagai bentuk dari scientific coriousity-nya. Paduannya, tinggal mengkombinasikan dengan proses akselerasi melalui kajian dan diskusi intens serta output tulisan ilmiah. Maka, proses mengalirnya akuntansi syariah dari konsep ke aplikasi –terutama di level lingkungan kita– akan lebih mudah dijalani. Semoga.
    http://hanieffeui.wordpress.com/2008/01/13/akuntansi-syariah-dari-konsep-ke-aplikasi/

    Neneng Risky Anggraeni said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:44 pm

    AKUNTANSI SYARIAH (TENTANG PERBANKAN)

    Sudah banyak ide yang membahas keterbatasan akuntansi konvensional dalam merespon berbagai kebutuhan masyarakat yang bersifat multi-dimensi. Beberapa konsep baru telah diajukan antara lain Akuntansi Sumber Daya Manusia, Pelaporan Kepegawaian, dan Akuntansi Sosial Ekonomi (ASE). Namun demikian model-model tersebut masih berbasis pada kerangka berpikir konvensional yaitu kapitalis . Akuntansi Islam (Akuntansi Syariah) selanjutnya muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid. Akuntansi Islam memiliki banyak kesamaan dengan ASE, tetapi memiliki nilai lebih ditinjau dari keterkaitan eratnya dengan nilai-nilai ketuhanan, dalam hal ini nilai-nilai syariah Islam.

    PENGAKUAN DAN PENGUKURAN MUDHARABAH
    Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisab bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Maka jika usaha mengalami kerugian, seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
    Mudharabah terdiri dari 2 (dua) jenis :
    1) Mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), yaitu mudharabah yang dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
    2) Mudharabah muqayyadah (investasi terikat), yaitu mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan pada pengelola dana mengenai tempat, cara dan objek investasi.
    Misalnya, pengelola dana diperintahkan untuk :
    a. tidak mencampurkan dana pemilik dengan dana lainnya;
    b. tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan; atau
    c. mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga
    Bank dapat bertindak baik sebagai pemilik maupun pengelola dana. Apabila bank bertindak sebagai pemilik dana, maka dana yang disalurkan disebut pembiayaan mudharabah. Apabila bank bank sebagai pengelola dana, maka dana yang diterima :
    a. dalam mudharabah muqayyadah disajika dalam laporan perubahan investasi terikat sebagai investasi terikat dari nasabah; atau
    b. dalam mudharabah muthlaqah disajikan dalam neraca sebagai investasi tidak terikat.

    BANK SEBAGAI MUDHARIB (Pengelola Dana)
    Dana investasi tidak terikat diakui sebagai investasi tidak terikat pada saat terjadinya sebesar jumlah yang diterimanya. Pada akhir periode akuntansi, investasi tidak terikat diukur sebesar nilai tercatat.
    Bagi hasil investasi tidak terikat dialokasikan kepada bank dan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
    Kerugian karena kesalahan atau kelalaian bank dibebankan kepada bank (pengelola dana)

    PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ISTISHNA DAN ISTISHNA PARALEL
    Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani (produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.
    Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi : jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan produsen/penjual.
    Bank dapat bertindak sebagal pembeli atau penjuat dalam suatu transaksi istishna. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub-kontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna maka hat ini disebut istishna paralel.
    Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat:
    a. akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir; dan
    b. akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
    Pada dasarnya istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:
    a. kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau
    b. akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
    Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen/penjual atas :
    (a) jumlah yang telah dibayarkan; dan
    (b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
    Produsen/penjual mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa harga yang disepakati akan dibayar tepat waktu.
    Perpindahan kepemilikan barang pesanan dari produsen/penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan sebesar jumlah yang disepakati.

    BANK SEBAGAI PENJUAL
    Utang salam diakui Pada saat bank menerima modal usaha salam sebesar modal usaha salam yang diterima.
    Modal usaha salam yang diterima dapat berupa kas dan aktiva nonkas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesarjumlah yang diterima, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aktiva nonkas diukur sebesarnilai wajar (nilai yang disepakati antara bank dan nasabah).
    Apabila bank melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah yang dibayar oleh nasabah dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai keunfungan atau kerugian pada saat pengiriman barang pesanan oleh bank ke nasabah.

    BANK SEBAGAI PEMBELI
    Bank mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual dan sekaligus mengakui utang istishna kepada penjual.
    Apabila barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau kesalahan penjual dan mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Apabila kerugian tersebut melebihi garansi penyelesaian proyek, maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
    Jika bank menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak dapat memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada subkontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
    Jika bank menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan Maya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
    Dalam istishna paralel, Jika pembeli akhir menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.

    PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH
    N E R A C A
    A K T I V A
    Penyajian aktiva pada neraca atau pengungkapan pada catatan atas laporan keuangan atas aktiva yang dibiayai oleh bank sendiri dan aktiva yang dibiayai oleh bank bersama pemilik dana investasi tidak terikat, dilakukan secara terpisah. Dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK lainnya, penyajian dalam neraca mencakup, tetapi tidak terbatas pada pos-pos aktiva berikut :
    ? Kas;
    ? Penempatan pada Bank Indonesia;
    ? Giro pada bank lain;
    ? Penempatan pada bank lain;
    ? Efek-efek;
    ? Piutang : piutang murabahah; piutang salam; piutang istishna; piutang pendapatan ijarah;
    ? Pembiayaan mudharabah;
    ? Pembiayaan musyarakah;
    ? Persediaan (aktiva yang dibeli untuk dijualkembali kepada klien);
    ? Aktiva yang diperoleh untuk ijarah;
    ? Aktiva istishna dalam penye%saian (setelah dikurangi termin istishna);
    ? Penyertaan;
    ? lnvestasi lain;
    ? Aktiva tetap dan akumulasi penyusutan; dan
    ? Aktiva lain.
    http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/akuntansi-syariah-sesuai-psak-59, di akses pada tanggal 23

    Rini Sugiarti (063403359/C) said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:49 pm

    AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
    Akuntansi pada awalnya muncul sebagai pertanggungjawaban terhadap publik yang memilki keterkaitan terhadap informasi yang di sampaikan oleh si sipembuat akuntansi tersebut, sehingga pada tahun 1970 akuntansi sebagai ilmu yang pengetahuan yang bebas dari nila(value-free) sudah tidak semunya relepan dan pada saat era globalisasi yang akan membawa masyarakat pada apa yang terjadi akibat perubahan yang global pada seluruh tatanan masyarakat. Sehinggga boleh dikatakan bahwa informasi di era globalisasi khususnya dalam bidang akuntansi melakukan harmnisasi praktik-praktik akuntansi Jika kita lihat lihat dari pengertian di atas dan kita mencoba untuk berpikir ulang tentang akuntansi dalam prespektif tradisional dimana akuntansi sebagai satu serangkaian prosedur rasional yang di gunakan untuk pengambilan keputusan dan pengendalian yang rasional (makalah:iwan triyuwono) jika demikian akuntansi dianggap sebagai tehnologi yang berwujud dan bebas dari nilai masyarakat di tempat akuntansi di terapkan seharusnya dapat dipengaruhi oleh masyarakat jika akuntansi dianggap sebagai ilmu, sehingga akuntansi di bentuk oleh kultur masyarakat dan sistem nilai sosial atau lebih jauh pada kepedulian moral. (lengkapnya di Iwan Triyuwono,2000)
    Kecenderungan dan pergeseran masyarakat juga berlangsung dalam dunia ilmiah, sehingga kajian tentang upaya membumikan (mengartikan )Al-Qur’an dalam kehidupan kita sering kita lihat dalam penomena sekarang. Dengan kata lain seluruh kajian syariah dalam bidang kehidupan dan ilmu mulai berlangsung, tidak terkecuali bidang akuntansi karena ilmu di pandang memiliki sifat yang di namis dan selalu berkembang mengikuti tuntutan jaman. Lebih lagi akuntansi syariah ada kaitannya dengan sebuah idiologi dan yang menjadi daya tarik untuk di bahasnya akuntansi syariah adalah Pertama,akuntansi selama ini di kenal sebagai alat komunikasi atau seiring dengan bahasa bisnis kaitannya munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah. Kedua, Akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana akuntansi di pergunakan dan di kembangkan. Ketiga, akuntansi memilki peran yang sangat strategis, karena apa yang dihasilkannya, bisa menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan penting dan menentukan.lain. Menurut Sofyan Syafri harahap (1997) pendorong munculnya akuntansi syariah adalah a). meningkatnya religiusitas masyarakat. b). meningkatnya pada tuntunan etika dan tanggungjawab sosial. c). lambannya penanganan oleh akuntansi konvensional mengenai keadilan , kebenaran dan kejujuran . d). kebangkitan akan umat islam khususnya para kaum terpelajar untuk berupaya mendekontruksi akan akuntansi kapitalisme barat. e). perkembangan atau anatomi akan akuntansi itu sendiri. f). kebutuhan akan akuntansi bisnis syariah seperti :Bank Islam, Asuransi Islam, Pasar Modal, Trading
    . g). kebutuhan akan norma perhitungan Zakat dengan menggunakan norma akuntansi yang sudah mapan. h). kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban dan pengawasan harta ummat manusia.
    Belajar dari kasus di atas maka akuntansipun harus merubah bentuk atau melakukan introveksi diri kalau akuntansi yang sekarang ( konvensional) tidak ingin di tinggalkan oleh penggunanya sehingga akuntansi harus merubah orientasi dan fungsinya. Fungsi akuntansi yang selama ini adalah” decision makin facilitating fangcion” kearah lain yang bermanfaat . sehingga muncullah fungsi Accauntability yang benar walaupun itu telah ada sejak lahirnya akuntansi. Sehingga akuntansi yang ada (konvensional) harus di sempurnakan dengan menambah media yang yang saat ini banyak ditinggal oleh penguna informasi tersebut
    1. Penilaian terhadap efisiensi manajemen dalam bentuk alokasi dan pengunaan dana pada setiap sub bidang kegiatan melalu kontrol yang baik
    2. Pengungkapan terhadap keuntungan manajemen dimana yang paling relefan keuntungan harus di perhitungkan dengan pengalokasian terlebih dahulu atas zakat penghasilan
    3. Penjelasan mengenai budget atau rencana kerja yang relevan tidak meng mark-up anggaran guna kepentingan individu dan kelompok tertentu saja tetapi di sesuaikan dengan harga dan nilai inflasi pada saat tertentu .
    4. Akuntansi harus menyajikan informasi yang relefan tidak hannya informasi kuantitatif tetapi juga kualitatif.
    Asumsi lain dari itu adalah akuntansi syariah kecendrungannya kembali “back to nature” atau back to basik, kemballi keawal sejarahnya akuntansi yaitu untuk pertanggungjawaban sebagai mana di terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 dan ayat tersebut menurut Prof. DR Hamka. Menunjukan dalam tafsir Azhar Zuz 3dalam bukunya Sofyan safri Harahap yang berkaitan dengan akuntansi: “Perhatikanlah tujuan ayat !,yaitu kepada sekalian orang yang beriman kepada Allah supaya utang piutang di tulis, itulah yang diberbuat sesuatu pekerjaan karena Allah,karena perintah Allah dilaksanakan ,sebab itu tidaklah layak karena berbaik hati pada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu di tuliskan karena kita sudah percaya mempercayai padahal umur kedua belah pihak sama-sama di tangan Allah. Si pulan mati dalam berutang, tempat utang menagih pada warisnya yang tinggal.Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian. ”
    Jelaslah bahwa wajibnya untuk memelihara tulisan dari hasil transaksi muamalah. Karena akuntansi tujuannya pencatatan sebagai pertanggungjawaban atau bukti transaksi atau penentuan pendapatan (income determination). Informasi yang di gunakan dalam proses pengambilam keputusan, dan sebagai alat penyaksian yang akan di pergunakan di kemudian hari dan pendapat lain tentang makna Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 yang harus kita ambil pelajarannya yaitu:
    1. Islam menekankan pertanggungjawaban suatu transaksi secara benar.
    2. Setiap transaksi harus di dukung dengan bukti.
    3. Pentingnya Internal Control
    4. Tujuan adanya pencatatan akuntansi tersebut adalah agar tercipta suatu keadailan terhadap pihak-pihak tertentu.
    5. Dengan diwajibkanya setiap muslim untuk membayar zakat berarti di butuhkan akuntansi agar perhitungan zakat tepat dan benar.
    6. Islam sangat menekankan agar amal yang kita lakukan selalu baik dan profesional termasuk dalam hal akuntansi.
    Melihat semacam itu usaha untuk mencari bentuk akuntansi syariah yang berwajah baru dengan prinsip Subtence Over Form, Reability, Objektivity time lines merupakan sebuah upaya yang akan terwujud menjadikan akuntansi lebih humanis dan syarat dengan nilai sehingga Akuntansi Syariah merupakan salah satu upaya mendekontruksi akuntansi moderen kedalam bentuk yang humanis dan syarat nilai. Akuntansi syariah dalam masyarakat yang sedang berubah tidak hanya sarat nilai dan humanis lebih menekan kan pada aspek keadilan dan kebenaran yang terkait dengan pertanggungjawaban (Muhammad Khar) lain lagi dengan Muhammad Akram Khan dia menyoroti akuntansi islam itu menghitung laba rugi yang tepat dan mendorong dalam mengikuti Syariat Islam, menilai efisiensi manajemen melaporkan dengan baik.
    Sementara itu akuntansi syariah tidak hannya pada dataran normatif (filosofis) yang yang berguna untuk memberikan arah bagaimana akuntansi syariah bisa di kontruksi bukan berarti bahwa akuntansi syariah di peroleh dengan pendekatan deduktif ( deduktif approach), pendekatan induktif ( inductive approach), pendekatan etika (etikal approach ), pendekatanm sosiologis (sociological approach), pendekatan ekonomi (econimic approach). Tetapi batasan akuntansi syariah tersebut yang tegas (borderless). Bahkan akuntansi syariah menggunakan Religi (kitab suci) salah satu sumber untuk mengkontruksi bangunannya secara otomatis akuntansi syariah di bentuk oleh lingkungan nya tetapi juga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, bahkan menurut Iwan Triyuwono mengatakan lebih jelas bahwa akuntansi merupakan “anak” budaya setempat bila kita perhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dan masyarakat barat terdapat perbedaan yang sangat besar, didalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, itu semua tidak ditemukan dalam masyarakat barat.
    Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang beda pula, sehingga Sofyan Safri Harahap menggambarkan hubungan antara ideologi serta konsep dan sistem yang berkembnag dalam masyarakat sebagai berikut: Stuktur dan Sumber Konsep Akuntansi

    Menurut T.E Gambling dan R.A.A. Karim (1996) mengemukakan bahwa menurut teori Colonial Model, masyarakat Islam akan menghasilkan sistem ekonomi islam dan akuntansi Islam sehingga akuntansi dipandang sebagai alat untuk mempertahankan dan mengesahkan susunan sosial, ekonomi dan politik masa kini, (di pandang sebagai ideologi) dan akuntansi dipandang juga sebagai sebagai mitos yang memungkinkan penciptaan aturan simbolis yang didalamnya terdapat muatan untuk berinteraksi dengan masyarakat, sehingga tujuan akuntansi Syariah terbentuk peradaban bisnis yang memeilki wawasan yang humanis, dan bersandarkan akan ideologi refleksinya realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada aturan Allah. SWT.
    Oleh :
    Sifa Masturi, SE
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
    http://members.fortunecity.com/sakinahonline/alislam/www.alislam.or.id/artikel/a-akuntansi-syariah.html

    Riska Suryani kls C said:
    Februari 23, 2009 pukul 12:53 pm

    Benarkah Akuntansi
    Ada Didalam Islam??

    Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami
    banyak kalangan (termasuk sebagian besar muslim di Indonesia),
    hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan
    moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang
    mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam
    akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap
    akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja
    dipertanyakan orang. Sama halnya dengan orang meragukan dan
    mempertanyakan seperti apakah ekonomi islam. Akuntansi
    konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan
    praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu,
    jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi
    yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian
    keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi
    tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi
    akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang
    kapitalistik juga.
    Akuntansi Syariah menjadi sebuah wacana yang menarik sejak sekitar
    tahun 1980an. Hal ini terjadi karena mulai munculnya berbagai lembaga
    keuangan yang mencoba berusaha dengan menerapkan prinsip-prinsip islam
    (Adnan, 2005). Ini menimbulkan tantangan besar bagi para pakar
    syariah Islam. Mereka harus mencari dasar bagi penerapan dan
    pengembangan standar akuntansi yang berbeda dengan standar akuntansi
    bank dan lembaga konvensional seperti yang telah dikenal selama ini.
    Standar akuntansi tersebut harus dapat menyajikan informasi yang
    cukup, dapat dipercaya dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap
    dalam konteks syariah Islam.
    Akuntansi di dalam Islam
    Berdasarkan penuturan allah dalam alqur¡¦an ternyata
    pengelolaan sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata allah
    menggunakan sistem yang mirip dengan apa yang sekarang kita kenal
    dengan akuntansi. Allah tidak membiarkan kita bebas tanpa monitoring
    dan pencatatan dari Allah. Allah memiliki malaikat Rakib dan Atid
    yang tugasnya mirip dengan tugas akuntan, yaitu mencatat setiap
    kegiatan maupun transaksi yang dilakukan oleh setiap manusia, yang
    menghasilkan buku yang disebut sijjin (Laporan Amal Baik) dan Illyin
    (laporan Amal Buruk), yang nantinya akan dilaporkan kepada kita di
    akhirat nanti untuk pertnggung jawaban. Kesimpulannya akuntansi bagi islam adalah
    kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof
    islam terkenal 700tahun kemudian tidak mengenal akuntansi(Harahap,
    2003).
    Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam
    Dalam istilah islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi
    disebut sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki 2
    pengertian pokok (Syahatah, 2001) yaitu:Muhasabah dengan arti musa-alah (perhitungan) dan munaqasyah (Perdebatan) . Proses musa-alah bisa diselesaikan secara individual
    atau dengan perantara orang lain, atau bisa juga dengan perantara
    malaikat, atau oleh allah sendiri pada hari kiamat nanti.
    Juga diartiakan dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan kerugian.
    Muhasabah pun berarti pendataan, pembukuan, dan juga semakna dengan
    musa-alah (perhitungan) , perdebatan, serta penentuan imbalan/balasan
    seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga negara, lembaga baitul
    maal, undang-undang wakaf, mudharabah, dan serikat-serikat kerja.
    Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian akuntansi
    (muhasabah) didalam islam adalah:
    1. Pembukuan keuangan
    2. Perhitungan, perdebatan, dan pengimbalan
    Kedua makna ini saling terkait dan sulit memisahkannya.
    Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam (Syahatah, 2001)
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan
    Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah,
    mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah
    (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan,
    pembodohan,perjudia n, pemerasan, monopoli, dan segala usaha
    pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih
    menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara
    khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka
    diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya
    ayat terpanjang didalam Al-Qur¡¦an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282.
    Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-
    dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh
    kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini.
    Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian
    yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang
    terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan
    bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan
    piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan
    pegeluaran. Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu
    ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan,
    akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan
    anggaran negara.
    Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-
    ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam
    pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan
    prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

    Wallahu a’lalam
    Prev: UNTUK SEORANG TEMAN
    Next: CGI, IMF Dan Ekonomi Pancasila
    http://www.aakjember.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=56&Itemid=85

    Anggis Ratnasari said:
    Februari 23, 2009 pukul 1:07 pm

    Telaah Atas Kumpulan PSAK Syariah Revisi 2007 Berdasarkan Kerangka Teori Akuntansi Islam Harahap
    Oleh : Muhammad Ismail (Mahasiswa IEF Trisakti)

    Ringkasan
    Kumpulan PSAK Syariah revisi 2007 disusun oleh Dewan Standar IAI yang terdiri atas Kerangka Dasar Penyiapan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, dan PSAK 101 – 106. Versi PSAK Syariah sebelumnya termasuk PSAK 59 yang mengatur laporan keuangan perbankan syariah telah terbit pada 2002, menurut beberapa analis, masih banyak mencerminkan nilai-nilai kapitalis yang berorientasi pada pendapatan untuk kepentingan pemilik. Tujuan akuntansi karenanya adalah menyediakan informasi yang mencerminkan usaha para stakeholder dalam melakukan pengabdian kepada Allah sehingga mendapatkan ridlo Nya. Teori ini menghasilkan penyajian laporan kinerja entitas perusahaan dengan model triple bottom line yaitu tingkat laporan ketaatan syariah, laporan tanggung jawab sosial dan laporan keuangan. Pendekatan ini merupakan suatu koreksi yang diajukan atas pendekatan kapitalistik yang bersifat single bottom line yaitu hanya menghasilkan laporan keuangan yang hanya berorientasi pada pengumpulan kekayaan bagi pemilik perusahaan dan stakeholder lainnya.
    Studi ini diharapkan dapat menelaah sejauh mana teori akuntansi Islam telah tercermin dalam PSAK Syariah dan dapat menjadi satu elemen kecil dalam upaya penyempurnaan PSAK Syariah sehingga dapat mencerminkan nilai-nilai Islami secara utuh.

    Pendahuluan
    Sudah banyak ide yang membahas keterbatasan akuntansi konvensional dalam merespon berbagai kebutuhan masyarakat yang bersifat multi-dimensi. Beberapa konsep baru telah diajukan antara lain Akuntansi Sumber Daya Manusia, Pelaporan Kepegawaian, dan Akuntansi Sosial Ekonomi (ASE). Namun demikian model-model tersebut masih berbasis pada kerangka berpikir konvensional yaitu kapitalis . Akuntansi Islam (atau Akuntansi Syariah) selanjutnya muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid. Akuntansi Islam memiliki banyak kesamaan dengan ASE, tetapi memiliki nilai lebih ditinjau dari keterkaitan eratnya dengan nilai-nilai ketuhanan, dalam hal ini nilai-nilai syariah Islam.
    Dengan demikian Akuntansi Islam menjadi suatu kebutuhan bagi institusi bisnis syariah yang bertujuan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam dan menjadikannya sebagai suatu kegiatan yang berdimensi ibadah. Hamed (2003) menyatakan bahwa jika institusi Islami menggunakan akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan timbul ketidaksesuaian antara praktek dan tujuan pencapaian sosial ekonomi syariah
    Aplikasi akuntansi yang sejalan dengan prinsip syariah dan menjadi sarana aktivitas ibadah didasari oleh prinsip pokok ajaran Islam yang memandang bahwa seluruh aktivitas hidup hendaknya merupakan suatu ibadah (QS 6 :162 ; 51 :121). Dengan demikian pengembangan konsep dan penerapan akuntansi Islam adalah suatu kemestian dan kebutuhan kunci bagi kehidupan muslim yang paripurna. Relevansinya makin tinggi untuk negara dimana masyarakat muslim merupakan mayoritas. Lebih jauh, konsep ajaran Islam dimaksudkan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh alam (QS 21 :127)
    Dalam menjawab kebutuhan akuntansi yang sesuai nilai-nilai Islami yang dirumuskan dalam Konsep Akuntansi Islam, telah disusun PSAK Syariah oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang diselesaikan pada tahun 2007. Dewan Syariah Nasional MUI menyatakan bahwa PSAK Syariah yang terdiri dari Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 101, 102, 103, 104, 105 dan 106 tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah dan telah sesuai dengan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.

    Akuntansi Islam (AI)
    Akuntansi Islam (AI) atau Akuntansi Syariah pada hakekatnya adalah penggunaan akuntansi dalam menjalankan syariah Islam. Terdapat dua versi AI. Pertama versi yang digunakan pada masa awal sejarah Islam yang mencerminkan nilai-nilai kemasyarakatan yang secara penuh bersifat Islami yaitu pada era Nabi Muhammad SAW, khulafaurrasyidin (yaitu 4 khalifah pertama setelah Nabi Muhammad), dan pemerintahan Islam setelahnya. Kedua, versi AI yang dikembangkan saat ini dimana kegiatan ekonomi sosial didominasi sistem kapitalis yang berbeda dengan nilai Islam. Walaupun keduanya memiliki prinsip yang sama yang berakar pada nilai Islam, terdapat perbedaan satu sama lain yang dipengaruhi kondisi masyarakat pada masanya.
    Sama halnya dengan ASE, AI timbul karena akuntansi konvensional tidak mampu menjawab kebutuhan yang dirumuskan dalam AI. Sebenarnya AI versi era awal Islam memiliki cakupan yang lebih luas dari aspek moneter semata yang diadopsi model kapitalis (konvensional) saat ini ; yaitu dengan mencakup aspek ideologi, politik, hukum, etika, manajemen dan sosial. Antara lain, AI menjelaskan alokasi kekayaan secara adil dengan tuntunan syariah. Dengan demikian AI bertujuan untuk menegakkan syariat Islam melalui ibadah non-ritual yakni kegiaatan ekonomi yang tercermin pada produk dan kegiatan perusahaan, sistem penggajian, cuti, remunerasi, promosi, dan transaksi. Shahata (Harahap. 1997 :272) mendefinisikan Akuntansi Islam (AI) sebagai berikut :
    « Postulat, standar dan penjelasan dan prinsip akuntansi yang menjelaskan semua hal ….. sehingga Akuntansi Islam secara teoritis memiliki konsep, prinsip dan tujuan Islam juga. Semua ini secara serentak berjalan bersama bidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, etika, kehidupan, keadilan dan hukum Islam. Akuntansi dan bidang lain itu adalah satu paket dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. »

    Harahap (2003) mengutip Gambling dan Karim (1984), mengemukakan bahwa nilai ajaran Islam yang bersifat ilahiah, terjamin kebenarannya dan meliputi seluruh aspek kehidupan secara terpadu menghasilkan suatu kebutuhan atas model akuntansi yang mengukur nilai moneter dan non moneter (non-ekonomi) serta baik transaksi yang bersifat timbal-balik (reciprocal transaction) maupun yang bukan. Bahkan AI meliputi aspek-aspek yang dicakup dalam ASE.
    Harahap (2003) memberikan karakterisasi akuntansi Islam secara etimologis menggunakan penjelasan Hayashi (1989) dengan merujuk padanan istilah akuntansi dalam bahasa Arab yaitu muhasabah. Muhasabah disebut 48 kali dalam Al Quran, memiliki akar kata ‘hasaba’ yang memiliki arti lebih luas dari sekedar perhitungan angka. Terdapat paling tidak 8 (delapan) pengertian kata muhasabah yaitu : menghitung atau mengukur, pencatatan dan analisa kegiatan seorang dalam jangka waktu tertentu, penyelesaian tanggung jawab, bersifat netral (obyektif), menjaga, mencoba mendapatkan, mengharap pahala akhirat dan mempertanggung jawabkan.
    Menurut Haniffa (2002) dalam Harahap (2003), akuntansi Islam menghasilkan informasi sejauh mana entitas usaha mematuhi syariah dan memberi maslahat bagi masyarakat, memperhatikan aspek material, moral, dan spiritual serta menekankan keseimbangan diantara hal-hal tersebut, berdasarkan nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits Nabi yang shohih. Lebih lanjut Haniffa menyebutkan tiga dimensi (tujuan) yang perlu dihasilkan dari akuntansi Islam yaitu sejauh mana upaya entitas dalam: mencari ridlo Allah, memberikan keuntungan (maslahat) bagi masyarakat, dan mencari kekayaan guna memenuhi kebutuhan. Ketiga hal ini tidak lain adalah perwujudan ibadah dalam Islam.
    Menurut Harahap (2001, hal. 203) konsep dasar Akuntansi Islam memiliki perbedaan mendasar dari Akuntansi Kapitalis dalam hal-hal berikut :
    1. AI didasarkan pada World-view Tauhid, yaitu mengakui Allah sebagai Pemilik Tunggal alam semesta, sebagai Pemilik Tunggal kekuasaan menentukan hukum, dan Zat Tunggal yang berhak disembah (kepada Nya segala ibadah ditujukan). Hukum dan aturan Allah tersebut tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits serta sunnatullah berbentuk ayat-ayat kauniyah atau fenomena alam. Sumber hukum Quran dan Sunnah harus menjadi pagar pengaman bagi setiap postulat, konsep, prinsip dan teknik akuntansi Islam. Hal ini berbeda dengan world-view kapitalis yang berupa pemuasan keinginan manusia semata yang sepenuhnya ditentukan oleh rasio tanpa dapat dibatasi oleh otoritas lain manapun.
    2. AI menekankan pada akuntabilitas, kejujuran, kebenaran dan keadilan.
    3. Memberikan peran tinggi pada akal manusia untuk berijtihad (berpikir) guna menemukan cara terbaik dalam berbagai persoalan social ekonomi diluar kegiatan ibadah inti yang bersifat khusus. Termasuk dalam hal ini adalah adopsi berbagai hal yang telah dihasilkan oleh sistem kapitalis selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
    Harahap (2001) juga menyebutkan bahwa Akuntansi Islam bertujuan merealisasikan tujuan syariat, yaitu dengan menghasilkan informasi sekaligus pertanggungjawaban untuk merealisasikan tujuan syariat. Konsep yang sesuai tujuan maslahat dan pertanggungjawaban sosial tersebut adalah enterprise theory. Teori ini menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan tetapi juga masyarakat umum.
    Harahap (2008) selanjutnya merumuskan cakupan laporan AI yang bersifat triple bottom line yang mencakup (1) aspek kepatuhan pada syariat, (2) nilai kemaslahatan lingkungan social dan (3) aspek keuangan. Jika diperbandingkan, ketiga aspek ini bersesuaian dengan ketiga dimensi yang dikemukakan Haniffa di atas.
    Harahap (2001) mengemukakan pemikiran Baydoun dan Willet (2000) mengenai bentuk laporan keuangan perusahaan menurut Akuntansi Islam. Bentuk laporan adalah Laporan Nilai Tambah sebagai ganti Laporan Rugi Laba konvensional. Laporan Nilai Tambah mengandung prinsip pertanggung-jawaban social. Laporan memberikan informasi diperolehnya laba bersih berupa nilai tambah dan bagaimana laba itu didistribusikan secara adil kepada pihak-pihak penyumbang terciptanya nilai tambah.
    Berikut adalah komponen laporan nilai tambah adalah sebagai berikut:
    1. Neraca yang juga memuat informasi tentang karyawan dan akuntansi SDM,
    2. Laporan Nilai Tambah sebagai pengganti Laporan R&L.
    3. Laporan Arus Kas.
    4. Laporan pertanggungjawaban social
    5. Catatan yang berisi: (a) pengungkapan secara lebih luas tentang laporan keuangan yang disajikan, (b) laporan berbagai nilai dan kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam, yang dapat dilengkapi dengan pernyataan dari Dewan Pengawas Syariah, dan (c) informasi tentang efisiensi, good governance dan laporan produktivitas.

    Haniffa (2001) dalam Harahap (2003) memerinci informasi yang dibutuhkan bagi akuntabilitas sebagai berikut:
    1. Amanah : memproduksi barang dan jasa yang halal sesuai ketentuan Allah;
    2. Memenuhi kewajiban kepada Allah dan manusia;
    3. Mendapatkan laba sesuai syariah;
    4. Mencapai tujuan perusahaan;
    5. Adil kepada karyawan dan masyarakat;
    6. Meyakinkan bahwa kegiatan perusahaan tidak merusak lingkungan;
    7. Menganggap tugas berdimensi ibadah.
    Sedangkan dalam konteks transparansi diperlukan informasi mengenai:
    1. kegiatan yang halal dan haram;
    2. kebijakan keuangan dan investasi;
    3. Kebijakan kepegawaian;
    4. hubungan perusahaan dan masyarakat
    5. sumber dan perlindungan (konservasi) alam.

    Kerangka Akuntansi Islam menurut Harahap
    Harahap (2008) mengajukan secara padat dan komprehensif suatu kerangka teori akuntansi syariah yang dirumuskan secara normatif berdasarkan pengetahuan baik dari akuntansi kapitalis dan nilai-nilai yang terdapat dalam syariat Islam dan sumber-sumber hukumnya. Rumusan ini boleh jadi merupakan suatu konstruksi komprehensif dan padat yang mencakup unsur-unsur utama pemikiran akuntansi Islam dari beberapa ahli diatas.

    PSAK Syariah
    Overview
    PSAK Syariah revisi 2007 terdiri dari Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS), PSAK 101 (Akuntansi Murabahah), PSAK 102 (Akuntansi Ijarah), PSAK 103 (Akuntansi Assalam), PSAK 104 (Akuntansi Istishna), PSAK 105 (Akuntansi Mudharabah), dan PSAK 106 (Akuntansi Musyarakah). KDPPLKS ini merupakan penyempurnaan atas versi sebelumnya yang terbit tahun 2001.
    Harahap (2001, h. 227) menyatakan bahwa KDPPLKS versi pertama serta PSAK untuk bank syariah (PSAKBS) yang diterbitkan pada tahun 2001 mengacu pada standar yang dihasilkan oleh AAOIFI dan ditujukan untuk sektor perbankan. AAOIFI (Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institution yang berpusat di Manama, Bahrain telah menyusun hal-hal berikut:
    1. Tujuan dan konsep Akuntansi Keuangan untuk lembaga keuangan
    2. Standar akuntansi untuk lembaga keuangan khusnya bank
    3. Tujuan dan standar auditing untuk lembaga keuangan
    4. Kode etik untuk akuntan dan auditr untuk lembaga keuangana
    Dalam hal itu Harahap menganggap bahwa KDPPLKS dan PSAKBS belum mengakar pada konsep dasar akuntansi Islam sesuai dengan filosofi dan epistemology Islam.
    Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) versi 2007 menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian keuangan bagi para penggunanya. Kerangka ini bukan merupakan standar akuntansi keuangan; pernyataan standar akuntansi keuangan dituangkan dalam PSAK 101 – 106, serta lainnya yang akan diterbitkan setelah ini. Kerangka ini terdiri atas 131 paragraf; ruang lingkup pembahasan adalah: (a) tujuan laporan keuangan, (b) karakteristik kualitatif yang menentukan manfaat informasi dalam laporan keuangan, dan (c) definisi, pengakuan, dan pengukuran unsur-unsur yang membentuk laporan keuangan.
    Isi dokumen tersebut mencakup: Pendahuluan yang mencakup tujuan dan peranan, ruang lingkup, pengguna dan kebutuhan informasi, paradigma transaksi, asas transaksi; Tujuan laporan Keuangan, Asumsi Dasar, Karaketristik Kualitatif, Unsur-unsur laporan keuangan, pengakuan unsure laporan keuangan dan pengukuran unsur laporan keuangan.
    Telaah Kandungan PSAK Syariah (melalui KDPPLKS)
    Diskusi berikut menelaah kandungan prinsip PSAK Syariah terutama yang tercantum dalam KDPPLKS berdasarkan kerangka teori Akuntansi Islam yang diajukan Sofyan S. Harahap (disebut “Teori Harahap”). Secara teoritis PSAK Syariah yang merupakan unsur dari struktur akuntansi Islam diharapkan mencerminkan world-view, tujuan, postulat, konsep dan prinsip akuntansi syariah yang membentuknya. Telaah ini dimaksudkan untuk menunjukkan koneksitas tersebut, dan jika tidak bagian mana yang masih memerlukan penyempurnaan.

    Kesimpulan
    Dari penelaahan atas beberapa aspek kunci pada Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
    1. PSAK Syariah secara umum telah mencerminkan world-view, tujuan, postulat, konsep dan prinsip sebagaimana diajukan dalam Kerangka Teori Akuntansi Syariah dari Harahap.
    2. Terdapat beberapa unsur Teori Harahap yang tidak jelas diadopsi dalam PSAK Syariah, yaitu:
    • Uraian kebutuhan informasi berbagai stakeholder belum mencerminkan nilai tauhid dalam kepentingan informasi mereka kecuali dengan pendekatan pengawasan.
    • Asas transaksi syariah kurang memberi kejelasan tentang aspek lingkungan atau dianggap tercakup dalam aspek sosial.
    • Pembahasan kematerialan masih terfokus pada financial dan belum mencerminkan concern syariah seperti yang dikandung pada prinsip materialitas.
    Catatan
    Telaah di atas masih merupakan telaah pendahuluan dan belum dapat meneliti keseluruhan isi PSAK Syariah karena terbatasnya waktu. Hal yang tidak tercantum pada paragraph yang diteliti mungkin saja terkandung pada paragraf lain (walaupun hal ini kecil kemungkinannya untuk suatu dokumen yang professional). Penelaahan juga belum mencakup PSAK 101 – 106. Telaah atas hal-hal yang belum dicakup di atas tentu akan menambah pemahaman pembaca akan teori akuntansi Islam baik yang dikembangkan Harahap maupun lainnya dalam kaitannya dengan PSAK Syariah.
    Sekelumit studi ini diharapkan dapat memberi sumbangan sekecil apapun dalam pengembangan teori akuntansi Islam dan aplikasinya pada penyusunan standar akuntansi di Indonesia.

    Daftar Pustaka
    Tim Penerjemah Alquran, Alquranul Karim dan Terjemahan, Jakarta, Departemen Agama, RI, 1986.
    Sofyan Safri Harahap, Akuntansi Sosial Ekonomi dan Akuntansi Islam, paper bahan kuliah akuntansi Islam IEF Trisakti.
    Rifki Muhammad SE dan Edo Segara, Islamic Values: Dalam Pelaporan Keuangan Syariah, artikel di web.
    Sofyan S. Harahap, Kerangka Teori dan Tujuan Akuntansi Syariah, Pustaka Quantum , Jakarta, 2008.

    NIAR IRIANI said:
    Februari 23, 2009 pukul 1:15 pm

    Kerangka Konseptual Akuntansi Konvensional versus Akuntansi Syariah

    Oleh Ari Kamayanti

    1. Pendahuluan
    Bangkitnya semangat untuk mempelajari akuntansi syariah di Indonesia banyak disebabkan oleh semakin banyaknya bank- bank syariah yang berdiri. Lahirnya UU no 7 1992 dan UU no 10/1998 mengenai eksistensi bank syariah memicu tumbuhnya bank- bank syariah antara lain Bank Muamalat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat ( BPR) Syariah dan BTN Syariah. Geliat bank syariah di dunia baru dimulai di Mesir pada tahun 1971 yaitu Social Bank, di Jeddah yaitu Saudi Arabian Islamic Bank pada tahun 1975, dan di Bahrain pada tahun 1979 yaitu Bahraini Islamic Bank. Kini aktiva bank syariah sedunia diestimasi telah berkisar di antara 50 sampai dengan 100 milyar US dolar. Pertumbuhan rata- rata tahunan berkisar di antara 10 sampai dengan 15 persen dari dasar aktiva (Pomeranz. 2005).
    Menurut Sullivan dalam Pomeranz (2005), kebutuhan akan bank- bank syariah disebabkan tiga pertimbangan (1) investor islam harus menghindari keterlibatannya dalam industri- industri yang dilarang agama yaitu antara lain alkohol, perjudian, ponografi, daging babi (2) perusahaan islam harus menghindari bunga (riba), perjudian, dan memperhatikan batasan- batasan jual beli sekuritas (3) banyak investor islam yang mulai tertarik untuk berinvestasi di perusahaan- perusahaan yang memperhatikan etika- etika berbisnis dalam islam. Hadirnya bank syariah mendorong timbulnya kebutuhan akan standar akuntansi untuk mengakomodir kegiatan operasional perbankan syariah. Standar akuntansi diperlukan bank syariah untuk meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas dalam mencapai tujuan- tujuan finansial maupun tujuan- tujuan menurut syariat islam (Beiq dan Arsyanti. 2006)
    Untuk itu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 59 mengenai Akuntansi Perbankan Syariah yang dimuat pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 2004. Adapun standar untuk akuntansi perbankan konvensional sebelumnya telah diterbitkan pada PSAK no 31 mengenai Akuntansi Perbankan. Perbedaan standar akuntansi perbankan ini tentu saja terjadi karena kerangka konseptual yang berbeda antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Tujuan- tujuan dan dasar- dasar akuntansi syariah tidak hanya menekankan aspek dunia namun juga aspek akherat. Tujuan pertanggungjawaban akhir adalah kepada Alloh SWT sebagai pemilik mutlak dunia, tidak semata pada stakeholder.
    Kerangka konseptual akuntansi adalah suatu sistem koheren dari tujuan- tujuan dan dasar- dasar yang saling terkait yang dapat mengarah pada standar- standar yang konsisten dan yang menentukan sifat, fungsi dan batasan dari akuntansi keuangan dan laporan keuangan. Terdapat dua alasan pentingnya ada suatu kerangka konseptual. Pertama adalah agar dihasilkan standar dan aturan yang koheren yang disusun atas dasar yang sama sehingga menambah pengertian dan kepercayaan para pengguna laporan keuangan serta mendorong keterbandingan diantara perusahaan yang berbeda. Kedua adalah agar masalah- masalah praktis yang baru muncul sesuai dengan berkembangnya kompleksitas bisnis dan lingkungan dapat segera diselesaikan dengan referensi kerangka teori dasar yang sudah ada (Kieso dan Weygandt. 1995: 46- 47). Lingkup penelitian ini adalah kajian mengenai kerangka konseptual yang membentuk akuntansi konvensional dan akuntansi syariah.
    Berkaitan dengan kerangka konseptual yang melandasi terbitnya berbagai standar akuntansi, perlu diingat bahwa ia muncul dari tujuan- tujuan filosofis, teori- teori normatif, konsep- konsep yang saling terkait, definisi- definisi yang tepat dan aturan aturan yang membentuknya. Triyuwono dalam Adnan (2005) menyatakan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan. Artinya akuntansi tidak saja dibentuk oleh lingkungannya, tetapi juga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, termasuk perilaku manusia yang menggunakan informasi. Kajian ini terbatas pada pembentukan akuntansi akibat lingkungannya, yang dalam hal akuntansi syariah adalah nilai- nilai islam.

    2. Sistem Ekonomi Konvensional versus Sistem Ekonomi Islam

    Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia untuk mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Cara pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) inilah yang membentuk sistem ekonomi yang diterapkan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa suatu kerangka konseptual berkembang dari tujuan, teori, konsep, definisi dan aturan, maka sistem ekonomi sebagai penentu pendisribusian kesejahteraan tidak bisa lepas dari kajian mengenai kerangka konseptual akuntansi.
    Ada lima sistem ekonomi yang dikenal masyarakat: yaitu (a) kapitalisme (b) sosialisme (c) fasisme (d) komunisme dan (e) islam. Empat sistem ekonomi pertama adalah sistem ekonomi konvensional di mana sistem Kapitalisme yang masih bertahan. Pembahasan mengenai setiap sistem ekonomi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
    a. Sistem Ekonomi Kapitalisme
    Sistem ekonomi kapitalisme diperkenalkan pertama kali oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya An Inquiry into The Nature and Causes of the Wealth of Nation dengan banyak pendukung: Ricardo, Malthus, Keynes. Sistem ekonomi kapitalisme telah menerima akseptansi dunia dan telah berkembang apalagi setelah berhasil menggantikan sistem ekonomi di negara- negara motor penggerak sistem komunisme dan sosialisme. Smith berpendapat bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar kepentingan pribadi. Motif kepentingan individu didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Menurut Smith, jika individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, maka ia seakan dibimbing invisible hand. Sehingga pada sistem ekonomi kapitalisme berlaku Free Fight Liberalism (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuatan modal dapat memenagkan persaingan bisnis. Walaupun sistem ini telah mendapatkan tempat yang tinggi di dunia, namun ada beberapa kelemahan yang dapat dicermati (Adnan, 2005). Pertama, ekonomi kapitalis adalah konsep yang human made, sama sekali tidak ada sentuhan Ilahiyah. Kedua, kapitalisme tidak mengenal kata keadilan yang seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun sistem ekonomi yang solid. Ketiga, tidak manusiawi karena adanya eksploitasi baik dari manusia ke manusia lain, ataupun negara ke negara lain, Ketiga, telah terbukti bahwa penerapan konsep kapitalisme tidak otomatis memberikan kesejahteraan. Keempat, kapitalisme terbatas pada ukuran duniawi saja, kesejahteraan diukur dengan aspek materi dan kering dari nilai- nilai agama.
    b. Sistem Ekonomi Sosialisme
    Sosialisme muncul dari ketidakpuasan terhadap kapitalisme. Sosialisme diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah menasionalisasikan industri besar dan strategis seperti penambangan , jalan- jalan, kereta api serta cabang- cabang produk lain yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk paling lengkap, sosialisme melibatkan semua pemilikan alat- alat produksi termasuk di dalamnya tanah- tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan kepemilikan swasta (Brinton dalam Eldine, 2005). Hal yang menonjol dalam sosialisme adalah rasa kebersamaan sehingga alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber ekonomi negara diatur pemerintah.
    c. Sistem Ekonomi Fasisme
    Fasisme muncul dari filsafat radikal yang dipicu oleh revolusi industri yaitu sindikalisme. Intinya, filsafat sindikalisme menginginkan reorganisasi masyarakat menjadi asosiasi- asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat pekerja. Sindikat yang pada dasarnya serikat buruh akan menggantikan negara. Pemerintah melakukan pengendalian di bidang produksi sedangkan kekayaan dimiliki pihak swasta
    d. Sistem Ekonomi Komunisme
    Kata komunisme sering digunakan untuk menggambarkan sistem sosial di mana barang- barang dimiliki secara bersama- sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing- masing anggota masyarakat. Komunisme muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme sebagai aliran yang ekstrim dan lebih bersifat ideologis. Karl Marx adalah pejuang komunisme yang amat membenci kapitalisme karena ia melihat bagaimana kapitalisme telah mengeksploitir sebagian masyarakat, termasuk keluarganya, sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para borjuis. Paham komunisme adalah from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai kemampuan untuk setiap orang sesuai kebutuhan)
    e. Sistem Ekonomi Islam Dalam ekonomi islam kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi dialokasikan sedemikian rupa sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorangpun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam ekonomi islam manusia tidak berada dalam kedudukan untuk dapat dengan leluasa mendistribusikan sumber- sumber daya: ada Al Qur’an dan Hadits yang membatasi. Misalnya membuat dan menjual minuman beralkohol bisa jadi merupakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan tinggi dan merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi konvensional, namun dalam sistem ekonomi islam hal tersebut tidak diperkenankan (Eldine, 2005).
    Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin dan melarang penumpukan kekayaan. “Kecelakaanlah bagi setiap… yang mengumpulkan harta dan menghitung- hitung” (QS: 104-2) Ajaran Islam menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial. “Jangan sampai kekayaan hanya beredar di kalangan orang- orang kaya saja diantara kamu” (QS: 59- 7). Ekonomi Islam juga berbeda dengan sosialisme karena kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam islam bertentangan dengan ajaran sosialisme (Mubyarto, 2002).
    3. Kerangka Konseptual Akuntansi
    Kerangka konseptual adalah struktur teori akuntansi yang didasarkan pada penalaran logis yang menjelaskan kenyataan yang terjadi dan menjelaskan apa yang harus dilakukan apabila ada fakta atau fenomena baru. Kerangka konseptual digambarkan dalam bentuk hirarki yang memiliki beberapa tingkatan. Pada tingkatan teori yang tinggi, kerangka konseptual mengindentifikasi ruang lingkup dan tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan selanjutnya, karakteristik kualitatif dari informasi keuangan dan elemen keuangan didefinisikan. Pada tingkatan operasional, kerangka operasional berkaitan dengan prinsip- prinsip dan aturan- aturan tentang pengakuan dan pengukuran elemen laporan keuangan. Artinya perumusan kerangka konseptual dimulai dengan penentuan tujuan yang menjadi landasan untuk menyusun elemen lain seperti karakteristik kualitatif dari informasi dan pengakuan serta pengukuran elemen laporan keuangan.
    a. Kerangka Konseptual Akuntansi Konvensional
    Banyak upaya yang dilakukan sebelum dihasilkan kerangka konseptual yang diterima secara luas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai publikasi: A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT) pada tahun 1966, Basic Concept and Accounting Principles Underlying Financial Statement (APB Opinion no 4) pada tahun 1970, Objectives of Financial Statement (Trueblood Report) pada tahun 1973, Statement of Accounting Thery and Theory Acceptance (SATTA) pada tahun 1977.
    Financial Accounting Standard Board (FASB) selama periode 1978- 1985 menerbitkan Conceptual Framework for Financial Accounting and Reporting .yang terdiri dari enam komponen kerangka konseptual yang diberi nama Statement Of Financial Accounting Concept No 1- 6. Keenam komponen tersebut tercantum pada tabel 1 berikut.
    Tabel 1
    Komponen Kerangka Konseptual
    SFAC No Judul Isi Tahun
    1 Objectives of Financial Reporting by Business Enterprise Tujuan yang akan dicapai dalam pelaporan keuangan 1978
    2 Qualitative Characteristics of Accounting Information Kualitas informasi yang harus dipenuhi dalam pelaporan keuangan agar bermanfaat 1980
    3 Elements of Financial Statements of Business Enterprise Definisi dan karakteristik elemen laporan keuangan 1980
    4 Objectives of Financial Reporting by Nonbusiness Organizations Tujuan yang akan dicapai dalam pelaporan keuangan organisasi nirlaba 1980
    5 Recognition and Measurement in Financial Statement of Business Enterprise Kriteria Pengakuan dan atribut pengukuran elemen laporan keuangan 1984
    6 Elements of Financial Statements. A Replacement of FASB Concept Statement No 3 Mengganti SFAC No 3 dan berlaku bagi organisasi nirlaba 1985
    Sumber: Chariri, Anis dan Imam Ghozali. 2001. Teori Akuntansi. Edisi Pertama. Halaman 121.

    Pada level pertama, tujuan kerangka konseptual mengindentifikasi tujuan pelaporan keuangan / why of accounting dan ini tertuang dalam SFAC no 1 dan SFAC No 4. Pada level kedua mencakup SFAC No 2 dan No 3 (yang kemudian diganti oleh SFAC no 6) yang mengindentifikasikan karakteristik kualitatif dari informasi yang dihasilkan dan definisi elemen laporan keuangan. Level kedua ini menjembatani level pertama dengan level ketiga yaitu how of accounting. Level ketiga mendeskripsikan pedoman operasional yang digunakan untuk menentukan standar.
    Upaya penyusunan struktur teori akuntansi dilakukan oleh Belkaoui pada tahun 1980an dengan merumuskn hirarki elemen struktur teori akuntansi seperti tampak pada gambar 1 berikut.

    Gambar 1
    Hirarki Elemen Struktur Teori Akuntansi

    1. Tujuan Laporan Keuangan
    2a. Dalil Akuntansi
    2b. Konsep Teoritis Akuntansi
    3. Prinsip Akuntansi
    4. Teknik Akuntansi

    Sumber: Belkaoui, Ahmed. 1998. Teori Akuntansi. Halaman 133.
    Struktur teori akuntansi Belkaoui seperti yang tergambar pada gambar 1 maupun seperti yang tercantum pada tiga level kerangka konseptual FASB menunjukkan bahwa tujuan pelaporan dan laporan keuangan merupakan dasar dari penyusunan prinsip akuntansi yang pada akhirnya diturunkan pada aturan atau teknik akuntansi.
    Tujuan pelaporan keuangan pada SFAC tercantum pada beberapa paragraf. Salah satunya pada paragraf 50 (Chariri, Anis dan Imam Ghozali. 2001:124) yang menyatakan bahwa pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang bagaimana manajemen perusahaan mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik (pemegang saham) atas pemakaian sumber ekonomi yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan perumusan tujuan laporan keuangan menurut Belakoui (1998: 80) tergantung pada penyelesaian pertentangan kepentingan yang ada dalam pasar informasi. Secara khusus laporan keuangan diakibatkan oleh interaksi antara tiga kelompok yaitu: perusahaan, pemakai dan profesi akuntansi. Belkaoui (1998: 83) merujuk APB Stat no 4 mengenai tujuan khusus laporan keuangan yaitu menyajikan secara wajar dan sesuai prinsip akuntansi yang diterima umum, posisi keuangan, hasil usaha dan perubahan lain dalam posisi keuangan.
    Perlu dibedakan antara laporan keuangan (financial report) dan pelaporan keuangan (financial reporting). Pelaporan keuangan meliputi tidak hanya laporan keuangan namun juga media pelaporan lain, yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan informasi yang disediakan oleh sistem akuntansi. Sehingga dalam hal ini, Belkaoui membahas lingkup tujuan yang lebih sempit dibandingkan FASB
    b. Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah
    Kerangka konseptual akuntansi syariah juga dibangun dari tujuan yang pada akhirnya digunakan untuk merumuskan teknik akuntansi. Adnan (2005: 70) merumuskan kerangka konseptual akuntansi syariah pada gambar 2 berikut.

    Gambar 2
    Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah

    Syariah

    Moral Sosial Ekonomi Politik
    Akuntansi Syariah

    Teknik:
    1. Pengukuran

    2. Penyingkapan
    Manusia:
    Pemegang Kuasa+ Pelaksana

    Dasar: Moralitas/ etika berdasarkan hukum Tuhan

    Sumber,: Adnan, M. Akhyar. 2005. Akuntansi Syariah: Arah, Prospek dan Tantangfannya. Halaman 70
    Tujuan dari akuntansi syariah menurut Adnan ada dua hal. (1) membantu mencapai keadilan sosio- ekonomi (Al Falah) dan (2) mengenal sepenuhnya kewajiban kepada Tuhan, masyarakat, individu sehubungan dengan pihak- pihak yang terkait pada aktivitas ekonomi yaitu akuntan, auditor, manajer, pemilik, pemerintah dsb sebagai bentuk ibadah.
    Selanjutnya manusia yang diberi amanah sebagai pemegang kuasa melaksanakan aktivitas dengan moralitas dan etika yaitu: taqwa, kebenaran dan pertanggungjawaban. Teknik juga dirumuskan dari tujuan akuntansi syariah dengan dua komponennya yaitu pengukuran dan penyingkapan. Pada komponen pengukuran dibahas kepentingan- kepentingan untuk tujuan zakat, penentuan dan distribusi laba serta pembayaran pajak. Sedangkan di komponen penyingkapan dijelaskan tentang pentingnya pemenuhan tugas dan kewajiban sesuai syariah: harus halal, bebas riba dan penilaian zakat sesuai aturan yang ditetapkan Alloh SWT berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
    Badan yang menerbitkan standar akuntansi islam pada saat ini adalah the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAO-IFI) yang didirikan sejak 1991 di Bahrain. Sampai dengan saat ini telah diterbitkan 56 standar akuntansi Islam dalam bidang akuntansi, auditing, governance dan etika, seperti tertera pada tabel 2. Anggota Technical Board AAOIFI berjumlah 20 orang, dengan 115 anggota yang mewakili 27 negara. Saat ini juga sedang disusun program Certified Islamic Public Accountant (CIPA) yang akan segera disebarluaskan ke beberapa negara (Alchaar, 2006)
    Pemerataan kesejahteraan adalah melalui zakat. Surat At-Taubah (9: 60) menjelaskan siapa saja yang berhak atas zakat. Meskipun nominal zakat lebih kecil dari pajak dalam ekonomi moderen, namun pemberlakuan distribusinya lebih efektif (Eldine, 2005). Hal ini tidak berarti bahwa Islam membenarkan orang untuk menjadi malas dan meminta- minta. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yang meminta- minta kepada orang untuk memperbanyak hartanya, sesungguhnya yang dimintanya itu hanyalah bara api, maka bolehlah ia meminta sedikit atau banyak” (Al Asqalani. 1996: 370)
    Kerangka konseptual akuntansi konvensional yang telah dibahas sebelumnya terlihat jelas mengaju pada sistem ekonomi kapitalisme. Belkaoui (1998: 80) menjelaskan bahwa perumusan tujuan akuntansi keuangan tergantung pada penyelesaian pertentangan kepentigan tiga golongan: perusahaan, pemakai dan profesi akuntansi. Ini mengindikasikan bahwa jika tujuan laporan keuangan adalah salah satu dari ketiga pihak tersebut, maka bisa jadi pihak- pihak lain merasa dirugikan. Artinya ada ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip ekonomi islam.
    Belkaoui selanjutnya membahas dalam struktur teori akuntansinya mengenai dalil akuntansi dan konsep teoritis akuntansi. Didefinisikan oleh Belkaoui (1998: 132- 133) bahwa dalil akuntansi adalah pernyataan atau aksioma yang terbukti dengan sendirinya yang diterima umum berdasarkan atas kesesuaiannya dengan tujuan laporan keuangan, yang menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial dan hukum dalam mana akuntansi harus beroperasi. Sedangkan konsep teoritis akuntansi adalah pernyataan atau aksioma yang terbukti dengan sendirinya yang diterima umum berdasarkan atas kesesuiannya dengan tujuan laporan keuangan , yang menggambarkan sifat kesatuan akuntansi yang sedang berlaku dalam suatu perekonomian bebas dengan bercirikan pemilikan swasta atas kekayaan. Hal ini sangat sejajar dengan sistem ekonomi kapitalisme mengenai adanya motif kepentingan individudalam sistem tersebut yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas.
    FASB yang mengeluarkan 6 SFAC sebagai kerangka konseptual akuntansi juga mencirikan ekonomi kapitalisme. Pada paragraf 50 tentang tujuan pelaporan keuangan disebutkan bahwa salah satu tujuan pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi bagaimana manajemen perusahaan mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik (pemegang saham) atas pemakaian sumber ekonomi yang dipercayakan kepadanya. Paragaraf 52 menyatakan pelaporan keuangan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan direktur sesuai kepentingan pemilik. Paragraf tersebut menjelaskan bahwa ada kepentingan yang didahulukan (pemilik) padahal sebaik- baiknya informasi diungkapkan berdasarkan kepentingannya atas masyarakat banyak (Adnan, 2005)
    Daftar Pustaka:
    Adnan, Achyar. 2005. Akuntansi Syariah; Arah, Prospek dan Tantangannya. Yogyakarta UII Press.
    http://akuntansisyariah.multiply.com/journal/item/1/Kerangka_Konseptual_Akuntansi_Konvensional_versus_Akuntansi_Syariah

    Rina Amalia Budiati | 073403130 | D said:
    Februari 23, 2009 pukul 1:50 pm

    MENYAMBUT
    STANDAR AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH

    Dr Sofyan S Harahap
    Universitas Trisakti

    1. PENGANTAR

    Pada 1 Mei 2002 secara resmi IAI telah menerbitkankan PSAK No 59. Standar ini perlu disambut dengan gembira karena merupakan salah satu instrumen pendukung perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Bank Syariah pertama mulai beroperasi resmi pada 1 Mei 1992. Keberadaan Bank Syariah ini setelah beberapa tahun kemudian disambut hangat dengan lahirnya beberapa bank lain. Menurut data BI memang pangsa pasar Bank Syariah ini masih relatif kecil sekitar 0,025%, dengan indikator (Juni 2002) lain:

    Total asset : Rp. 2.81 trilyun 0,18 % dari Total asset perbankan nasional
    Pembiayaan : Rp. 2,74 trilyun 0,50 % dari Total pembiayaan perbankan nasional
    Pendanaan : Rp. 2,08 trilyun
    Modal : Rp. 5,456 trilyun
    Bank : 2 Bank umum, 4 Bank dengan Unit Syariah dengan kantor sebanyak
    176 cabang dan 81 BPRS.

    Dari antusiasme masyarakat diramalkan pangsa dan peran bank syariah ini akan semakin meningkat. Keadaan ini berlaku juga di Malaysia dan di tingkat Internasional.

    Terlepas dari kualitas dan kesempurnaannya, PSAK 59 ini perlu kita puji dan sokong. Karena kedua standar ini sangat perlu untuk mempercepat perkembangan bank syariah di negeri ini. Standar ini banyak mengadopsi kerangka dan standar yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Instirutions (AAOIFI, 1998) yang berpusat di Bahrain. Sikap ini menjadi plus lagi karena hal ini akan menuju standar yang sesuai dengan konsep internasional sehingga harmonisasi standar akuntansi bank syariah didunia Islam bisa terwujud.

    Kalau kita kaji lebih dalam kedua standar ini masih beranjak dari kerangka akuntansi konvensional. Hal ini lumrah karena disiplin akuntansi Islam sebagai ilmu belum “terwujud” sehingga berbagai paradigma masih tetap menggunakan konsep konvensional yang belum sepenuhnya seirama dengan sifat dan nilai nilai syariat yang kita yakini. Reaksi sebahagian praktisi perbankan tentang prinsip “accrual basis” misalnya merupakan ekses dari dual sistem ini.

    2. Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan

    Kerangka dasar ini adalah menyajikan konsep yang mendasari penyusunan laporan keuangan bagi bank syariah. Memang kerangka ini sangat dangkal sekali dan tidak cukup dijadikan dasar sebagai kerangka yang kuat untuk melahirkan bangunan standar yang komprehensif. Adapun isinya dapat digambarkan sebagai berikut:

    a. Perbedaan antara bank konvensional dan syariah
    b. Para pemakai: investasi pemilik, pembayar zakat dan dewan pengawas syariah.
    c. Tujuan akuntansi keuangan menentukan hak dan kewajiban pihak terkait termasuk atas transaksi yang belum selesai, memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, dan tentang kepatuhan terhadap prinsip syariah.
    d. Tujuan laporan keuangan menyajikan informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah, mengevaluasi sejauhmana tanggungjawab bank terhadap amanah dalam mengelola berbagai dana, mengenai fungsi sosial bank termasuk penyaluran zakat.
    e. Asumsi dasar yang dipakai, pada umumnya adalah dasar akrual kecuali dalam hal perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi hasil menggunakan dasar kas. Point ini yang belakangan menjadi polemik yang sebenarnya disebabkan karena ketidak tahuan
    3. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

    a. Pengakuan dan pengukuran

    Pengakuan dan pengukuran masing masing produk: mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisha’, ijarah, wadiah, qardh, dan transaksi berbasis imbalan diatur. Masing masing jenis produk bank ini bisa berbeda beda dan sangat tergantung pada sifatnya.

    b. Penyajian laporan keuangan

    Bebagai jenis laporan yang harus disajikan bank syariah adalah:

    1. Neraca
    2. Laporan Laba Rugi
    3. Laporan perubahan dana Investasi terikat
    4. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah
    5. Laporan Sumber dan Penggunaan Alqardh

    Laporan 3 terakhir adalah khas bank syariah. Laporan ini harus disajikan sesuai dengan konsep “full disclosure” dengan menjelaskan semua jenis pembiayaan yang ada, dana atau investasi yang diterima serta sifat, hak, periode, bagi hasil yang berkaitan dengan produk tersebut.

    c. Pengungkapan
    Laporan bank syariah harus mengungkapkan informasi umum mengenai bank syariah dan informasi tambahan:

    a. Karakteristik kegiatan bank dan jasa yang diberikan
    b. Tugas dan kewenangan Dewan Pengawas Syariah
    c. Tanggungjawab bank terhadap pengelolaan zakat
    d. Kebijakan akuntansi, pengakuan pendapatan, penyisihan kerugian aktiva produktif, dan konsolidasi laporan keuangan
    e. Transaksi yang dilarang syariah dan menyelesaikannya.
    f. Dana yang tidak terikat
    g. Aktiva produktif (jenis, sektor, jumlah, yang menyangktu hubungan istimewa, kedudukan bank, bagi hasil, klassifikasi, penyisihan kerugian, aktiva prosuktif bermasalah)

    Ketentuan masing masing Laporan:
    1. Neraca mengungkapkan jumlah, jenis pembiayaan, syarat dan penyisihan kerugian
    2. Laba Rugi mengungkapkan pendapatan, beban, keuntungan, kerugian dan bagian bank menurut jenis transaksi.
    3. Perubahan dana Investasi terikat: periode laporan, saldo, keuntungan/kerugian dan saldo akhir, sifat hubungan bank, hak dan kewajiban.
    4. Sumber dan Penggunaan Dana ZIS: periode, dasar penentuan zakat, jumlah yang diterima/disalurkan, saldo.
    5. Sumber dan Penggunaan Alqardh Hasan: periode, jumlah, penyaluran, penerimaan dan saldo.

    Melihat isi dan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya kedua PSAK ini harus dianggap sebagai suatu konsep temporer yang mesti disempurnakan nantinya setelah kerangka Akuntansi Islam yang “established” lahir dari ideologi, masyarakat, sistem ekonomi dan Akuntansi yang Islami. Sebagaimana teori Colonial Model yang dikemukakan oleh Gambling dan Karim.

    PSAK ini akan dijabarkan lagi dalam bentuk PAPI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia yang saat ini sedang dirumuskan. Didalam BI sendiri sedang dipersiapkan format pelaporan Bank Syariah yang sangat perlu bagi semua bangk syariah dan BI dalam pembinaan, pengawasan dan data moneter ekonomi dan perbankan di Indonesia. Lanjutan dari PSAK ini adalah Penyusun Pedoman Auditing untuk Perbankan Syariah yang saat ini sedang bekerja.

    sumber:
    http://khay1328.multiply.com/reviews/item/12

    ANDY HARDIANSYAH (073403047) KELAS B said:
    Februari 23, 2009 pukul 2:31 pm

    Akuntansi Syariah: Dari Konsep ke Aplikasi

    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (melakukan transaksi bisnis) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis (akuntan) di antara kamu, menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS[2]:282)

    Ayat tersebut adalah ayat terpanjang dalam Al-Quran yang bercerita tentang konsep akuntansi. Secara langsung, hal tersebut membuktikan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman manusia sangat concern terhadap hubungan horizontal antarsesama manusia. Hal tersebut juga membuktikan bahwa Islam –sebagai agama yang diajarkan dalam Al-Qur’an– adalah agama yang lengkap (syamil) dan mampu mencakup seluruh aktivitas hidup manusia, bahkan di bidang ekonomi sekalipun. Islam bukan agama parsial, yang hanya digunakan ketika berada di dalam masjid, tetapi juga mampu membahas realitas kekinian yang harus dihadapi manusia untuk menghadapi problematika kompleks kehidupannya.
    Dalam tataran yang lebih nyata, tradisi dan sejarah Islam terhadap interpretasi ayat tersebut telah mampu menciptakan budaya akuntansi baik pada tingkat Negara (kelembagaan) maupun tingkat individu. Pada konteks Negara, prosedur pencatatan akuntansi, telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (periode 636-645 M). Pada masa ini, Baitul Mal (lembaga pengelola harta Negara dan umat) memerlukan pencatatan formal atas dana-dana yang diperoleh lembaga tersebut dari berbagai sumber. Kemudian, sistem tersebut mengalami perkembangan pada periode berikutnya seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan adanya buku Akuntansi pada masa Abasiyah (750-847 M) seperti: Jurnal Pengeluaran (Jaridah Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah Al-Maal/Funds Journal), Jurnal Dana Sitaan (Jaridah Al-Musaridin/Confiscated Funds Journal), dan laporan akuntansi yang dikenal dengan nama Al-Khitmah (Triyuwono 2006, 20).
    Pada konteks sebagai manusia Muslim, individu memiliki kewajiban untuk memperhitungkan jumlah harta yang dimilikinya. Perhitungan ini, baik yang melalui pembukuan atau sekedar pencatatan, akan digunakan untuk menentukan kewajiban zakat yang harus dibayarkan oleh masing-masing individu.

    Konsep Akuntansi Syariah
    “Metodologi pengetahuan Islam seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap warisan pengetahuan Barat, tetapi lebih dipandang sebagai sebuah metodologi yang lebih luas dan komprehensif yang di dalamnya” (Bashir, 1986b)
    Istilah Akuntansi Syariah sendiri sebenarnya baru diwacanakan pada tahun 1995, berawal dari sebuah disertasi di University of Wollongong, Australia yang berjudul “Shari’ate Organization and Accounting: The Reflection of Self’s Faith and Knowledge“. Istilah ini kemudian berkembang membentuk cara pandang baru tentang akuntansi. Syariah, yang melekat pada kata akuntansi -dalam tataran normatif- akan mencelupkan nilai tentang bagaimana seharusnya peran akuntansi sebagai sebuah alat untuk mewujudkan tujuah syariah sendiri. Tujuan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga lima hal yang substantif dalam kehidupan manusia (maqashid syariah): agama (faith), akal (intellect), jiwa (life), keturunan (lineage), dan harta (property).
    Untuk dapat berkembang dengan baik, -sebagai sebuah alat- akuntansi syariah sudah seharusnya mendiferensiasikan diri dari akuntansi yang ada sekarang. Diferensiasi ini tentu tidak hanya sebatas pada masalah aplikasi-teknis semata. Dari nilai-nilai yang dibawa, akuntansi syariah sudah sewajarnya harus memberikan landasan yang berbeda. Jika akuntansi konvensional bergerak dari sebuah konsep tentang materialisme, maka akuntansi syariah bergerak dari landasan ideologis Islam yang merupakan proses integrasi Islamisasi pengetahuan.
    Selanjutnya, karena proses pergerakan akuntansi syariah bergerak dari ideologi Islam, maka tujuan akuntansi syariah juga diformulasikan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Misalnya, tujuan dasar laporan keuangan syariah yang bersifat material-spiritual. Material, karena pelaporan itu adalah untuk pemberian informasi, seperti yang dilakukan dalam akuntansi konvensional dan spiritual, karena pelaporan tersebut juga memperhitungkan aspek akuntabilitas yang sarat dengan nilai-nilai etika syariah dan dapat menghantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan (God-consciousness).

    Pengembangan Aplikasi Akuntansi Syariah
    Pada tiga dekade terakhir, konsep akuntansi syariah terus berkembang. Hal ini paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan pemikiran ahli ekonomi syariah kontemporer yang mampu menganalisa lebih dalam tentang konsep ekonomi syariah secara luas. Maka muncullah nama-nama seperti Umar Chapra, Timur Khan, Mannan, dll yang mendefinisikan kembali ekonomi syariah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan modern, termasuk tentang pemikiran akuntansi syariah di dalamnya.
    Kedua, perkembangan tersebut juga didorong oleh bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah di dunia. Mulai dari Amerika Serikat (Abrar Investment, Inc dan Albaraka Bank Corp, Inc), Inggris (Gulf International Bank, London dan Islamic Finance House Public) sampai ke Timur Tengah (Kuwait Finance House). Kemunculan lembaga ini, secara langsung mampu mendorong permintaan terhadap standar pelaporan keuangan yang sesuai dengan syariah. Maka, pusat-pusat studi ekonomi Islam di kampus atau institut yang tersebar di seluruh dunia menyediakannya untuk mendukung proses bisnis tersebut tetap berjalan sesuai syariah. Output dari studi yang mereka hasilkan itulah yang menjadi faktor ketiga yang mendorong pengembangan konsep akuntansi syariah.
    Dengan tiga faktor pendorong tersebut, maka kemudian banyak muncul buku, karya tulis maupun regulasi yang mengatur tentang aplikasi-praktis ekonomi syariah. Di Indonesia sendiri, beberapa buku dan karya tulis akuntansi syariah sudah banyak dihasilkan oleh akademisi dan praktisi. Dalam tataran produk regulasi, terdapat PSAK No.59 yang dikeluarkan IAI untuk menetapkan standar khusus mengenai akuntansi perbankan syariah.

    Sumber:
    Zulhanief Matsani (Ketua Divisi Kajian Ekonomi Islam FSI)
    http://hanieffeui.wordpress.com/2008/01/13/akuntansi-syariah-dari-konsep-ke-aplikasi/

    Nuni Nurbaedah, kls/c said:
    Februari 23, 2009 pukul 2:38 pm

    04 Januari 2008
    Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah

    Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam
    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.

    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
    Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

    Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah
    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi

    Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam
    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis. Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:

    1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.

    2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).

    3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.

    4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing
    Organization for Islamic Financial just Iflution (AAOIFI) menerbitkan sebuah standard akuntansi untuk lembaga keuangan syariah yang disebut, Accounting, Auditing, and Governance Standard for Islamic Institution.Mungkin secara teori akuntansi islam yang sekarang ini berkembang masih belum matang. Tetapi tugas kitalah, sebagai seorang akademisi akuntansi muslim untuk menyempurnakannya Oleh :

    http://himasi.blogspot.com/2008/01/sejarah-perkembangan-akuntansi-syariah_04.html

    Nasihah Fauzia (073403132) Kelas D said:
    Februari 23, 2009 pukul 2:41 pm

    PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARI’AH
    Menurut sejarah, awal munculnya istilah akuntansi berawal dari sistem pembukuan “double entry”, istilah tersebut sudah ada di berbagai literatur “Teori Akuntansi”, double entry muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Sedangkan istilah akuntansi syari’ah dapat kita temukan apabila kita merefresh kembali sejarah islam, setelah munculnya islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan).
    Sebagai orang islam kita patut bangga karena Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah akuntansi sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan
    يا ايها الذين امنو إذا تدا ينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه وليكتب بينكم كا تب بالعدل ولا يأب كا تب أن يكتب كما علمه الله
    “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menul Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    Bank Indonesia (2004) melaporkan bahwa di Indonesia telah berdiri 10 bank syariah (baik bank umum maupun windows bank umum), yaitu BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII dan BPD DKI dengan sekitar 85 kantor cabang. Selain itu di berbagai daerah juga telah bermunculan BPR Syariah dengan jumlah mencapai 88 bank. Sedangkan dari lantai pasar modal, sejak 14 Maret 2003 telah muncul pasar modal syariah dengan instrumennya Jakarta Islamic Index. Pada akhir tahun 2004 jumlah obligasi syariah telah bertambah dari semula enam emiten menjadi tigabelas emiten dengan nilai total emisi mencapai Rp 1,382 Triliun. Sedangkan reksadana syariah juga mengalami peningkatan pesat dari semula tiga reksadana meningkat menjadi sepuluh reksadana dengan nilai total aktiva bersih mencapai Rp 413,9 Miliar (Bapepam, 2004). Perkembangan Islam dalam perbankan dan pasar modal tersebut masih diikuti dengan munculnya pegadaian Syariah, Asuransi Syariah, serta BMT.
    Sayangnya perkembangan tersebut kurang direspon baik oleh para ulama maupun ummat Islam sendiri. Beberapa ulama justru berbeda pendapat tanpa memberikan solusi yang jelas, hal ini merupakan suatu hal yang ironis. Apabila dibandingkan dengan ulama Malaysia, ulama Indonesia bisa dikatakan kurang kompak dalam menyikapi hal ini. Maka jangan heran, aset seluruh bank syariah hanya sekitar 4% dari seluruh bank yang ada di Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
    http://usweulpe.blogspot.com/2008/11/perkembangan-akuntansi-syariah.html

    Yulis Listiani (063403338) Kls C said:
    Februari 23, 2009 pukul 3:04 pm

    AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
    Akuntansi pada awalnya muncul sebagai pertanggungjawaban terhadap publik yang memilki keterkaitan terhadap informasi yang di sampaikan oleh si sipembuat akuntansi tersebut, sehingga pada tahun 1970 akuntansi sebagai ilmu yang pengetahuan yang bebas dari nila(value-free) sudah tidak semunya relepan dan pada saat era globalisasi yang akan membawa masyarakat pada apa yang terjadi akibat perubahan yang global pada seluruh tatanan masyarakat. Sehinggga boleh dikatakan bahwa informasi di era globalisasi khususnya dalam bidang akuntansi melakukan harmnisasi praktik-praktik akuntansi Jika kita lihat lihat dari pengertian di atas dan kita mencoba untuk berpikir ulang tentang akuntansi dalam prespektif tradisional dimana akuntansi sebagai satu serangkaian prosedur rasional yang di gunakan untuk pengambilan keputusan dan pengendalian yang rasional (makalah:iwan triyuwono) jika demikian akuntansi dianggap sebagai tehnologi yang berwujud dan bebas dari nilai masyarakat di tempat akuntansi di terapkan seharusnya dapat dipengaruhi oleh masyarakat jika akuntansi dianggap sebagai ilmu, sehingga akuntansi di bentuk oleh kultur masyarakat dan sistem nilai sosial atau lebih jauh pada kepedulian moral. (lengkapnya di Iwan Triyuwono,2000)
    Kecenderungan dan pergeseran masyarakat juga berlangsung dalam dunia ilmiah, sehingga kajian tentang upaya membumikan (mengartikan )Al-Qur’an dalam kehidupan kita sering kita lihat dalam penomena sekarang. Dengan kata lain seluruh kajian syariah dalam bidang kehidupan dan ilmu mulai berlangsung, tidak terkecuali bidang akuntansi karena ilmu di pandang memiliki sifat yang di namis dan selalu berkembang mengikuti tuntutan jaman. Lebih lagi akuntansi syariah ada kaitannya dengan sebuah idiologi dan yang menjadi daya tarik untuk di bahasnya akuntansi syariah adalah Pertama,akuntansi selama ini di kenal sebagai alat komunikasi atau seiring dengan bahasa bisnis kaitannya munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah. Kedua, Akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana akuntansi di pergunakan dan di kembangkan. Ketiga, akuntansi memilki peran yang sangat strategis, karena apa yang dihasilkannya, bisa menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan penting dan menentukan.lain. Menurut Sofyan Syafri harahap (1997) pendorong munculnya akuntansi syariah adalah a). meningkatnya religiusitas masyarakat. b). meningkatnya pada tuntunan etika dan tanggungjawab sosial. c). lambannya penanganan oleh akuntansi konvensional mengenai keadilan , kebenaran dan kejujuran . d). kebangkitan akan umat islam khususnya para kaum terpelajar untuk berupaya mendekontruksi akan akuntansi kapitalisme barat. e). perkembangan atau anatomi akan akuntansi itu sendiri. f). kebutuhan akan akuntansi bisnis syariah seperti :Bank Islam, Asuransi Islam, Pasar Modal, Trading. g). kebutuhan akan norma perhitungan Zakat dengan menggunakan norma akuntansi yang sudah mapan. h). kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban dan pengawasan harta ummat manusia.
    Belajar dari kasus di atas maka akuntansipun harus merubah bentuk atau melakukan introveksi diri kalau akuntansi yang sekarang ( konvensional) tidak ingin di tinggalkan oleh penggunanya sehingga akuntansi harus merubah orientasi dan fungsinya. Fungsi akuntansi yang selama ini adalah” decision makin facilitating fangcion” kearah lain yang bermanfaat . sehingga muncullah fungsi Accauntability yang benar walaupun itu telah ada sejak lahirnya akuntansi. Sehingga akuntansi yang ada (konvensional) harus di sempurnakan dengan menambah media yang yang saat ini banyak ditinggal oleh penguna informasi tersebut
    1. Penilaian terhadap efisiensi manajemen dalam bentuk alokasi dan pengunaan dana pada setiap sub bidang kegiatan melalu kontrol yang baik
    2. Pengungkapan terhadap keuntungan manajemen dimana yang paling relefan keuntungan harus di perhitungkan dengan pengalokasian terlebih dahulu atas zakat penghasilan
    3. Penjelasan mengenai budget atau rencana kerja yang relevan tidak meng mark-up anggaran guna kepentingan individu dan kelompok tertentu saja tetapi di sesuaikan dengan harga dan nilai inflasi pada saat tertentu .
    4. Akuntansi harus menyajikan informasi yang relefan tidak hannya informasi kuantitatif tetapi juga kualitatif.
    Asumsi lain dari itu adalah akuntansi syariah kecendrungannya kembali “back to nature” atau back to basik, kemballi keawal sejarahnya akuntansi yaitu untuk pertanggungjawaban sebagai mana di terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 dan ayat tersebut menurut Prof. DR Hamka. Menunjukan dalam tafsir Azhar Zuz 3dalam bukunya Sofyan safri Harahap yang berkaitan dengan akuntansi: “Perhatikanlah tujuan ayat !,yaitu kepada sekalian orang yang beriman kepada Allah supaya utang piutang di tulis, itulah yang diberbuat sesuatu pekerjaan karena Allah,karena perintah Allah dilaksanakan ,sebab itu tidaklah layak karena berbaik hati pada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu di tuliskan karena kita sudah percaya mempercayai padahal umur kedua belah pihak sama-sama di tangan Allah. Si pulan mati dalam berutang, tempat utang menagih pada warisnya yang tinggal.Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian. ” Jelaslah bahwa wajibnya untuk memelihara tulisan dari hasil transaksi muamalah. Karena akuntansi tujuannya pencatatan sebagai pertanggungjawaban atau bukti transaksi atau penentuan pendapatan (income determination). Informasi yang di gunakan dalam proses pengambilam keputusan, dan sebagai alat penyaksian yang akan di pergunakan di kemudian hari dan pendapat lain tentang makna Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 yang harus kita ambil pelajarannya yaitu:
    1. Islam menekankan pertanggungjawaban suatu transaksi secara benar.
    2. Setiap transaksi harus di dukung dengan bukti.
    3. Pentingnya Internal Control
    4. Tujuan adanya pencatatan akuntansi tersebut adalah agar tercipta suatu keadailan terhadap pihak-pihak tertentu.
    5. Dengan diwajibkanya setiap muslim untuk membayar zakat berarti di butuhkan akuntansi agar perhitungan zakat tepat dan benar.
    6. Islam sangat menekankan agar amal yang kita lakukan selalu baik dan profesional termasuk dalam hal akuntansi.
    Melihat semacam itu usaha untuk mencari bentuk akuntansi syariah yang berwajah baru dengan prinsip Subtence Over Form, Reability, Objektivity time lines merupakan sebuah upaya yang akan terwujud menjadikan akuntansi lebih humanis dan syarat dengan nilai sehingga Akuntansi Syariah merupakan salah satu upaya mendekontruksi akuntansi moderen kedalam bentuk yang humanis dan syarat nilai. Akuntansi syariah dalam masyarakat yang sedang berubah tidak hanya sarat nilai dan humanis lebih menekan kan pada aspek keadilan dan kebenaran yang terkait dengan pertanggungjawaban (Muhammad Khar) lain lagi dengan Muhammad Akram Khan dia menyoroti akuntansi islam itu menghitung laba rugi yang tepat dan mendorong dalam mengikuti Syariat Islam, menilai efisiensi manajemen melaporkan dengan baik.
    Sementara itu akuntansi syariah tidak hannya pada dataran normatif (filosofis) yang yang berguna untuk memberikan arah bagaimana akuntansi syariah bisa di kontruksi bukan berarti bahwa akuntansi syariah di peroleh dengan pendekatan deduktif ( deduktif approach), pendekatan induktif ( inductive approach), pendekatan etika (etikal approach ), pendekatanm sosiologis (sociological approach), pendekatan ekonomi (econimic approach). Tetapi batasan akuntansi syariah tersebut yang tegas (borderless). Bahkan akuntansi syariah menggunakan Religi (kitab suci) salah satu sumber untuk mengkontruksi bangunannya secara otomatis akuntansi syariah di bentuk oleh lingkungan nya tetapi juga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, bahkan menurut Iwan Triyuwono mengatakan lebih jelas bahwa akuntansi merupakan “anak” budaya setempat bila kita perhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dan masyarakat barat terdapat perbedaan yang sangat besar, didalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, itu semua tidak ditemukan dalam masyarakat barat.
    Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang beda pula, sehingga Sofyan Safri Harahap menggambarkan hubungan antara ideologi serta konsep dan sistem yang berkembnag dalam masyarakat sebagai berikut: Stuktur dan Sumber Konsep Akuntansi Menurut T.E Gambling dan R.A.A. Karim (1996) mengemukakan bahwa menurut teori Colonial Model, masyarakat Islam akan menghasilkan sistem ekonomi islam dan akuntansi Islam sehingga akuntansi dipandang sebagai alat untuk mempertahankan dan mengesahkan susunan sosial, ekonomi dan politik masa kini, (di pandang sebagai ideologi) dan akuntansi dipandang juga sebagai sebagai mitos yang memungkinkan penciptaan aturan simbolis yang didalamnya terdapat muatan untuk berinteraksi dengan masyarakat, sehingga tujuan akuntansi Syariah terbentuk peradaban bisnis yang memeilki wawasan yang humanis, dan bersandarkan akan ideologi refleksinya realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada aturan Allah. SWT.
    Oleh : Sifa Masturi, SE
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam

    Yulis Listiani (063403338) Kls C said:
    Februari 23, 2009 pukul 3:21 pm

    PENGANTAR AKUNTANSI SYARIAH: Bagian Satu
    oleh:
    Aji Dedi Mulawarman

    1. PENDAHULUAN
    Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).
    Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).
    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%[1]. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).
    Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006)[2].
    Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).
    Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
    Konsep Akuntansi Syariah
    “Metodologi pengetahuan Islam seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap warisan pengetahuan Barat, tetapi lebih dipandang sebagai sebuah metodologi yang lebih luas dan komprehensif yang di dalamnya” (Bashir, 1986b)
    Istilah Akuntansi Syariah sendiri sebenarnya baru diwacanakan pada tahun 1995, berawal dari sebuah disertasi di University of Wollongong, Australia yang berjudul “Shari’ate Organization and Accounting: The Reflection of Self’s Faith and Knowledge“. Istilah ini kemudian berkembang membentuk cara pandang baru tentang akuntansi. Syariah, yang melekat pada kata akuntansi -dalam tataran normatif- akan mencelupkan nilai tentang bagaimana seharusnya peran akuntansi sebagai sebuah alat untuk mewujudkan tujuah syariah sendiri. Tujuan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga lima hal yang substantif dalam kehidupan manusia (maqashid syariah): agama (faith), akal (intellect), jiwa (life), keturunan (lineage), dan harta (property).
    Untuk dapat berkembang dengan baik, -sebagai sebuah alat- akuntansi syariah sudah seharusnya mendiferensiasikan diri dari akuntansi yang ada sekarang. Diferensiasi ini tentu tidak hanya sebatas pada masalah aplikasi-teknis semata. Dari nilai-nilai yang dibawa, akuntansi syariah sudah sewajarnya harus memberikan landasan yang berbeda. Jika akuntansi konvensional bergerak dari sebuah konsep tentang materialisme, maka akuntansi syariah bergerak dari landasan ideologis Islam yang merupakan proses integrasi Islamisasi pengetahuan.
    Selanjutnya, karena proses pergerakan akuntansi syariah bergerak dari ideologi Islam, maka tujuan akuntansi syariah juga diformulasikan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Misalnya, tujuan dasar laporan keuangan syariah yang bersifat material-spiritual. Material, karena pelaporan itu adalah untuk pemberian informasi, seperti yang dilakukan dalam akuntansi konvensional dan spiritual, karena pelaporan tersebut juga memperhitungkan aspek akuntabilitas yang sarat dengan nilai-nilai etika syariah dan dapat menghantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan (God-consciousness).
    Pengembangan Aplikasi Akuntansi Syariah
    Pada tiga dekade terakhir, konsep akuntansi syariah terus berkembang. Hal ini paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan pemikiran ahli ekonomi syariah kontemporer yang mampu menganalisa lebih dalam tentang konsep ekonomi syariah secara luas. Maka muncullah nama-nama seperti Umar Chapra, Timur Khan, Mannan, dll yang mendefinisikan kembali ekonomi syariah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan modern, termasuk tentang pemikiran akuntansi syariah di dalamnya.
    Kedua, perkembangan tersebut juga didorong oleh bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah di dunia. Mulai dari Amerika Serikat (Abrar Investment, Inc dan Albaraka Bank Corp, Inc), Inggris (Gulf International Bank, London dan Islamic Finance House Public) sampai ke Timur Tengah (Kuwait Finance House). Kemunculan lembaga ini, secara langsung mampu mendorong permintaan terhadap standar pelaporan keuangan yang sesuai dengan syariah. Maka, pusat-pusat studi ekonomi Islam di kampus atau institut yang tersebar di seluruh dunia menyediakannya untuk mendukung proses bisnis tersebut tetap berjalan sesuai syariah. Output dari studi yang mereka hasilkan itulah yang menjadi faktor ketiga yang mendorong pengembangan konsep akuntansi syariah.
    Dengan tiga faktor pendorong tersebut, maka kemudian banyak muncul buku, karya tulis maupun regulasi yang mengatur tentang aplikasi-praktis ekonomi syariah. Di Indonesia sendiri, beberapa buku dan karya tulis akuntansi syariah sudah banyak dihasilkan oleh akademisi dan praktisi. Dalam tataran produk regulasi, terdapat PSAK No.59 yang dikeluarkan IAI untuk menetapkan standar khusus mengenai akuntansi perbankan syariah.
    Permasalahannya sekarang, tinggal pada proses penerimaan dan akselerasi. Penerimaan akan akuntansi syariah pada kalangan akademisi, terutama mahasiswa misalnya, berarti keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang akuntansi syariah sebagai bentuk dari scientific coriousity-nya. Paduannya, tinggal mengkombinasikan dengan proses akselerasi melalui kajian dan diskusi intens serta output tulisan ilmiah. Maka, proses mengalirnya akuntansi syariah dari konsep ke aplikasi –terutama di level lingkungan kita– akan lebih mudah dijalani. Semoga.

    Eva Rahmawati (073403135)kelas D said:
    Februari 23, 2009 pukul 4:00 pm

    Akuntansi Syariah: Dari Konsep ke Aplikasi
    Zulhanief Matsani (Ketua Divisi Kajian Ekonomi Islam FSI)

    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (melakukan transaksi bisnis) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis (akuntan) di antara kamu, menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS[2]:282)

    Ayat tersebut adalah ayat terpanjang dalam Al-Quran yang bercerita tentang konsep akuntansi. Secara langsung, hal tersebut membuktikan bahwa Al-Qur’an sebagai pedoman manusia sangat concern terhadap hubungan horizontal antarsesama manusia. Hal tersebut juga membuktikan bahwa Islam –sebagai agama yang diajarkan dalam Al-Qur’an– adalah agama yang lengkap (syamil) dan mampu mencakup seluruh aktivitas hidup manusia, bahkan di bidang ekonomi sekalipun. Islam bukan agama parsial, yang hanya digunakan ketika berada di dalam masjid, tetapi juga mampu membahas realitas kekinian yang harus dihadapi manusia untuk menghadapi problematika kompleks kehidupannya.
    Dalam tataran yang lebih nyata, tradisi dan sejarah Islam terhadap interpretasi ayat tersebut telah mampu menciptakan budaya akuntansi baik pada tingkat Negara (kelembagaan) maupun tingkat individu. Pada konteks Negara, prosedur pencatatan akuntansi, telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (periode 636-645 M). Pada masa ini, Baitul Mal (lembaga pengelola harta Negara dan umat) memerlukan pencatatan formal atas dana-dana yang diperoleh lembaga tersebut dari berbagai sumber. Kemudian, sistem tersebut mengalami perkembangan pada periode berikutnya seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dengan adanya buku Akuntansi pada masa Abasiyah (750-847 M) seperti: Jurnal Pengeluaran (Jaridah Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah Al-Maal/Funds Journal), Jurnal Dana Sitaan (Jaridah Al-Musaridin/Confiscated Funds Journal), dan laporan akuntansi yang dikenal dengan nama Al-Khitmah (Triyuwono 2006, 20).
    Pada konteks sebagai manusia Muslim, individu memiliki kewajiban untuk memperhitungkan jumlah harta yang dimilikinya. Perhitungan ini, baik yang melalui pembukuan atau sekedar pencatatan, akan digunakan untuk menentukan kewajiban zakat yang harus dibayarkan oleh masing-masing individu.

    Konsep Akuntansi Syariah
    “Metodologi pengetahuan Islam seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap warisan pengetahuan Barat, tetapi lebih dipandang sebagai sebuah metodologi yang lebih luas dan komprehensif yang di dalamnya” (Bashir, 1986b)
    Istilah Akuntansi Syariah sendiri sebenarnya baru diwacanakan pada tahun 1995, berawal dari sebuah disertasi di University of Wollongong, Australia yang berjudul “Shari’ate Organization and Accounting: The Reflection of Self’s Faith and Knowledge“. Istilah ini kemudian berkembang membentuk cara pandang baru tentang akuntansi. Syariah, yang melekat pada kata akuntansi -dalam tataran normatif- akan mencelupkan nilai tentang bagaimana seharusnya peran akuntansi sebagai sebuah alat untuk mewujudkan tujuah syariah sendiri. Tujuan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga lima hal yang substantif dalam kehidupan manusia (maqashid syariah): agama (faith), akal (intellect), jiwa (life), keturunan (lineage), dan harta (property).
    Untuk dapat berkembang dengan baik, -sebagai sebuah alat- akuntansi syariah sudah seharusnya mendiferensiasikan diri dari akuntansi yang ada sekarang. Diferensiasi ini tentu tidak hanya sebatas pada masalah aplikasi-teknis semata. Dari nilai-nilai yang dibawa, akuntansi syariah sudah sewajarnya harus memberikan landasan yang berbeda. Jika akuntansi konvensional bergerak dari sebuah konsep tentang materialisme, maka akuntansi syariah bergerak dari landasan ideologis Islam yang merupakan proses integrasi Islamisasi pengetahuan.
    Selanjutnya, karena proses pergerakan akuntansi syariah bergerak dari ideologi Islam, maka tujuan akuntansi syariah juga diformulasikan tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual. Misalnya, tujuan dasar laporan keuangan syariah yang bersifat material-spiritual. Material, karena pelaporan itu adalah untuk pemberian informasi, seperti yang dilakukan dalam akuntansi konvensional dan spiritual, karena pelaporan tersebut juga memperhitungkan aspek akuntabilitas yang sarat dengan nilai-nilai etika syariah dan dapat menghantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan (God-consciousness).

    Pengembangan Aplikasi Akuntansi Syariah
    Pada tiga dekade terakhir, konsep akuntansi syariah terus berkembang. Hal ini paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan pemikiran ahli ekonomi syariah kontemporer yang mampu menganalisa lebih dalam tentang konsep ekonomi syariah secara luas. Maka muncullah nama-nama seperti Umar Chapra, Timur Khan, Mannan, dll yang mendefinisikan kembali ekonomi syariah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan modern, termasuk tentang pemikiran akuntansi syariah di dalamnya.
    Kedua, perkembangan tersebut juga didorong oleh bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah di dunia. Mulai dari Amerika Serikat (Abrar Investment, Inc dan Albaraka Bank Corp, Inc), Inggris (Gulf International Bank, London dan Islamic Finance House Public) sampai ke Timur Tengah (Kuwait Finance House). Kemunculan lembaga ini, secara langsung mampu mendorong permintaan terhadap standar pelaporan keuangan yang sesuai dengan syariah. Maka, pusat-pusat studi ekonomi Islam di kampus atau institut yang tersebar di seluruh dunia menyediakannya untuk mendukung proses bisnis tersebut tetap berjalan sesuai syariah. Output dari studi yang mereka hasilkan itulah yang menjadi faktor ketiga yang mendorong pengembangan konsep akuntansi syariah.
    Dengan tiga faktor pendorong tersebut, maka kemudian banyak muncul buku, karya tulis maupun regulasi yang mengatur tentang aplikasi-praktis ekonomi syariah. Di Indonesia sendiri, beberapa buku dan karya tulis akuntansi syariah sudah banyak dihasilkan oleh akademisi dan praktisi. Dalam tataran produk regulasi, terdapat PSAK No.59 yang dikeluarkan IAI untuk menetapkan standar khusus mengenai akuntansi perbankan syariah.
    Permasalahannya sekarang, tinggal pada proses penerimaan dan akselerasi. Penerimaan akan akuntansi syariah pada kalangan akademisi, terutama mahasiswa misalnya, berarti keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang akuntansi syariah sebagai bentuk dari scientific coriousity-nya. Paduannya, tinggal mengkombinasikan dengan proses akselerasi melalui kajian dan diskusi intens serta output tulisan ilmiah. Maka, proses mengalirnya akuntansi syariah dari konsep ke aplikasi –terutama di level lingkungan kita– akan lebih mudah dijalani.

    nia.kurniati said:
    Februari 23, 2009 pukul 4:50 pm

    KAIDAH-KAIDAH AKUNTANSI SYARIAH

    Sesungguhnya kaidah-kaidah akuntansi yang utama merupakan terjemahan dan pelaksanaan prinsip-prinsip akuntansi, serta wajib diambil kesimpulannya, ditafsirkan dan dianalisa melalui pemahaman kita tentang ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan syariat islam, atau minimal tidak berlawanan dengan syariat Islam tersebut, kaidah-kaidah yang akan kita ulas pada bab ini adalah: Objectivitas, Accrual, Qiyas, Konsistensi, Hauliyah, Pencatatan yang sistematis, dan tranparansi. (Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid dalam buku Akuntansi Syariah, 2004 halaman 212-236).
    1. Kaidah Objektivitas.
    Sesungguhnya setiap aktifitas pemikiran atau fisik, dalam tingkat kemurniannya, kandungannya, dan penampilannya hanya bersandar lepada orang yang menghasilkan atau melakukan aktivitas tersebut.
    Demikian juga, aktivitas itu haruslah muncul dari pengetahuan, kesadaran dan pemahaman orang itu sendir
    Jadi berdasarkan hal tersebut, ada beberapa sifat yang harus terpenuhi dalam diri seorang akuntan, untuk mencerminkan keimanan dan kebaikannya, sehingga dia menjadi objektif di dalam aktifitasnya, Jujur di dalam apa yang dikatakan dan ditulisnya, dan bisa dipercaya di dalam apa-apa yang diputuskan atau ditetapkannya pada data-data atau informasi yang dapat membantu pihak lain dalam pengambilan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakannya. Agar akuntan tersebut dapat memiliki dan menikmati sifat objektif ini,
    2. Kaidah Accrual.adalah bagian dari kaidah-kaidah yang mempunyai signifikansi dalam kegiatan akuntansi. Signifikansi ini akan tampak secara lebih jelas dalam pengukuran keuntungan-keuntungan melalui perbandingan pemasukan-pemasukan dengan pengeluaran-pengeluaran. Kaidah accrual ini dapat didefinisikan sebagai berikut: “Suatu kaidah yang menangani tentang penjadwalan perimbangan pemasukan dan pengeluaran, baik yang telah diterima atau dibayarkan maupun yang belum diterima atau dibayarkan. Hal ini berdasarkan kaidah-kaidah umum dan standar-standar khusus yang harus dijadikan sandaran dalam mengakui pemasukan-pemasukan dan pengeluaran syakhsiyah i’tibariyah, untuk suatu periode keuangan yang dijadikan rujukan oleh pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran tersebut”.
    3. Kaidah Pengukuran
    . Kaidah pengukuran dapat kita definisikan, “yaitu suatu kaidah yang menjelaskan karakter jumlah sesuatu menurut dasar-yang telah disepakati dan dibatasi sebelumnya, tanpa melihat kepada karakter dari suatu tersebut atau substansinya.Metode pengukuran dengan uang ialah suatu istilah untuk penggunaan uang guna menjelaskan harga segala sesuatu yang memberi mafaat yang diperoleh atau ditawarkan oleh individu-individu dalam pergaulan mereka. Dan pengukuran dengan uang digunakan untuk menerapkan aturan pengukuran baik harga barang atau jasa disaat sekarang atau di masa mendatang, baik barang atau jasa dipertukarkan dengan pihak lain atau dipergunakan sendiri dalam kegiatan produksi. Sering kali pengukuran dengan uang disebut sebagai pengukuran terhadap niali, tapi kami berpendapat bahwa ia adalah pengukuran terhadap harga dan bukan terhadap nilai. Sebab nilai itu suatu yang relatif dan berbeda kadarnya antara seseorang dengan lainnya, sedang harga suatu barang bisa tetap pada suatu waktu tertentu sementara nialainya pada saat yang sama berbeda antara seseorang dengan lainnya.
    4. Kaidah Konsistensi adalah kaidah yang harus dipegang untuk menetapkan bahwa data akuntansi dapat dibandingkan. Kaidah konsistensi dapat didefinisikan, “yaitu kaidah yang menuntut suatu komitmen untuk mengikuti prosedurnya sendiri, dalam mengakui pengeluaran, pemasukan, hak-hak milik, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta menuntut kontinuitas penggunaan prosedur, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan standad-standard itu sendiri dalam mencatat data-data akuntansi, mengikhtisarkan, dan menyajikannya.
    Penerapan kaidah konsistensi tidak berarti harus tetap, sebagian prosedur atau setandar yang tidak sesuai dengan kondisi yang melingkupi keputusan atau tindakan tertentu. Sebab, ada kondisi-kondisi istimewa yang menuntut pengecualian dan dikesampingkannya prosedur atau standar itu sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya kaidah konsistensi dapat ditinggalkan dalam hal-hal furu’ (cabang) yang terdapat dalam kaidah-kaidah, tetapi tidak dapat ditinggalkan dalam ushul (dasar-dasar) dan prinsip-prinsip. Sebab, dasr-dasar dan prinsip-prinsip harus senantiasa konsisten dan tidak boleh keluar darinya. Akan tetapi apa bila kita keluar dari kaidah konsistensi ini, karena ketidak sesuaian prosedur atau setandar, dalam laopran keuangan haruslah ada penjelasan tentang tidak adanya keterkaitan dengan kaidah konsistensi.
    5. Kaidah Hauliyah.
    Kaidah hauliyah (periode akuntansi) menurut pembagian kehidupan perusahaan menjadi periode-periode yang sama untuk pengukuran hasil kegiatan perusahaan secara teratur. Hal itu bertujuan memastikan penilaian mengenai langkah-langkah kerjanya. Yang dimaksud dengan memastikan penilaian disini adalah mengetahui sejauh mana tujuan pendirian perusahaan itu telah tercapai. Hal itu dilaksanakan secara periodik, sehingga memungkinkan pelurusan langkah-langkah perusahaan jika diperlukan. Berdasarkan keterangan tersebut, kaidah hauliyah memberi kesempatan kepada manajemen perusahaan untuk mengukur hasil pekerjaan selama periode tersebut, yaitu melalui perhitungan laba rugi. Kaidah ini juga memberi kesempatan kita untuk mengetahui realitas perusahaan melalui penggambaran posisi keuangan perusahaan pada akhir periode perhitungan, dan perbandingan hasil-hasil pekerjaan serta posisi keuangan periode ini dengan periode-periode sebelumnya, atau denga target yang ditetapkan, atau dengan keduanya atau juga dibandingkan denga perusahan-perusahan lain, terutama para pesaing.
    Sesungguhnya teratur dalam mengukur hasil pekerjaan dan posisi keuangan perusahaan tidak dikarenakan oleh keinginan pemilik atau para perusahaan saja, dengan tujuan menikmati keuntungan, tetapi juga karena faktor-faktor lain yang menuntut penerapan kaidah Hauliyah sebagi suatu kaidah yang mengukuhkan prisip kontinuitas
    6. Kaidah Pencatatan sistematis.Yang dimaksud dengan prisnsip pencatatan sistematis ialah pencatatan dalam buku dengan angka atau kalimat untuk transaksi-transaksi, tidakan, tindakan, dan keputusan-keputusan yang telah berlangsung pada saat kejadiannya, secara sistematis dan sesuai dengan karakter perusahaan serta kebutuhan menejennya.
    7. Kaidah Transparansi
    Yang dimaksud dengan kaidah tranparansi ialah penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya atau yang menimbulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut.
    Tujuan dari kaidah ini adalah mengikatkan diri dengan syariat Islam dalam hal menjauhi pengelabuhan dan kecurangan. Sebab menyembunyikan sebagian informasi, atau menggambarkan dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya, atau dengan cara yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan menyebabkan pengambilan keputusan yang keliru oleh pihak yang hendak mengambil manfaat dari data akuntansi tersebut.

    http://marsudi.mei-azzahra.com

    adil ridli fadillah said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:50 am

    Pengertian Akuntansi Syariah
    Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
    Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
    “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”
    Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw :
    “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
    Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Tujuan Akuntansi Syariah
    Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
    Terdapat tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
    1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
    2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
    3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:

    Dasar Hukum Akuntansi Syariah
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :
    1. Al Quran,
    2. Sunah Nabwiyyah,
    3. Ijma (kespakatan para ulama),
    4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu,
    5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam

    Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah :
    1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah,
    4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam,
    5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna’,
    6. PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,
    7. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.

    wildan yuniawan said:
    Februari 24, 2009 pukul 11:57 am

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    March 15, 2007 • 14 Comments
    • Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)-
    • diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

    Moch Hasan Al-Bana said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:11 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Asep Gilang Ramdhani M said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:15 pm

    AKUNTANSI SYARIAH VS AKUNTANSI KONVENSIONAL
    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Menurut Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada konsep Akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu),
    dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep Akuntansi Konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Komponen laporan keuangan entitas Syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana qardh dan catatan atas laporan keuangan. Sedangkan komponen laporan keuangan konvensional tidak menyajikan laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana qardh.
    Daftar Pustaka:
    http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/
    http://msi-uii.net/baca.asp?kategori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&id=96
    http://re-searchengines.com/1107kesiper.html
    http://shariahlife.wordpress.com/category/ekonomi/akuntansi-syariah/

    wildan yuniawan said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:15 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

    Feni Rizki Fauzi said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:26 pm

    MENGENAL AKUNTANSI SYARIAH
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Nisatria Prawidiningtyas said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:28 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah

    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik.

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    Neni Dewi Lesmana said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:36 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings

    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking

    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest….

    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

    Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

    Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

    Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

    Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

    Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

    Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

    What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

    Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain,
    bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

    Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

    Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

    Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

    Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

    1. Laporan posisi keuangan

    2. Laporan laba rugi

    3. Laporan arus kas

    4. Laporan laba ditahan

    5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas

    6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial

    7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

    Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

    Asumsi Dasar

    Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:

    1. The accounting unit concept

    2. The going concern concept

    3. The periodicity concept

    4. The stability of purchasing power of the monetary unit

    Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).

    Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak terkendali.

    Pengakuan dan Pengukuran

    Aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue), beban (expenses), laba (gain) dan rugi (loss). Pada gilirannya konsep pengakuan akan banyak berperan dalam menentukan aktiva dan passive, serta laba rugi operasi perusahaan. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC yang dianut oleh akuntansi konvensional Indonesia. Namun demikian, kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syari’ah, ada sejumlah penyimpangan. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai untuk pengakuan revenue dan/atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan tentu saja konservatisme. Walaupun ini bisa diperdebatkan panjang lebar, konon Dewan Syariah bank Islam di Indonesia sudah memfatwakan kebolehan pilihan ini, dan tampaknya akan dipakai sebagai acuan resmi nantinya.

    Aspek pengukuran memegang peranan penting dalam kaitannya dengan peran laporan akuntansi yang harus menyajikan data kuantitatif tentang posisi kekayaan perusahaan dalam suatu waktu tertentu. Yang perlu dipertimbangkan dalam aspek ini adalah atribut apa yang dipakai dalam pengukuran. Aspek pengukuran hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur relevan, reliability, understandability dan comparability.

    Karakteristik Kualitatif

    Bila dibandingkan antara karakteristik kualitatif yang ada pada SFA buatan AAO-IFI dan karakteristik kualitatif dalam berbagai kerangka dasar akuntansi beberapa negara (AS, Australia, IASC, dsb), tampak ada kesamaan yang sangat menonjol. Kalaupun ada perbedaan, maka lebih kepada penekanan dan urutan priritas belaka. Oleh karena itu, dalam kerangka dasar versi SFA juga ditemukan : relevan (meliputi predictive value, feedback value dan timeliness) reliability (meliputi representational faithfulness, objectivity dan neutrality), comparability, consistency, understanbility.

    Yang penting dicatat di sini adalah sejauh yang dapat dilakukan analisis dan pengujian dari perspektif Islam, tidak ada yang keluar dari batas-batas yang dapat diterima, terutama kalau dilihat dari sudut pandang tujuan laporan keuangan, seperti yang dibahas di muka.

    Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension

    UUS KUSTIANA said:
    Februari 24, 2009 pukul 12:51 pm

    TAZKIAH PERADABAN

    Menggagas akuntansi syariah yang ideal bukan hanya melakukan dekonstruksi akuntansi
    Menggagas akuntansi syariah yang ideal juga bukan hanya melakukan rekonstruksi akuntansi syari’ah pragmatis
    Menggagas akuntansi syariah yang ideal adalah melampaui (beyond) sekaligus melebihi (hyper) atas keduanya
    Puncak akuntansi syariah yang ideal adalah pensucian (tazkiyah)
    Itulah tujuan akuntansi syariah yang sebenarnya…
    Tazkiyah menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) secara harfiah adalah pensucian. Tazkiyah merupakan proses dinamis untuk mendorong individu dan masyarakat tumbuh melalui pensucian terus-menerus. Menurut Ahmad dalam Gambling dan Karim (1991; 33) pertumbuhan dan perubahan serta peningkatan manfaat materi dalam konsep Tazkiyah bukan hanya “berdampak”, tetapi “memiliki keutamaan”, pada keadilan sosial dan pengembangan spiritual yang lebih baik bagi umat. Tazkiyah mempunyai sifat menyeluruh dan mencakup aspek moral, rohani dan material yang terikat satu sama lainnya. Semuanya berorientasi pada optimasi cita-cita dan nilai kesejahteraan manusia dalam semua dimensi, baik dunia maupun akherat. Tazkiyah juga mencakup seluruh perubahan dan keseimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Penjelasan lebih detil juga dapat dibaca dalam Mulawarman (2006a) Bab 4, 6,7,8,9,10.
    Tazkiyah motivasi dan tujuan dalam akuntansi syariah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) pada dasarnya dilakukan untuk melakukan pencerahan dan pembebasan dari hegemoni korporasi dan pemilik modal yang telah mengakar kuat dalam seluruh bangunan akuntansi (Mulawarman 2006a; Mulawarman 2006b). Tazkiyah tujuan akuntansi syariah harus diarahkan pada pemahaman Tawhid, yaitu pemahaman kepada sang Pencipta, Allah SWT. Dari titik sentral Tuhan, beranjak pada cinta manusia pada Tuhan-Alam-Manusia, berlanjut pada akuntabilitas, dan proses terakhir adalah pemahaman terhadap informasi, yaitu bentuk pencatatan untuk mencapai tujuan (Mulawarman 2007a; 2007b) .
    Nilai-nilai Islam menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) berdasarkan Tawhid merupakan nilai yang dianut setiap Muslim dalam keimanan dan penegasan atas Keesaan Allah. Keimanan dilanjutkan pada kepatuhan menjalankan syari’at sebagai penyerahan diri sebagai hamba Allah (‘abd Allah) (QS: 51:56; 36:61; 6:162). Setelah itu manusia harus terjun dalam hiruk pikuknya dunia sebagai Khalifatullah fil ardh (QS. 35:39). Untuk melaksanakan koeksistensi tujuan manusia tersebut Allah memberikan perangkat-perangkat hukum (syari’at) yang bersumber pada Al Qur’an dan As Sunnah. Manusia diberi kebebasan memilih bentuk-bentuk muamalah sesuai potensi dan kesempatan yang dimilikinya (Ibad, 2003). Dengan itu pula manusia menurut Mas‘udi (1995) tidak memiliki maqashid asy-syari’ah (tujuan syari’ah) lain kecuali kemaslahatan manusia dalam bentuk keadilan sosial.Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) kemudian konsep Tazkiyah menjadi konsep yang harus selalu hadir sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha manusia memperoleh harta benda yang mencukupi kehidupannya merupakan jawaban terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta pada harta benda. Hal ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai ridha Allah. Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syari’at dan menggunakan cara yang disyari’atkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).Cinta harta lanjut Mulawarman (2007a; 2007; 2007c) harus diarahkan pada tiga hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asy-syari’ah untuk merealisasikan kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas (Khalifatullah fil ardh) dan pengabdiannya (abd’ Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat terlaksana dengan jalan niat dan penyucian (tazkiyah) secara terus menerus .
    Tujuan akuntansi syariah tegas Mulawarman (2007a; 2007b) dengan demikian adalah merealisasikan kecintaan utama kepada Allah SWT, dengan melaksanakan akuntabilitas ketundukan dan kreativitas, atas transaksi-transaksi, kejadian-kejadian ekonomi serta proses produksi dalam organisasi, yang penyampaian informasinya bersifat material, batin maupun spiritual, sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.
    Reference:
    Gambling, Trevor and Rifaat AA Karim. 1991. Business and Accounting Ethics in Islam. London: Mansell.

    Moch Hasan Al-Bana said:
    Februari 24, 2009 pukul 1:09 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings

    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking

    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest….

    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

    Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

    Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

    Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme akuntansi.

    Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam. Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan fungsi akuntansi dalam masyarakat.

    Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan spiritual dalam kehidupan umat manusia.

    Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.

    Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

    Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

    Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

    Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

    What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

    Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

    Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

    Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

    Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

    Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

    1. Laporan posisi keuangan

    2. Laporan laba rugi

    3. Laporan arus kas

    4. Laporan laba ditahan

    5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas

    6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial

    7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

    Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

    Asumsi Dasar

    Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:

    1. The accounting unit concept

    2. The going concern concept

    3. The periodicity concept

    4. The stability of purchasing power of the monetary unit

    Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).

    Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak terkendali.

    Pengakuan dan Pengukuran

    Aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue), beban (expenses), laba (gain) dan rugi (loss). Pada gilirannya konsep pengakuan akan banyak berperan dalam menentukan aktiva dan passive, serta laba rugi operasi perusahaan. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC yang dianut oleh akuntansi konvensional Indonesia. Namun demikian, kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syari’ah, ada sejumlah penyimpangan. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai untuk pengakuan revenue dan/atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan tentu saja konservatisme. Walaupun ini bisa diperdebatkan panjang lebar, konon Dewan Syariah bank Islam di Indonesia sudah memfatwakan kebolehan pilihan ini, dan tampaknya akan dipakai sebagai acuan resmi nantinya.

    Aspek pengukuran memegang peranan penting dalam kaitannya dengan peran laporan akuntansi yang harus menyajikan data kuantitatif tentang posisi kekayaan perusahaan dalam suatu waktu tertentu. Yang perlu dipertimbangkan dalam aspek ini adalah atribut apa yang dipakai dalam pengukuran. Aspek pengukuran hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur relevan, reliability, understandability dan comparability.

    Karakteristik Kualitatif

    Bila dibandingkan antara karakteristik kualitatif yang ada pada SFA buatan AAO-IFI dan karakteristik kualitatif dalam berbagai kerangka dasar akuntansi beberapa negara (AS, Australia, IASC, dsb), tampak ada kesamaan yang sangat menonjol. Kalaupun ada perbedaan, maka lebih kepada penekanan dan urutan priritas belaka. Oleh karena itu, dalam kerangka dasar versi SFA juga ditemukan : relevan (meliputi predictive value, feedback value dan timeliness) reliability (meliputi representational faithfulness, objectivity dan neutrality), comparability, consistency, understanbility.

    Yang penting dicatat di sini adalah sejauh yang dapat dilakukan analisis dan pengujian dari perspektif Islam, tidak ada yang keluar dari batas-batas yang dapat diterima, terutama kalau dilihat dari sudut pandang tujuan laporan keuangan, seperti yang dibahas di muka.

    Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension

    wildan yuniawan said:
    Februari 24, 2009 pukul 1:14 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah Dalam Akuntansi Konvensional
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” DENGAN memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

    Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

    devid (063403161) kls b said:
    Februari 24, 2009 pukul 1:25 pm

    KONSEP DASAR AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    1. Definisi Biaya
    Carter dan Usry (2004, 29) mengutip Sprouse dan Moonitz yang mendefinisikan biaya sebagai ?nilai tukar, pengeluaran, pengorbanan untuk memperoleh manfaat. Dalam akuntansi keuangan, pengeluaran atau pengorbanan pada saat akuisisi diwakili oleh penyusutan saat ini atau di masa yang akan datang dalam bentuk kas atau aktiva lain.?
    Dalam konsep Islam sesuatu dianggap biaya jika pengeluaran itu telah benar-benar dikeluarkan untuk kepentingan tersebut. Hal ini karena akuntansi syariah menganut cash basis dalam perhitungannya sehingga pengeluaran yang belum benar-benar dikeluarkan tidak dapat diakui sebagai biaya.
    2. Anggaran
    Anggaran menurut Carter dan Usry (2004, 13) pernyataan terkuantifikasi dan tertulis dari rencana manajemen. Anggaran berisi rencana pendapatan dan pengeluaran perusahaan dalam satu periode.
    Dalam konsep Islam, anggaran merupakan cerminan niat dari perusahaan. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda ? Sesungguhnya tiap amal tergantung dari niatnya? (HR. Bukhari dan Muslim). Dari anggaran ini dapat dilihat tujuan perusahaan dan cara-cara yang akan ditempuhnya untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu sudah sejak proses penganggaran tidak ada hal-hal yang menyimpang dari syariat Islam.
    3. Penetapan Harga
    Penetapan harga jual dipengaruhi oleh berbagai aspek diantaranya adalah aspek biaya. Islam tidak melarang manusia untuk mengambil laba. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 198 ?Tidak ada dosa bagimu untuk mencari keutamaan(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu?. Akan tetapi Islam melarang umatnya dari mengambil keuntungan yang melebihi kewajaran. Misalkan biaya yang dikeluarkannya 100 rupiah tetapi dia menjualnya seharga 10.000 rupiah. Dia memperoleh keuntungan yang sangat banyak tetapi untuk itu dia mendzalimi pembelinya. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam

    4. Traceability Biaya ke Obyek Biaya
    Kemampuan untuk menelusuri biaya ke obyek biaya sangat penting dalam konsep syariah. Dari sini dapat diketahui modal mana yang digunakan untuk membiayai proyek yang mana sehingga pembagian hasil/labanya dapat tepat dan memenuhi unsur keadilan.

    PROSPEK DAN TANTANGAN AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    Perkembangnya akuntansi syariah beserta cabang cabangnya cukup signfikan dewsa ini. Kebutuhan dari para praktisi ekonomi syariah akan akuntansi syariah amat besar. Tidak hanya kaum muslimin saja yang membutuhkan akuntansi syariah tetapi juga masyarakt dunia secara umum. Saat ini orang sudah mulai jenuh dengan sistem akuntansi konvensional buatan Barat yang notabene cenderung materialsitis kosong dari ruh spiritualisme.
    Perkembangan akuntansi syariah menuntut pula perubahan pada cabang-cabang dari ilmu akuntansi tak terkecuali pada Akuntansi Biaya. Kebutuhan adanya suatu sistem akuntansi biaya yang berbasis syariah sangatlah besar.
    Hambatan-hambatan berkembangnya akuntansi biaya berbasis syariah:
    a) Hingga saat ini sedikit sekali orang yang memberikan atensi khusus pada hal ini. Kebanyakan ahli dalam akuntansi syariah memfokuskan pembahasannya pada pada laporan keuangan saja, tidak pada proses kegiatannya. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa sebagian besar buku tentang akuntansi syariah membahas tentang laporan keuangan. Juga pada PSAK 59 dan PSAK 101-106 pokok bahasannya pada laporan keuangan. Padahal akuntansi tidak hanya sekedar laporan keuangan saja tetapi juga seluruh proses yang berkesinambungan dari penjurnalan hingga pelaporan keuangan.
    b) Orang juga masih ragu untuk memakainya. Hal ini terjadi karena belum adanya standar yang baku dalam akuntansi biaya berbasis syariah.

    c) Perbedaan persepsi antara akuntansi syariah aliran pragmatis dan aliran idealis
    Akuntansi biaya berbasis syariah bukanlah mimpi tetapi ini merupakan suatu realita seperti Akuntansi
    Syariah itu sendiri. Seperti sistem yang lainnya tentu ada saja kekurangan hambatannya. Peran para ahli
    untuk menemukan formula yang tepat sangatlah dibutuhkan. Begitu pula yang paling penting peran
    dari praktisi-praktisinya.

    Taufiq Trisnayadi said:
    Februari 24, 2009 pukul 1:34 pm

    PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH INDONESIA
    Pengertian Akuntansi Syariah
    Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
    Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
    “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”
    tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
    Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Tujuan Akuntansi Syariah
    Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
    Terdapat tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
    1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
    2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
    3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
    a. keselamatan keyakinan agama (al din)
    b. kesalamatan jiwa (al nafs)
    c. keselamatan akal (al aql)
    d. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
    e. keselamatan harta benda (al mal)
    Bisnis syariah dewasa ini mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi tren baru dunia bisnis di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim maupun non muslim, perkembangan ini terutama terjadi di sektor keuangan. Perbankan Syariah dan produk-produknya telah beredar luas di masyarakat, Asuransi Syariah dan Reksadana Syariah juga sudah mulai bermunculan. Perkembangan bisnis syariah ini menuntut standar akuntansi yang sesuai dengan karakteristik bisnis syariah sehingga transparansi dan akuntanbilitas bisnis syariah pun dapat terjamin.
    Apabila ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.
    Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan, paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.
    Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
    Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar :
    1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
    2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
    3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
    4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
    5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
    6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
    7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
    8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
    Dasar Hukum Akuntansi Syariah
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :
    1. Al Quran,
    2. Sunah Nabwiyyah,
    3. Ijma (kespakatan para ulama),
    4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu,
    5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
    Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaan Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut :
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekkan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting“, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta-rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Dari uraian di atas, dapat disebutkan bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.
    Perkembangan Akuntansi Syariah
    Sejalan dengan mulai diberlakukannya ketentuan transparansi bagi perbankan syariah, selama tahun laporan telah dilakukan pertemuan dengan pihak Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang ditindaklanjuti dengan pemberian materi yang diperlukan pada pelatihan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia kepada para Akuntan Publik Indonesia dalam rangka memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan pemenuhan ketentuan tersebut yang mulai berlaku untuk laporan keuangan tahun buku 2006.
    Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap perbankan syariah sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan, agar memperoleh pendapat terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Syariah tentang kepatuhan bank syariah yang diawasinya.
    Adanya laporan pengawasan syariah kepada stakeholders perbankan syariah dan keharusan untuk mendapatkan pendapat Dewan Pengawas Syariah bagi Akuntan Publik sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan perbankan syariah yang diaudit, adalah merupakan salah satu usaha untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat dalam penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran akhir yang akan dicapai dalam revisi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2005 berupa terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah.
    Dalam upaya untuk mendorong tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam dan pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian, pada tahun laporan telah dilakukan pembahasan bersama pihak terkait didalam Komite Akuntansi Syariah dimana Bank Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Ikatan Akuntan Indonesia dan pihak lainnya.
    Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah :
    1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah,
    4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam,
    5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna’,
    6. PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,
    7. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.
    IAI sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan standar akuntansi keuangan dan audit bagi berbagai industri merupakan elemen penting dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia, dimana perekonomian syariah tidak dapat berjalan dan berkembang dengan baik tanpa adanya standar akuntansi keuangan yang baik.
    Standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan prinsip syariah sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodir perbedaan esensi antara operasional Syariah dengan praktek perbankan yang telah ada (konvensional). Untuk itulah maka pada tanggal 25 Juni 2003 telah ditandatangani nota kesepahaman antara Bank Indonesia dengan IAI dalam rangka kerjasama penyusunan berbagai standar akuntansi di bidang perbankan Syariah, termasuk pelaksanaan kerjasama riset dan pelatihan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kompetensi IAI.
    Sejak tahun 2001 telah dilakukan berbagai kerjasama penyusunan standar dan pedoman akuntansi untuk industri perbankan syariah termasuk penyelesaian panduan audit perbankan syariah, revisi Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan revisi Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Dengan semakin pesatnya perkembangan industri perbankan syariah maka dinilai perlu untuk menyempurnakan standar akuntansi yang ada. Pada tahun 2006, IAI telah menyusun draft Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Draft ini diharapkan dapat ditetapkan menjadi standar pada tahun 2007.
    Dalam penyusunan standar akuntansi keuangan syariah, dilakukan IAI dengan bekerjasama dengan Bank Indonesia, DSN serta pelaku perbankan syariah dan dengan mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah internasional yaitu AAOIFI. Hal ini dimaksudkan agar standar yang digunakan selaras dengan standar akuntansi keuangan syariah internasional.

    Maria Puspitasari (063403164) kls B said:
    Februari 24, 2009 pukul 1:51 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.
    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.
    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.
    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).
    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9
    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12
    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13
    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single

    Selly Silviawati (063403193) Kls: B'06 said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:07 pm

    Akuntansi Syariah

    Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan
    muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari
    tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli
    yang menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et
    Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai
    “Double Entry Accounting System”.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan
    bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di
    bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah
    Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh
    para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
    akuntansi yang diterapkan untuk perorangan,
    perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi
    wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan
    anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa
    hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa
    sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan
    “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al
    Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah
    ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya
    ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang
    menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam
    bermuamalah (bertransaksi), penunjukan seorang
    pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan
    manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh
    kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal
    tersebut.

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah,
    bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem
    akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun
    610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli
    yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M.

    Dalil Akuntansi Dalam Al Qur’an

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu
    informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data
    menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran
    atas berbagai transaksi dan akibatnya yang
    dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
    keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya,
    dan laba.

    Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
    secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.
    Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
    timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita
    menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan
    dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah
    Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah
    takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
    merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
    Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
    dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan
    membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang
    telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar)
    tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut
    pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya,
    dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib
    mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar
    pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu
    adanya fungsi auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun”
    sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat
    ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
    jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
    maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
    menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
    mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
    atas perbuatanmu itu.”

    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran,
    kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam
    bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca,
    sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35
    yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila
    kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
    Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
    akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan,
    bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam dapat
    didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang
    baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber
    Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh
    seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam
    pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun
    penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan
    suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al
    Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para
    ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu),
    dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan
    dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam
    Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan
    dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
    Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat
    islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang
    berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat
    penerapan Akuntansi tersebut.

    Akuntansi Meta Rule

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang
    berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat
    (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh
    kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat
    kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta
    rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus
    dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan
    yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai
    dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang
    menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan
    tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban
    di akhirat, dimana setiap orang akan
    mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan
    yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang
    mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang
    ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan
    pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa
    konsep Akuntansi dalam Islam jauh lebih dahulu dari
    konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah
    membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh
    pakar-pakar Akuntansi Konvensional.

    Terakhir, marilah kita renungi firman Allah SWT
    berikut ini:
    “…… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)
    untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
    rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
    berserah diri.” (QS.16/ An-Nahl: 89)

    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Sumber :
    http://as-salamun.blog.friendster.com/2008/11/akuntansi-syariah-sebuah-prolog/

    Diani tresnasari (063403146) kls B said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:10 pm

    Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah

    Ari Kamayanti

    1. Pendahuluan

    Bangkitnya semangat untuk mempelajari akuntansi syariah di Indonesia banyak disebabkan oleh semakin banyaknya bank- bank syariah yang berdiri. Lahirnya UU no 7 1992 dan UU no 10/1998 mengenai eksistensi bank syariah memicu tumbuhnya bank- bank syariah antara lain Bank Muamalat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat ( BPR) Syariah dan BTN Syariah. Geliat bank syariah di dunia baru dimulai di Mesir pada tahun 1971 yaitu Social Bank, di Jeddah yaitu Saudi Arabian Islamic Bank pada tahun 1975, dan di Bahrain pada tahun 1979 yaitu Bahraini Islamic Bank. Kini aktiva bank syariah sedunia diestimasi telah berkisar di antara 50 sampai dengan 100 milyar US dolar. Pertumbuhan rata- rata tahunan berkisar di antara 10 sampai dengan 15 persen dari dasar aktiva (Pomeranz. 2005).
    Menurut Sullivan dalam Pomeranz (2005), kebutuhan akan bank- bank syariah disebabkan tiga pertimbangan (1) investor islam harus menghindari keterlibatannya dalam industri- industri yang dilarang agama yaitu antara lain alkohol, perjudian, ponografi, daging babi (2) perusahaan islam harus menghindari bunga (riba), perjudian, dan memperhatikan batasan- batasan jual beli sekuritas (3) banyak investor islam yang mulai tertarik untuk berinvestasi di perusahaan- perusahaan yang memperhatikan etika- etika berbisnis dalam islam. Hadirnya bank syariah mendorong timbulnya kebutuhan akan standar akuntansi untuk mengakomodir kegiatan operasional perbankan syariah. Standar akuntansi diperlukan bank syariah untuk meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas dalam mencapai tujuan- tujuan finansial maupun tujuan- tujuan menurut syariat islam (Beiq dan Arsyanti. 2006)
    Untuk itu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 59 mengenai Akuntansi Perbankan Syariah yang dimuat pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 2004. Adapun standar untuk akuntansi perbankan konvensional sebelumnya telah diterbitkan pada PSAK no 31 mengenai Akuntansi Perbankan. Perbedaan standar akuntansi perbankan ini tentu saja terjadi karena kerangka konseptual yang berbeda antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Tujuan- tujuan dan dasar- dasar akuntansi syariah tidak hanya menekankan aspek dunia namun juga aspek akherat. Tujuan pertanggungjawaban akhir adalah kepada Alloh SWT sebagai pemilik mutlak dunia, tidak semata pada stakeholder.
    Kerangka konseptual akuntansi adalah suatu sistem koheren dari tujuan- tujuan dan dasar- dasar yang saling terkait yang dapat mengarah pada standar- standar yang konsisten dan yang menentukan sifat, fungsi dan batasan dari akuntansi keuangan dan laporan keuangan. Terdapat dua alasan pentingnya ada suatu kerangka konseptual. Pertama adalah agar dihasilkan standar dan aturan yang koheren yang disusun atas dasar yang sama sehingga menambah pengertian dan kepercayaan para pengguna laporan keuangan serta mendorong keterbandingan diantara perusahaan yang berbeda. Kedua adalah agar masalah- masalah praktis yang baru muncul sesuai dengan berkembangnya kompleksitas bisnis dan lingkungan dapat segera diselesaikan dengan referensi kerangka teori dasar yang sudah ada (Kieso dan Weygandt. 1995: 46- 47). Lingkup penelitian ini adalah kajian mengenai kerangka konseptual yang membentuk akuntansi konvensional dan akuntansi syariah.
    Berkaitan dengan kerangka konseptual yang melandasi terbitnya berbagai standar akuntansi, perlu diingat bahwa ia muncul dari tujuan- tujuan filosofis, teori- teori normatif, konsep- konsep yang saling terkait, definisi- definisi yang tepat dan aturan aturan yang membentuknya. Triyuwono dalam Adnan (2005) menyatakan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan. Artinya akuntansi tidak saja dibentuk oleh lingkungannya, tetapi juga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, termasuk perilaku manusia yang menggunakan informasi. Kajian ini terbatas pada pembentukan akuntansi akibat lingkungannya, yang dalam hal akuntansi syariah adalah nilai- nilai islam.

    2. Kerangka Konseptual Akuntansi

    Kerangka konseptual adalah struktur teori akuntansi yang didasarkan pada penalaran logis yang menjelaskan kenyataan yang terjadi dan menjelaskan apa yang harus dilakukan apabila ada fakta atau fenomena baru. Kerangka konseptual digambarkan dalam bentuk hirarki yang memiliki beberapa tingkatan. Pada tingkatan teori yang tinggi, kerangka konseptual mengindentifikasi ruang lingkup dan tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan selanjutnya, karakteristik kualitatif dari informasi keuangan dan elemen keuangan didefinisikan. Pada tingkatan operasional, kerangka operasional berkaitan dengan prinsip- prinsip dan aturan- aturan tentang pengakuan dan pengukuran elemen laporan keuangan. Artinya perumusan kerangka konseptual dimulai dengan penentuan tujuan yang menjadi landasan untuk menyusun elemen lain seperti karakteristik kualitatif dari informasi dan pengakuan serta pengukuran elemen laporan keuangan.

    Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah

    Kerangka konseptual akuntansi syariah juga dibangun dari tujuan yang pada akhirnya digunakan untuk merumuskan teknik akuntansi. Adnan (2005: 70) merumuskan kerangka konseptual akuntansi syariah pada gambar 2 berikut.

    Gambar 2
    Kerangka Konseptual Akuntansi Syariah

    Sumber,: Adnan, M. Akhyar. 2005. Akuntansi Syariah: Arah, Prospek dan Tantangfannya. Halaman 70
    Tujuan dari akuntansi syariah menurut Adnan ada dua hal. (1) membantu mencapai keadilan sosio- ekonomi (Al Falah) dan (2) mengenal sepenuhnya kewajiban kepada Tuhan, masyarakat, individu sehubungan dengan pihak- pihak yang terkait pada aktivitas ekonomi yaitu akuntan, auditor, manajer, pemilik, pemerintah dsb sebagai bentuk ibadah.
    Selanjutnya manusia yang diberi amanah sebagai pemegang kuasa melaksanakan aktivitas dengan moralitas dan etika yaitu: taqwa, kebenaran dan pertanggungjawaban. Teknik juga dirumuskan dari tujuan akuntansi syariah dengan dua komponennya yaitu pengukuran dan penyingkapan. Pada komponen pengukuran dibahas kepentingan- kepentingan untuk tujuan zakat, penentuan dan distribusi laba serta pembayaran pajak. Sedangkan di komponen penyingkapan dijelaskan tentang pentingnya pemenuhan tugas dan kewajiban sesuai syariah: harus halal, bebas riba dan penilaian zakat sesuai aturan yang ditetapkan Alloh SWT berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
    Badan yang menerbitkan standar akuntansi islam pada saat ini adalah the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAO-IFI) yang didirikan sejak 1991 di Bahrain. Sampai dengan saat ini telah diterbitkan 56 standar akuntansi Islam dalam bidang akuntansi, auditing, governance dan etika, seperti tertera pada tabel 2. Anggota Technical Board AAOIFI berjumlah 20 orang, dengan 115 anggota yang mewakili 27 negara. Saat ini juga sedang disusun program Certified Islamic Public Accountant (CIPA) yang akan segera disebarluaskan ke beberapa negara (Alchaar, 2006).

    http://akuntansisyariah.multiply.com/journal/item/1/Kerangka_Konseptual_Akuntansi_Konvensional_versus_Akuntansi_Syariah

    Selly Silviawati (063403193) Kls: B'06 said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:16 pm

    Akuntansi Syariah

    Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan
    muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari
    tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli
    yang menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et
    Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai
    “Double Entry Accounting System”.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan
    bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di
    bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah
    Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh
    para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
    akuntansi yang diterapkan untuk perorangan,
    perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi
    wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan
    anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa
    hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa
    sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan
    “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al
    Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah
    ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya
    ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang
    menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam
    bermuamalah (bertransaksi), penunjukan seorang
    pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan
    manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh
    kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal
    tersebut.

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah,
    bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem
    akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun
    610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli
    yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M.

    Dalil Akuntansi Dalam Al Qur’an

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu
    informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data
    menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran
    atas berbagai transaksi dan akibatnya yang
    dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
    keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya,
    dan laba.

    Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur
    secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.
    Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
    timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita
    menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan
    dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah
    Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah
    takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
    merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
    Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
    dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan
    membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang
    telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar)
    tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga menyangkut
    pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya,
    dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib
    mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar
    pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu
    adanya fungsi auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun”
    sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat
    ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
    jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
    maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
    menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
    mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
    atas perbuatanmu itu.”

    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran,
    kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam
    bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca,
    sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35
    yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila
    kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
    Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
    akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan,
    bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam dapat
    didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang
    baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber
    Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh
    seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam
    pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun
    penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan
    suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al
    Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para
    ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu),
    dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan
    dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam
    Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan
    dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
    Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat
    islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang
    berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat
    penerapan Akuntansi tersebut.

    Akuntansi Meta Rule

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang
    berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat
    (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh
    kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat
    kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta
    rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus
    dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan
    yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai
    dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang
    menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan
    tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban
    di akhirat, dimana setiap orang akan
    mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan
    yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang
    mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang
    ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan
    pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa
    konsep Akuntansi dalam Islam jauh lebih dahulu dari
    konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah
    membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh
    pakar-pakar Akuntansi Konvensional.

    Terakhir, marilah kita renungi firman Allah SWT
    berikut ini:
    “…… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)
    untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
    rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
    berserah diri.” (QS.16/ An-Nahl: 89)

    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Sumber: http://as.salamun.blog.friendster.com/2008/11/akuntansi-syariah-sebuah-prolog/

    Verra Vuzi Christyanty (063403248) kls B said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:27 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    • Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)-
    • diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    1. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    2. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    3. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    4. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    5. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    6. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/

    Verra Vuzi Christyanty (063403248) kls B said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:37 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    • Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)-
    • diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    1. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    2. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    3. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    4. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    5. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    6. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/

    Maria Puspitasari (063403164) kls B said:
    Februari 24, 2009 pukul 2:39 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.
    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.
    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.
    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).
    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9
    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12
    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13
    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

    http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single

    Ridwan Ramdani said:
    Februari 24, 2009 pukul 3:09 pm

    INTEGRASI PASAR KEUANGAN GLOBAL SYARIAH
    Oleh: kliksyariah.com

    Upaya Pemberdayaan Sektor Riil dan Menjaga Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi

    A. Prospek Pasar Keuangan Global

    Serangkaian krisis ekonomi dan moneter yang dialami sistem keuangan internasional sepanjang dua dekade terakhir, telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan, juga memberikan angin segar bagi perkembangan sistem keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu menyuntikan disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervisi yang prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang kemudian juga mendorong lembaga keuangan Islami dalam jumlah yang banyak bermunculan di seluruh penjuru dunia.

    Kerja keras ini juga dilandasi oleh keyakinan bahwa bunga (interest) yang bersifat pre-determined telah mengeksploitasi perekonomian, mengakibatkan terjadinya misalokasi resources dan penumpukan kekayaan serta kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini pada gilirannya berakibat pada ketidakadilan, inefficiency, dan ketidakstabilan perekonomian. Bunga-lah yang menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan dengan tujuan yang akan di capai. Bahkan bunga merusak tujuan-tujuan yang ingin di dapat seperti; pertumbuhan ekonomi, produktivitas, pemerataan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi.

    Menurut Isam Salah, Pimpinan Praktisi Keuangan Islam dan praktisi kantor hukum King & Spalding di New York, saat ini Federal Reserve telah membentuk tim yang bertugas mengkaji pengembangan keuangan dan perbankan syariah serta mengkaji kemungkinan pengembangan keuangan syariah di negara tersebut. Pada 1997 dan 1999, Kantor Pengendali Mata Uang (Office of the Controller of the Currency) di AS beberapa kali memberikan izin bagi sejumlah lembaga keuangan untuk menerbitkan produk keuangan syariah.

    Sejumlah akuntan Ernst & Young, hingga akhir tahun lalu menyatakan, aset perbankan dan keuangan syariah global telah mencapai sekitar 900 miliar dolar AS dan tumbuh 20 persen per tahun. Hingga akhir 2010, aset tersebut diproyeksi akan terus tumbuh pesat dan bahkan bisa mencapai dua triliun dolar AS.

    Perkembangan keuangan syariah global yang sangat pesat ini terutama dipicu oleh aktivitas investasi yang dilakukan oleh para investor petrodollar dari negara-negara yang tergabung dalam the Gulf Cooperation Countries (GCC), yaitu Bahrain, Oman, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) di berbagai negara.

    Data dari Islamic International Finance Market (IIFM) menunjukkan dalam periode 2000-2006, total sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia telah mencapai lebih dari US$ 50 miliar dengan rincian corporate sukuk sekitar US$ 44 miliar dan sovereign sukuk US$ 6 miliar lebih. Dari sekitar US$ 50 miliar sukuk tersebut, sekitar US$ 19 miliar merupakan global sukuk, atau sukuk yang diperdagangkan di bursa global.

    (Sumber: Bisnis Indonesia, Selasa, 18 Desember 2007)

    Di kawasan Asia, Malaysia telah menjadi yang terdepan dalam pengembangan keuangan syariahnya. Pada tahun 2002, pemerintah Malaysia telah menerbitkan global sukuk sebesar US$600 juta. Pada tahun 2005, kalangan swasta di Malaysia setidaknya telah menerbitkan dan mengumumkan penerbitan sukuk sekitar US$4.545 juta. Sedangkan di tahun 2006, diketahui bahwa Rantau Abang Capital Sukuk telah menerbitkan sukuk senilai US$2.726 juta pada bulan Maret 2006. Malaysia saat ini mengendalikan sekitar 70% dari total sukuk yang diterbitkan pasar global (global sukuk). (Bisnis Indonesia, 20 Agustus 2007).

    Di tengah, pesatnya perkembangan keuangan syariah di berbagai belahan dunia, posisi Indonesia nyaris tidak diperhitungkan oleh para praktisi keuangan syariah global. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ironisnya, perhatian para praktisi keuangan syariah baik dari Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) tersebut justru tertuju pada Singapura dan Malaysia yang dianggap sebagai islamic financial hub selain Qatar, Dubai, dan Bahrain.

    Kondisi ini memang tak lepas dari perkembangan keuangan syariah di Indonesia yang pertumbuhannya berjalan lambat. Di bidang perbankan, pangsa asset perbankan syariah baru mencapai 1,72% dari total asset perbankan di Indonesia (posisi September 2007). Padahal, akhir tahun 2008 pangsa asset perbankan syariah ditargetkan mencapai 5%. Sementara itu, belum institusi di Indonesia yang memanfaatkan instrumen keuangan syariah, seperti obligasi syariah (sukuk) dalam aktivitas fund raising mereka. Berdasarkan data terbaru Bapepam, hingga saat ini baru terdapat 20 efek syariah dengan jenis sukuk.

    .

    B. Potret ekonomi Indonesia dan Prospek Ekonomi Islam

    Di masa lalu, upaya yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia berkenaan dengan kebijaksanaan di sektor keuangan dan moneter pada tahun 1980-an seperti; kebijaksanaan paket Juni 1983 yang mencakup pembebasan kredit dan pagu kredit bagi operasi bank-bank negara dan memperkenalkan instrumen pengendalian moneter baru yang berorientasi pasar, seperti paket Oktober 1987, paket Desember 1988 dan paket Maret 1989 yang kesemuanya diarahkan pada perbaikan kebijakan efisiensi sektor keuangan dan pengembangan pasar modal. Di antaranya adalah melalui pembukaan hambatan arus modal masuk. Kemudian disusul dengan adanya regulasi baru yang diumumkan pada tanggal 14 Maret 1991, ditujukan untuk memperkuat basis permodalan bank-bank dan memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga keuangan.

    Selanjutnya sejak tahun 1999, sebagai respon terhadap krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998 maupun untuk memfasilitasi transisi sektor keuangan Indonesia untuk lebih berkembang, maju, dan lebih terintegrasi dengan lingkungan keuangan internasional, Indonesia telah mengimplementasikan reformasi sektor keuangan. Setelah hampir sepuluh tahun proses pemulihan ekonomi, masih terlihat gejala yang kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sekitar 6,11% hanya bisa menyerap tenaga kerja sekitar 1,8 juta angkatan kerja baru. Masih tersisa 300-400 ribu orang tenaga kerja pengangguran. Hal tersebut menunjukkan pemulihan ekonomi tampaknya belum diikuti dengan penciptaan kesempatan kerja yang memadai. Gejala jobless recovery tampaknya terjadi selama masa pemulihan ekonomi ini terutama terjadi dalam sektor formal.

    Di sisi lain, berdasarkan data dari Tim Indonesia Bangkit bahwa angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat 16% Feb’05, 18,7% Jul’05, 22% Mar’06. Tahun 2007 jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 39 juta orang, hal ini berarti 10 kali lipat penduduk Singapura. Pembangunan yang diterapkan bersumber pada lepasnya keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter (decoupling). Perkembangan sektor moneter tidak mencerminkan perkembangan di sektor riil. Sektor moneter tumbuh cepat dengan meninggalkan sektor riil jauh dibelakangnya.

    Di tahun 2008, pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4% (semula 6,8%). Pertumbuhan 6,4% tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi) dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional.

    Pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sector riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat dalam bentuk tabungan tadi.

    Menurunnya tekanan inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2007, memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate dalam rangka mendorong aktivitas sector riil. Bagi sektor perbankan, hal itu mengisyaratkan prospek yang positif untuk menggairahkan sector riil. Kondisi ini merupakan peluang untuk mendorong ekspansi pembiayaan ke sector riil dan meningkatklan FDR lembaga perbankan. Pada sistem ekonomi Islam, dana masyarakat di perbankan syariah secara otomatis akan mengalir ke sektor riil melalui instrumen pembiayaan syariah yang real sector based. Transaksi yang memperdagangkan nilai uang, tanpa adanya underlying asset atau tanpa adanya keterkaitan langsung dengan produk riil (barang/jasa), tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

    Menarik apa yang dilakukan oleh Prof. Muhammad Yunus dengan Instrumen ekonomi kerakyatannya di Banglades yang bernama Grameen Bank, Banking for the poor. Beliau melihat kemiskinan dimasyarakatnya sudah begitu merajelala, karena masyarakat terjerat pada rentenir, padahal mereka hanya membutuhkan bantuan beberapa dollar saja. Hal yang banyak orang mampu melakukannya. Dengan operasi yang sangat sederhana, melayani kaum wanita didesa, bahkan sampai pengemis, dengan pinjaman bebas bunga pada awalnya dan berbunga sangat rendah setelah mampu, dengan sitem grouping, Grameen Bank telah menolong berjuta-juta orang terbebas dari kemiskinan. Sampai tahun 2004, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman mikro sebesar $ 4,5 Milliard.

    Keberhasilan lain, juga terjadi pada koperasi di India yang sekarang sudah menjadi perusahaan raksasa yang sahamnya dimiliki oleh anggota masyarakat kecil. Koperasi itu adalah Gujarat Cooperative Milk Marketuing Federation (GCMMF). Usaha raksasa yang awalnya adalah koperasi susu yang didirikan untuk melawan ketidakberdayaan permainan harga susu dari pabrik besar. Dengan pola semacam Induk koperasi yang membawahi beberapa jaringan KUD, GCMMF yang didirikan tahun 1946, saat ini menjadi produsen berbagai macam produk susu terbesar di India dengan penjualan tahunan sebesar $ 500 Juta.

    Inilah yang sedang dan telah menjadi perhatian pada Negara-negara berkembang dalam mendorong jasa keuangan bagi pedesaan. Salah satu instrumen untuk mendorong jasa keuangan bagi rakyat miskin di pedesaan adalah melalui lembaga keuangan mikro. Upaya-upaya yang banyak dilakukan di berbagai Negara berkembang di Asia dan Afrika dalam peningkatan kinerja keuangan di pedesaan antara lain adalah dengan memperkuat perantara keuangan pedesaan yang telah ada, memberikan kredit mikro dengan tingkat bunga dibawah tingkat bunga pasar, mendorong pembiayaan agrikultur, meningkatkan peran pemerintah sebagai pemberi kemudahan melalui kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan, sistem perlindungan untuk tabungan masyarakat miskin, meningkatkan penerapan good corporate governance, efisiensi dan kapabilitas kelembagaan keuangan mikro serta sumber daya manusia lembaga keuangan mikro. Meningkatkan peran lembaga donor dalam bentuk penyediaan hibah, pinjaman dan perlengkapan modal uang tepat untuk peningkatan kapabiltas dan kapasitas lembagaan keuangan mikro.

    Di Indonesia, UMKM, penggerak utama sektor riil di Indonesia yg berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi Indoneisa telah mencapai jumlah 48.926.636 (99,98%) dari total seluruh unit usaha 48.939.840, dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 85.416.493 (96.2%) dari 88.804.955 serta mampu menyumbang sebesar Rp. 1.778,75 triliun (53.3%) dari Pendapatan Domestik Bruto Nasional. Menkeu Ibu Sri Mulyani menargetkan untuk tahun 2008 pembiayaan UMKM sebesar Rp.636,3 triliun dengan asumsi pertumbuhan 2% per tahun. Diperkirakan jumlah UMKM 2008 menjadi 50,91 juta dan 2009 menjadi 51,92 juta. Namun, UMKM yang bankable diperkirakan hanya mampu menyerap Rp.497 triliun sehingga masih ada gap sekitar Rp.139,7 triliun. Dan berdasarakan Penelitian PT.PNM 2006, bantuan kredit dari lembaga keuangan untuk usaha kecil hanya Rp.181,34 triliun (35,5%) sedang untuk usaha menengah Rp.73,10 triliun (14,3%) dari total dana kredit sebesar Rp.510,62triliun

    Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan lembaga keuangan syariah itu sendiri.

    C. Integrasi Pasar Keuangan Syariah

    Secara konseptual dan mengingat peran pentingnya terutama pemberdayaan sektor riil, sistem keuangan syariah memang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman serta sudah menjadi kewajiban sejarahnya untuk lahir dan tumbuh menjadi sistem ekonomi dan keuangan alternatif-solutif. Karena sistem keuangan syariah dapat memberikan kontribusi positif dalam memobilisasi dana investasi antar berbagai belahan dunia. Keuangan syariah dapat mendorong wilayah-wilayah yang mengalami kelebihan dana untuk menyalurkan dana ke sejumlah wilayah yang kekurangan dana. Ini bisa mendorong integrasi keuangan regional bahkan pada tataran internasional.

    Untuk merealisasikan hal ini bukanlah hal yang mudah, banyak aral dan rintangan yang harus dilalui lembaga keuangan syariah ke depan nanti. Lembaga-lembaga keuangan syariah saat ini masih dalam tahap awal evolusinya. Walaupun tingkat pertumbuhannya cukup cepat, sejauh ini baru menempati small niche (ceruk kecil) di sektor finansial negeri-negeri muslim, apalagi di sektor keuangan internasional.

    Integrasi pasar keuangan islam regional adalah sebuah pra kondisi yang penting bagi upaya mewujudkan sinergi antar lembaga keuangan syariah dalam meningkatkan pemberdayaan sektor riil dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Allah swt berfirman di dalam al-Quran, “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah: 2), Juga dalam ayat lain disebutkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali-Imran: 103)

    Makna ayat tersebut bagi praktisi dan profesional keuangan adalah sinergi dan integrasi. Lembaga keuangan syariah di Indonesia harus terus menerus mencari formula dan pola sinergi dan integrasi satu sama lain, karena kerjasama tersebut akan berdampak pada kinerja dalam segala aspek, serta efek efesiensi yang luar biasa pada lembaga keuangan syariah secara signifikan, selain itu juga akan menghasilkan produk-produk bersama yang inovatif, baik penghimpunan dana maupun penjualan produk bersama. Integrasi dan sinergi tersebut bukan saja antar bank syariah dengan bank syariah, tetapi juga antara bank dan asuransi, antara asuransi dan dana reksa, begitu juga dengan penggadaian dan lembaga keuangan syariah lainnya. Meliputi Bank Indonesia (BI) untuk industri perbankan syariah, Departemen Keuangan untuk industri asuransi dan pegadaian syariah, Bapepam LK untuk pasar modal dan reksadana syariah, serta Kementerian Koperasi dan UKM untuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Selanjutnya Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sebagai rambu-rambu dalam memandu operasional lembaga keuangan syariah (LKS).

    Dalam pemenuhan kebutuhan konsumen jasa keuangan serta meningkatkan akses jasa keuangan ke semua level masyarakat, lembaga-lembaga kuangan baik perbankan maupun bukan perbankan (Lembaga Pembiayaan, Asuransi, Dana Pensiun maupun Sekuritas) harus terus melakukan inovasi terhadap proses bisnis jasa keuangan maupun produk keuangan melalui aktivitas cross-selling, cross holding dan universal banking. Aktivitas-aktivitas inovasi produk dan jasa keuangan yang merupakan suatu sinergi antara perbankan, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal, telah membuat semakin dekat antara sub-sektor-subsektor keuangan ini dan bahkan menipiskan batasan-batasan antar sub-sektor keuangan. Fenomena inilah yang disebut sebagai integrasi jasa keuangan.

    Integrasi keuangan ini memang marak terjadi akhir-akhir ini di negara-negara berkembang seperti negara-negara ASEAN, Afrika maupun Amerika Latin. Semakin terintegrasinya pasar keuangan suatu negara berkembang ke dalam suatu kawasan akan membantu meningkatkan angka pertumbuhan ekonominya. Karena integrasi keuangan akan mampu mengurangi biaya modal, mendukung transfer teknologi, mendukung perkembangan lebih lanjut dari pasar finansial domestik, memperbaiki pembuatan kebijakan makro ekonomi, dan menguatkan institusi keuangan, dan akan mendorong alokasi sumber daya ekonomi semakin efisien dan memperbaiki alokasi resiko dalam pasar keuangan. Selain itu, integrasi keuangan dapat mengurangi risiko nilai tukar dalam penyaluran kredit di pasar keuangan, dan menyediakan dana asing sebagai alternatif sumber dana.

    Program Akselerasi Bank Indonesia menargetkan 5 persen dari pangsa perbankan nasional yang ekuivalen dengan Rp 91,57 triliun di akhir 2008. Target akselerasi tersebut akan dapat tercapai dengan beberapa persyaratan, antara lain: adanya penyempurnaan perangkat sistem perundangan dan instrumen keuangan syariah yang dapat mengakomodir perkembangan, dan adanya integrasi pasar keuangan global syariah di Indonesia Indonesia. Terlebih adanya Fakta, investor yang menginginkan investasi dengan instrumen keuangan syariah jumlahnya cukup besar. Data dari McKinsey menunjukkan 20%-30% investor dari GCC memilih produk keuangan yang sesuai syariah, 50%-60% memilih kombinasi syariah dan konvensional, sedangkan sisanya 10-30% bersifat indifferent. meski GCC tetap menjadi sasaran investasi asing (terutama dari As dan Eropa) karena faktor minyak, GCC tetap memburu bagi penempatan surplusnya akibat windfall profit (diperkirakan sekitar US$2-3 triliun) untuk diinvestasikan di luar negeri, terutama di kawasan Asia melalui kebijakan “Going East” seperti yang diperlihatkan oleh para pemimpin negara-negara GCC.

    Oleh karenanya, agar kita tidak ketinggalan jauh lagi dibandingkan negara-negara Asia lainnya, sudah saatnya kita bertindak cepat dan action plan yang terencana dengan mempersiapkan diri mengambil peluang ini dalam membentuk pasar keuangan syariah yang global dan terintegrasi.***(Dari Berbagai sumber)

    Wassalam

    http://www.kliksyariah.com

    Ridwan Ramdani (063403428-Ak.D) said:
    Februari 24, 2009 pukul 3:12 pm

    INTEGRASI PASAR KEUANGAN GLOBAL SYARIAH
    Oleh: kliksyariah.com

    Upaya Pemberdayaan Sektor Riil dan Menjaga Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi

    A. Prospek Pasar Keuangan Global

    Serangkaian krisis ekonomi dan moneter yang dialami sistem keuangan internasional sepanjang dua dekade terakhir, telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan, juga memberikan angin segar bagi perkembangan sistem keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu menyuntikan disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervisi yang prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang kemudian juga mendorong lembaga keuangan Islami dalam jumlah yang banyak bermunculan di seluruh penjuru dunia.

    Kerja keras ini juga dilandasi oleh keyakinan bahwa bunga (interest) yang bersifat pre-determined telah mengeksploitasi perekonomian, mengakibatkan terjadinya misalokasi resources dan penumpukan kekayaan serta kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini pada gilirannya berakibat pada ketidakadilan, inefficiency, dan ketidakstabilan perekonomian. Bunga-lah yang menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan dengan tujuan yang akan di capai. Bahkan bunga merusak tujuan-tujuan yang ingin di dapat seperti; pertumbuhan ekonomi, produktivitas, pemerataan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi.

    Menurut Isam Salah, Pimpinan Praktisi Keuangan Islam dan praktisi kantor hukum King & Spalding di New York, saat ini Federal Reserve telah membentuk tim yang bertugas mengkaji pengembangan keuangan dan perbankan syariah serta mengkaji kemungkinan pengembangan keuangan syariah di negara tersebut. Pada 1997 dan 1999, Kantor Pengendali Mata Uang (Office of the Controller of the Currency) di AS beberapa kali memberikan izin bagi sejumlah lembaga keuangan untuk menerbitkan produk keuangan syariah.

    Sejumlah akuntan Ernst & Young, hingga akhir tahun lalu menyatakan, aset perbankan dan keuangan syariah global telah mencapai sekitar 900 miliar dolar AS dan tumbuh 20 persen per tahun. Hingga akhir 2010, aset tersebut diproyeksi akan terus tumbuh pesat dan bahkan bisa mencapai dua triliun dolar AS.

    Perkembangan keuangan syariah global yang sangat pesat ini terutama dipicu oleh aktivitas investasi yang dilakukan oleh para investor petrodollar dari negara-negara yang tergabung dalam the Gulf Cooperation Countries (GCC), yaitu Bahrain, Oman, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) di berbagai negara.

    Data dari Islamic International Finance Market (IIFM) menunjukkan dalam periode 2000-2006, total sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia telah mencapai lebih dari US$ 50 miliar dengan rincian corporate sukuk sekitar US$ 44 miliar dan sovereign sukuk US$ 6 miliar lebih. Dari sekitar US$ 50 miliar sukuk tersebut, sekitar US$ 19 miliar merupakan global sukuk, atau sukuk yang diperdagangkan di bursa global.

    (Sumber: Bisnis Indonesia, Selasa, 18 Desember 2007)

    Di kawasan Asia, Malaysia telah menjadi yang terdepan dalam pengembangan keuangan syariahnya. Pada tahun 2002, pemerintah Malaysia telah menerbitkan global sukuk sebesar US$600 juta. Pada tahun 2005, kalangan swasta di Malaysia setidaknya telah menerbitkan dan mengumumkan penerbitan sukuk sekitar US$4.545 juta. Sedangkan di tahun 2006, diketahui bahwa Rantau Abang Capital Sukuk telah menerbitkan sukuk senilai US$2.726 juta pada bulan Maret 2006. Malaysia saat ini mengendalikan sekitar 70% dari total sukuk yang diterbitkan pasar global (global sukuk). (Bisnis Indonesia, 20 Agustus 2007).

    Di tengah, pesatnya perkembangan keuangan syariah di berbagai belahan dunia, posisi Indonesia nyaris tidak diperhitungkan oleh para praktisi keuangan syariah global. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ironisnya, perhatian para praktisi keuangan syariah baik dari Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) tersebut justru tertuju pada Singapura dan Malaysia yang dianggap sebagai islamic financial hub selain Qatar, Dubai, dan Bahrain.

    Kondisi ini memang tak lepas dari perkembangan keuangan syariah di Indonesia yang pertumbuhannya berjalan lambat. Di bidang perbankan, pangsa asset perbankan syariah baru mencapai 1,72% dari total asset perbankan di Indonesia (posisi September 2007). Padahal, akhir tahun 2008 pangsa asset perbankan syariah ditargetkan mencapai 5%. Sementara itu, belum institusi di Indonesia yang memanfaatkan instrumen keuangan syariah, seperti obligasi syariah (sukuk) dalam aktivitas fund raising mereka. Berdasarkan data terbaru Bapepam, hingga saat ini baru terdapat 20 efek syariah dengan jenis sukuk.

    .

    B. Potret ekonomi Indonesia dan Prospek Ekonomi Islam

    Di masa lalu, upaya yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia berkenaan dengan kebijaksanaan di sektor keuangan dan moneter pada tahun 1980-an seperti; kebijaksanaan paket Juni 1983 yang mencakup pembebasan kredit dan pagu kredit bagi operasi bank-bank negara dan memperkenalkan instrumen pengendalian moneter baru yang berorientasi pasar, seperti paket Oktober 1987, paket Desember 1988 dan paket Maret 1989 yang kesemuanya diarahkan pada perbaikan kebijakan efisiensi sektor keuangan dan pengembangan pasar modal. Di antaranya adalah melalui pembukaan hambatan arus modal masuk. Kemudian disusul dengan adanya regulasi baru yang diumumkan pada tanggal 14 Maret 1991, ditujukan untuk memperkuat basis permodalan bank-bank dan memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga keuangan.

    Selanjutnya sejak tahun 1999, sebagai respon terhadap krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998 maupun untuk memfasilitasi transisi sektor keuangan Indonesia untuk lebih berkembang, maju, dan lebih terintegrasi dengan lingkungan keuangan internasional, Indonesia telah mengimplementasikan reformasi sektor keuangan. Setelah hampir sepuluh tahun proses pemulihan ekonomi, masih terlihat gejala yang kurang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sekitar 6,11% hanya bisa menyerap tenaga kerja sekitar 1,8 juta angkatan kerja baru. Masih tersisa 300-400 ribu orang tenaga kerja pengangguran. Hal tersebut menunjukkan pemulihan ekonomi tampaknya belum diikuti dengan penciptaan kesempatan kerja yang memadai. Gejala jobless recovery tampaknya terjadi selama masa pemulihan ekonomi ini terutama terjadi dalam sektor formal.

    Di sisi lain, berdasarkan data dari Tim Indonesia Bangkit bahwa angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat 16% Feb’05, 18,7% Jul’05, 22% Mar’06. Tahun 2007 jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 39 juta orang, hal ini berarti 10 kali lipat penduduk Singapura. Pembangunan yang diterapkan bersumber pada lepasnya keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter (decoupling). Perkembangan sektor moneter tidak mencerminkan perkembangan di sektor riil. Sektor moneter tumbuh cepat dengan meninggalkan sektor riil jauh dibelakangnya.

    Di tahun 2008, pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4% (semula 6,8%). Pertumbuhan 6,4% tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi) dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional.

    Pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sector riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat dalam bentuk tabungan tadi.

    Menurunnya tekanan inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2007, memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate dalam rangka mendorong aktivitas sector riil. Bagi sektor perbankan, hal itu mengisyaratkan prospek yang positif untuk menggairahkan sector riil. Kondisi ini merupakan peluang untuk mendorong ekspansi pembiayaan ke sector riil dan meningkatklan FDR lembaga perbankan. Pada sistem ekonomi Islam, dana masyarakat di perbankan syariah secara otomatis akan mengalir ke sektor riil melalui instrumen pembiayaan syariah yang real sector based. Transaksi yang memperdagangkan nilai uang, tanpa adanya underlying asset atau tanpa adanya keterkaitan langsung dengan produk riil (barang/jasa), tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

    Menarik apa yang dilakukan oleh Prof. Muhammad Yunus dengan Instrumen ekonomi kerakyatannya di Banglades yang bernama Grameen Bank, Banking for the poor. Beliau melihat kemiskinan dimasyarakatnya sudah begitu merajelala, karena masyarakat terjerat pada rentenir, padahal mereka hanya membutuhkan bantuan beberapa dollar saja. Hal yang banyak orang mampu melakukannya. Dengan operasi yang sangat sederhana, melayani kaum wanita didesa, bahkan sampai pengemis, dengan pinjaman bebas bunga pada awalnya dan berbunga sangat rendah setelah mampu, dengan sitem grouping, Grameen Bank telah menolong berjuta-juta orang terbebas dari kemiskinan. Sampai tahun 2004, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman mikro sebesar $ 4,5 Milliard.

    Keberhasilan lain, juga terjadi pada koperasi di India yang sekarang sudah menjadi perusahaan raksasa yang sahamnya dimiliki oleh anggota masyarakat kecil. Koperasi itu adalah Gujarat Cooperative Milk Marketuing Federation (GCMMF). Usaha raksasa yang awalnya adalah koperasi susu yang didirikan untuk melawan ketidakberdayaan permainan harga susu dari pabrik besar. Dengan pola semacam Induk koperasi yang membawahi beberapa jaringan KUD, GCMMF yang didirikan tahun 1946, saat ini menjadi produsen berbagai macam produk susu terbesar di India dengan penjualan tahunan sebesar $ 500 Juta.

    Inilah yang sedang dan telah menjadi perhatian pada Negara-negara berkembang dalam mendorong jasa keuangan bagi pedesaan. Salah satu instrumen untuk mendorong jasa keuangan bagi rakyat miskin di pedesaan adalah melalui lembaga keuangan mikro. Upaya-upaya yang banyak dilakukan di berbagai Negara berkembang di Asia dan Afrika dalam peningkatan kinerja keuangan di pedesaan antara lain adalah dengan memperkuat perantara keuangan pedesaan yang telah ada, memberikan kredit mikro dengan tingkat bunga dibawah tingkat bunga pasar, mendorong pembiayaan agrikultur, meningkatkan peran pemerintah sebagai pemberi kemudahan melalui kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan, sistem perlindungan untuk tabungan masyarakat miskin, meningkatkan penerapan good corporate governance, efisiensi dan kapabilitas kelembagaan keuangan mikro serta sumber daya manusia lembaga keuangan mikro. Meningkatkan peran lembaga donor dalam bentuk penyediaan hibah, pinjaman dan perlengkapan modal uang tepat untuk peningkatan kapabiltas dan kapasitas lembagaan keuangan mikro.

    Di Indonesia, UMKM, penggerak utama sektor riil di Indonesia yg berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi Indoneisa telah mencapai jumlah 48.926.636 (99,98%) dari total seluruh unit usaha 48.939.840, dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 85.416.493 (96.2%) dari 88.804.955 serta mampu menyumbang sebesar Rp. 1.778,75 triliun (53.3%) dari Pendapatan Domestik Bruto Nasional. Menkeu Ibu Sri Mulyani menargetkan untuk tahun 2008 pembiayaan UMKM sebesar Rp.636,3 triliun dengan asumsi pertumbuhan 2% per tahun. Diperkirakan jumlah UMKM 2008 menjadi 50,91 juta dan 2009 menjadi 51,92 juta. Namun, UMKM yang bankable diperkirakan hanya mampu menyerap Rp.497 triliun sehingga masih ada gap sekitar Rp.139,7 triliun. Dan berdasarakan Penelitian PT.PNM 2006, bantuan kredit dari lembaga keuangan untuk usaha kecil hanya Rp.181,34 triliun (35,5%) sedang untuk usaha menengah Rp.73,10 triliun (14,3%) dari total dana kredit sebesar Rp.510,62triliun

    Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan lembaga keuangan syariah itu sendiri.

    C. Integrasi Pasar Keuangan Syariah

    Secara konseptual dan mengingat peran pentingnya terutama pemberdayaan sektor riil, sistem keuangan syariah memang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman serta sudah menjadi kewajiban sejarahnya untuk lahir dan tumbuh menjadi sistem ekonomi dan keuangan alternatif-solutif. Karena sistem keuangan syariah dapat memberikan kontribusi positif dalam memobilisasi dana investasi antar berbagai belahan dunia. Keuangan syariah dapat mendorong wilayah-wilayah yang mengalami kelebihan dana untuk menyalurkan dana ke sejumlah wilayah yang kekurangan dana. Ini bisa mendorong integrasi keuangan regional bahkan pada tataran internasional.

    Untuk merealisasikan hal ini bukanlah hal yang mudah, banyak aral dan rintangan yang harus dilalui lembaga keuangan syariah ke depan nanti. Lembaga-lembaga keuangan syariah saat ini masih dalam tahap awal evolusinya. Walaupun tingkat pertumbuhannya cukup cepat, sejauh ini baru menempati small niche (ceruk kecil) di sektor finansial negeri-negeri muslim, apalagi di sektor keuangan internasional.

    Integrasi pasar keuangan islam regional adalah sebuah pra kondisi yang penting bagi upaya mewujudkan sinergi antar lembaga keuangan syariah dalam meningkatkan pemberdayaan sektor riil dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Allah swt berfirman di dalam al-Quran, “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. al-Maidah: 2), Juga dalam ayat lain disebutkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali-Imran: 103)

    Makna ayat tersebut bagi praktisi dan profesional keuangan adalah sinergi dan integrasi. Lembaga keuangan syariah di Indonesia harus terus menerus mencari formula dan pola sinergi dan integrasi satu sama lain, karena kerjasama tersebut akan berdampak pada kinerja dalam segala aspek, serta efek efesiensi yang luar biasa pada lembaga keuangan syariah secara signifikan, selain itu juga akan menghasilkan produk-produk bersama yang inovatif, baik penghimpunan dana maupun penjualan produk bersama. Integrasi dan sinergi tersebut bukan saja antar bank syariah dengan bank syariah, tetapi juga antara bank dan asuransi, antara asuransi dan dana reksa, begitu juga dengan penggadaian dan lembaga keuangan syariah lainnya. Meliputi Bank Indonesia (BI) untuk industri perbankan syariah, Departemen Keuangan untuk industri asuransi dan pegadaian syariah, Bapepam LK untuk pasar modal dan reksadana syariah, serta Kementerian Koperasi dan UKM untuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Selanjutnya Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sebagai rambu-rambu dalam memandu operasional lembaga keuangan syariah (LKS).

    Dalam pemenuhan kebutuhan konsumen jasa keuangan serta meningkatkan akses jasa keuangan ke semua level masyarakat, lembaga-lembaga kuangan baik perbankan maupun bukan perbankan (Lembaga Pembiayaan, Asuransi, Dana Pensiun maupun Sekuritas) harus terus melakukan inovasi terhadap proses bisnis jasa keuangan maupun produk keuangan melalui aktivitas cross-selling, cross holding dan universal banking. Aktivitas-aktivitas inovasi produk dan jasa keuangan yang merupakan suatu sinergi antara perbankan, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal, telah membuat semakin dekat antara sub-sektor-subsektor keuangan ini dan bahkan menipiskan batasan-batasan antar sub-sektor keuangan. Fenomena inilah yang disebut sebagai integrasi jasa keuangan.

    Integrasi keuangan ini memang marak terjadi akhir-akhir ini di negara-negara berkembang seperti negara-negara ASEAN, Afrika maupun Amerika Latin. Semakin terintegrasinya pasar keuangan suatu negara berkembang ke dalam suatu kawasan akan membantu meningkatkan angka pertumbuhan ekonominya. Karena integrasi keuangan akan mampu mengurangi biaya modal, mendukung transfer teknologi, mendukung perkembangan lebih lanjut dari pasar finansial domestik, memperbaiki pembuatan kebijakan makro ekonomi, dan menguatkan institusi keuangan, dan akan mendorong alokasi sumber daya ekonomi semakin efisien dan memperbaiki alokasi resiko dalam pasar keuangan. Selain itu, integrasi keuangan dapat mengurangi risiko nilai tukar dalam penyaluran kredit di pasar keuangan, dan menyediakan dana asing sebagai alternatif sumber dana.

    Program Akselerasi Bank Indonesia menargetkan 5 persen dari pangsa perbankan nasional yang ekuivalen dengan Rp 91,57 triliun di akhir 2008. Target akselerasi tersebut akan dapat tercapai dengan beberapa persyaratan, antara lain: adanya penyempurnaan perangkat sistem perundangan dan instrumen keuangan syariah yang dapat mengakomodir perkembangan, dan adanya integrasi pasar keuangan global syariah di Indonesia Indonesia. Terlebih adanya Fakta, investor yang menginginkan investasi dengan instrumen keuangan syariah jumlahnya cukup besar. Data dari McKinsey menunjukkan 20%-30% investor dari GCC memilih produk keuangan yang sesuai syariah, 50%-60% memilih kombinasi syariah dan konvensional, sedangkan sisanya 10-30% bersifat indifferent. meski GCC tetap menjadi sasaran investasi asing (terutama dari As dan Eropa) karena faktor minyak, GCC tetap memburu bagi penempatan surplusnya akibat windfall profit (diperkirakan sekitar US$2-3 triliun) untuk diinvestasikan di luar negeri, terutama di kawasan Asia melalui kebijakan “Going East” seperti yang diperlihatkan oleh para pemimpin negara-negara GCC.

    Oleh karenanya, agar kita tidak ketinggalan jauh lagi dibandingkan negara-negara Asia lainnya, sudah saatnya kita bertindak cepat dan action plan yang terencana dengan mempersiapkan diri mengambil peluang ini dalam membentuk pasar keuangan syariah yang global dan terintegrasi.***(Dari Berbagai sumber)

    Wassalam

    Eva Muliawati Nugraha 063403150 said:
    Februari 24, 2009 pukul 3:29 pm

    AKUNTANSI YANG ISLAMI (SYARI’AH) SEBAGAI MODEL ALTERNATIF DALAM PELAPORAN KEUANGAN

    Abstrak

    Akuntansi syariah didasarkan atas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada system kapitalis. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit, sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.

    Kata Kunci : Akuntansi Syariah, Kapitalisme, Bagi hasil, Konsep Syariah

    A. Pendahuluan

    Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama.

    Anggapan terhadap Akuntansi Islami (akuntansi yang berdasarkan Syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah Ekonomi Islam.

    Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur’an dan Ahlul Bait, maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.

    Ketika kita berbicara tentang syariah, kita wajib meyakini bahwa ada dua dunia yang saling berhubungan yaitu dunia fana dan dunia akhirat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak hanya berdampak pada kehidupan dunia saja, namun memiliki hubungan yang erat dengan akhirat.

    Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit”. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak selalu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.

    Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dimana maksud dari surat ini adalah membahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah, dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.

    B. Akuntansi Syariah VS Kapitalisme

    Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya akan mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.

    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.

    Menurut pengamatan penulis, sistem akuntansi yang ada di Indonesia sekarang ini terlalu mengadopsi pola pikir barat dengan segala kebudayaannya. Sebagaimana kita maklumi bahwa cukup lama pola pikir dan aktivitas bermuamalah masyarakat muslim di Indonesia khususnya dan selain muslim umumnya mengikuti pola pikir barat tersebut yang mana menekankan pada kapitalisme dan sekularisme.

    Dimana paham kapitalisme tersebut lebih menekankan pada prinsip perolehan laba dan keuntungan yang lebih memihak kepada pemilik modal saja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang sebenarnya lebih memegang peranan penting daripada pemilik modal itu sendiri. Mengapa penulis berpikiran seperti itu, sebagai gambarannya penulis dapat memberikan contohnya sebagai berikut.

    Pertama, laba dari hasil penjualan dan produksi yang diperoleh sebuah perusahaan, akan dibagi dalam bentuk deviden. Akan tetapi di dalam pembagian deviden tersebut sepenuhnya hanya untuk pemilik modal saja tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan lainnya seperti pemerintah dan masyarakat.

    Idealnya, dana deviden tersebut harus diperhitungkan untuk kepentingan masyarakat, hal ini disebabkan karena sebagian dana operasional yang dimiliki perusahaan diperoleh dengan cara melakukan pinjaman dari Bank. Seperti yang kita ketahui sumber dana yang dimiliki Bank diperoleh dari masyarakat yang menabung pada Bank tersebut. Artinya, secara tidak langsung dana operasional yang dimiliki oleh perusahaan untuk menjalankan operasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat mengetahui informasi tentang perusahaan dan memperoleh manfaat dari perusahaan tersebut.

    Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 107, yang mana maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa, agar “rahmat” yang dimaksudkan oleh Allah SWT dapat dirasakan dan dinikmati oleh manusia, maka manusia harus menjauhi perbuatan yang saling menzalimi antara manusia satu dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan alam, dan yang lebih penting adalah jangan menzalimi diri sendiri. Hal tersebut lebih dipertegas lagi dalam surat Al-Baqarah ayat 279, yang mana maksud dari surat tersebut yakni menyatakan tentang prinsip utama dalam syariat islam terutama dalam melakukan muamalah.

    Contoh kedua, apabila dilihat dari kegiatan yang berhubungan dengan perbankan, maka alat ukur yang sering digunakan adalah rate of interest. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi perbankan karena perbankan menggunakan instrumen ini untuk mencari-cari alasan untuk menghindar dari mentaati ketentuan-ketentuan syariah.

    Atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis merasakan perlunya penerapan akuntansi yang islami sesuai syariah di Indonesia sebagai model alternatif dalam penyusunan laporan keuangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya praktek kecurangan–kecurangan (fraud) seperti earning management, income smoothing, window dressing, lapping dan teknik-teknik lainnya yang biasa digunakan oleh manajemen perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan.

    Untuk lebih jelas penulis akan memberikan fakta yang terjadi pada perusahaan WorldCom. Perusahaan telekomunikasi dengan klaim aset 107 miliar dolar (sepadan dengan Rp 963 triliun) itu bangkrut. Inilah fakta kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah Amerika.

    Tumbangnya perusahaan ini, seperti sengatan mematikan bagi perekonomian Amerika, setelah sebelumnya Enron, Merck, dan Xerox ikut sempoyongan diguncang skandal manipulasi keuangan. WorldCom Cs tentu bukan jenis entitas bisnis yang baru muncul ke permukaan. Kapitalisasi mereka di New York Stock Exchange yang begitu besar dan iming-iming laba yang terus mereka cetak dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, jelas magnet penyedot perhatian pebisnis top di seantero dunia untuk berebut membeli sahamnya.

    Tapi siapa yang menyangka, akal-akalan mereka dengan memalsukan laporan akuntansi telah membuat perusahaan itu sangat rapuh. Keuntungan miliaran dolar yang tertera dalam laporan keuangannya, tak lebih dari sebuah kepalsuan yang dirangkai oleh akuntan-akuntan yang tak bertanggung jawab.

    WorldCom hanya sekadar contoh dari sebuah peradaban yang menempatkan ilmu akuntansi menghamba kepada kepentingan pemilik modal (stockholder). Di sini, kisi dan ruang akuntansi sebagai media transparansi dan pertanggungjawaban dipelintir untuk satu alasan yaitu bagaimana caranya menguntungkan bagi pemilik modal.

    Sekali-sekali, cara-cara itu memang mendapatkan untung. Namun sungguh picik, mengira publik sebagai tempat sampah yang hanya bisa menerima tanpa mampu mengukur kebenaran yang disampaikan melalui laporan keuangan itu. Dan sekali terbongkar, reputasi yang bertahun-tahun mereka bangun hancur berantakan.
    Realitas menyulap laporan keuangan yang banyak terjadi dalam paradigma kapitalis menunjukkan betapa sistem akuntansi kapitalis selalu berpeluang melahirkan malapetaka. Sistem akuntansi kapitalis yang memang dari asalnya didesain untuk mendukung pemilik modal.

    Di sinilah bedanya sistem akuntansi kapitalis dan Islam dibangun. Akuntansi Islami bukan saja untuk melayani kepentingan stockholder, tapi juga semua pihak yang terlibat atau stakeholder. Itu berarti ada upaya melindungi kepentingan masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dunia flora-fauna, berikut lingkungan yang menjadi habitatnya.

    Karena itu, Akuntansi Islam bukan selalu bicara angka. Sebaliknya, domain akuntansi juga mengukur perilaku (behavior). Konsekuensinya, akuntasi Islam menjadi mizan dalam penegakan ketertiban perdagangan, pembagian yang adil, pelarangan penipuan mutu, timbangan, bahkan termasuk mengawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang bisa merugikan kalangan lain. Kalau rambu-rambu dasar seperti ini yang diterapkan, yakin tragedi WorldCom tak terjadi. Itu bisa dilakukan karena akuntansi tak lagi menghamba kepada kepentingan pemilik modal, tapi lebih dari itu inheren dengan penegakan keadilan dan kebenaran.

    Dasar-dasar bisnis dengan merujuk praktik akuntansi Islam sebenarnya sudah diterapkan Rasulullah saat membangun Madinah. Tinggal kini bagaimana mentransfer warisan Nabi Muhammad yang berupa nilai-nilai normatif itu ke dalam tataran empirisme.

    Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.

    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.

    Berikut ini penulis akan gambarkan perbedaan struktur dan konsep akuntansi konvensional dengan konsep akuntansi syariah :

    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Konvensional

    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Islami (Syariah)

    Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini rencananya akan diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah. Hanya saja, PSAK dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan.

    Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.

    Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sini. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena pendekatan dasar akrual memang membuka peluang trik-trik curang dalam pembukuan. Tragedi WorldCom terjadi karena akuntannya memanfaatkan lubang-lubang dasar akrual, yang pada akhirnya merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan itu dikarenakan banyak keuntungan yang masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.

    Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi Islam harus terus didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.

    C. Ekonomi Syariah bukan monopoli Islam

    Perbankan syariah? Terbitnya UU No 10/1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU No 7/1992, memang telah memicu perkembangan perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir ini. UU yang memberi peluang diterapkannya dual banking system dalam perbankan nasional ini dengan cepat telah mendorong dibukanya divisi syariah di sejumlah bank konvensional. Sejak didirikannya Lembaga Keuangan Syariah secara resmi 1 November 1991 lalu dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI), lambat laun terus berkembang ke bank-bank umum (konvensional), baik bank pemerintah maupun swasta di seluruh Indonesia.

    Walaupun masih dalam tahap awal, perkembangan bank syariah di Indonesia termasuk luar biasa. Dalam periode tahun 1998 sampai akhir 2002, perbankan syariah telah tumbuh rata-rata sebesar 57,60 persen, berarti jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan perbankan nasional yang hanya 12,3 persen. Hingga saat ini, sedikitnya sudah ada dua bank umum syariah di Tanah Air, yakni Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berdasarkan data dari BI, jumlah Bank Syariah di Indonesia meningkat, dari 83 buah terdiri dari bank umum, unit usaha dan BPR Syariah (BPRS) menjadi 91 buah, sedangkan jumlah kantor sebanyak 203 tersebar di 29 kota dan BPRS di 44 kota di seluruh Indonesia dengan total aset seluruhnya mencapai Rp 3,7 triliun dan ditambah dana pihak ketiga sebesar Rp 2,5 triliun.

    Bahkan, sejumlah bank umum pemerintah maupun swasta diperkirakan akan membuka cabang-cabang syariah dan merambah kepada unit-unit industri keuangan lainnya seperti reksa dana syariah, dana syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan obligasi syariah dengan sistem penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangannya. Prinsip-prinsip syariah ini memberi peluang untuk berkembangnya pola-pola pendanaan yang bersifat ekonomi sosial dalam memberdayakan masyarakat luas.

    Bank Syariah memang berkembang mengikuti pesatnya dunia perbankan tanpa harus lepas dari syariah itu sendiri. Bahkan, prospek perbankan syariah ke depan sangat cerah. Karena lembaga keuangan syariah dengan prinsip bagi hasil yang adil sebenarnya bukan monopoli umat Islam, tetapi berlaku universal untuk semua masyarakat. Dengan konsep universal, maka siapa pun bisa menggunakan konsep perbankan tersebut. Selain itu, kehadiran perbankan syariah bisa memberi kontribusi yang sangat positif terhadap perekonomian nasional.

    Walau demikian, dalam perkembangannya, bank syariah tak luput dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pelaksana perbankan syariah. Sebab, sejauh ini masih banyak tantangan berat yang harus dihadapi dan diantisipasi oleh seluruh komponen yang terkait dengan Bank Syariah, diantaranya sebagai berikut :

    Pertama, secara kuantitatif peranan perbankan syariah dinilai masih sangat kecil sehingga pengaruhnya belum dapat dirasakan secara nasional. Sebab, total aset milik perbankan syariah hanya sekitar 0,33 persen, sedangkan kondisi di Malaysia saja sudah 8 persen.

    Kedua, praktek atau realisasi pelaksanaannya di lapangan-terutama bank konvensional yang membuka unit usaha syariah-masih diragukan, apakah sudah sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang sebenarnya. Sebab, mungkin saja masih melaksanakan praktik-praktik bank konvensional dalam menghitung konvensi bunga, bukan dengan perhitungan bagi hasil tanpa sistem riba, gharar (ketidakjelasan) dan maisyir (spekulasi). Perbankan syariah pun tidak mengenal adanya negative spread.

    Ketiga, tampaknya para ulama belum memiliki pandangan dan komitmen yang sama dan mantap mengenai perbankan syariah meskipun memang sudah ada kumpulan fatwa yang disebut Dewan Syariah Nasional MUI.

    Keempat, dukungan dari masyarakat terutama umat Islam. Namun dukungan dari pemerintah dan DPR belum terlihat, misalnya, dalam bentuk landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Padahal, perbankan syariah punya landasan filosofis dan secara konseptual sangat berbeda dengan prinsip bank konvensional.

    Bila memperhatikan permasalahan yang menjadi tantangan berat tersebut, mungkin poin terakhir yang dinilai kian mendesak adalah landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Walau diakui kini sudah ada UU No 10/1998 yang merupakan penyempurnaan UU No 7/ 1992, ditambah Perpu No 72/1992 yang menjelaskan pengertian bank bagi hasil serta UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (yang memberi wewenang BI untuk membina, mengawasi dan mengembangkan perbankan syariah), praktis tidak ada peraturan perundangan pendukung lainnya. Ini menyebabkan perbankan syariah berusaha menyesuaikan produk-produknya dengan hukum yang berlaku.

    Tidak adanya landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah membuat ciri-ciri khusus yang menjadi keunggulan perbankan syariah bila dibandingkan dengan perbankan konvensional tentu saja menjadi kurang dominan. Akibatnya, penampilan perbankan syariah pun tak jauh beda dengan perbankan konvensional.

    Karena itu, sudah waktunya bila eksistensi perbankan syariah memiliki regulasi sendiri, yakni UU Perbankan Syariah yang mengatur hal-hal mendasar tentang bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah seungguhnya. UU yang bersifat khusus ini, memang kian mendesak dan sangat diperlukan, mengingat perbedaan karakter yang sangat menonjol dalam praktik bank syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional.

    Dalam hal ini, nilai-nilai syariah harus menjadi roh bagi seluruh ketentuan yang disusun dalam UU Perbankan Syariah. Suatu undang-undang yang diharapkan mampu membuka peluang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat dan meratanya distribusi pendapatan, sehingga akan tercipta keadilan ekonomi di masyarakat, di samping harus mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi nasional yang kini tengah terpuruk.

    Selain itu, juga harus berorientasi kepada penciptaan sebesar-besarnya kemaslahatan, baik dalam tatanan nasional maupun internasional. Dan yang tak kalah pentingnya, UU Perbankan Syariah harus dapat melonggarkan batasan dari pemerintah, sepanjang batasan itu tidak melanggar prinsip syariah.

    Dengan terbitnya UU Perbankan Syariah, diharapkan pelaksanaan lembaga keuangan syariah akan lebih baik dan lebih berperan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional menuju masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera

    D. Konsep Bagi Hasil

    Pembahasan menyangkut konsep bagi hasil atau Profit-Loss Sharing (PLS) ternyata bukan hanya menjadi konsen bagi Muslim saja. Di Barat, beberapa ekonom seperti Holmstrom, Stiglitz, Weitzman, Stadler, dan Castrillo di antara sedikit ekonom yang ikut mengupas konsep PLS. Pembahasan yang sudah dilakukan termasuk optimalisasi kontrak dalam berbagai macam kondisi. Dalam pembahasan itu, diuraikan beberapa aspek yang menjadi pembeda antara lain tingkat informsi yang didapat pihak-pihak yang melakukan kontrak, preferensi, serta tingkat dari ketidakpastian produksi dari usaha yang dilakukan.

    Kontrak bagi hasil pada dasarnya memberikan keleluasan bagi mudhorib (pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Inez-Stadler (1996) menurunkan fungsi sharing sebagai alat ukur indeks berapa tingkat bagi hasil yang diharapkan berdasarkan preferensi pihak-pihak yang melakukan kontrak (karena berbagai keterbatasan formula matematiknya tidak dikemukakan di sini).

    Baldwin (1998) dengan persamaan matematiknya membuktikan pula bahwa transaksi sharing sangat rasional. Sementara penelitian Kuhn-Tucker berhasil menggambarkan kondisi simetrik (dipenuhinya informasi bagi masing-masing pihak yang bertransaksi) memenuhi asas rasionalitas dan Pareto Optimal (pengukuran efisiensi dari alokasi dan distribusi sumber daya yang paling optimal atau dikenal dengan agency theory). Dalam kondisi ideal dimana masing-masing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best solution). Namun tentu tak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna.

    Ketidaksempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sekedar sebagai contoh, shohibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudhorib (debitor). Namun karena miskinnya informasi berkait dengan tingkat pengembalian (expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal sangat terbuka akan mengalami kemungkinan kerugian.

    1. Ketidaksempurnaan Informasi

    Dalam kontrak bagi hasil, shohibul maal akan menghadapi beberapa masalah yang potensial. Itu terjadi karena tidak sempurnanya akses informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Dua masalah yang paling menonjol adalah: (1) sulitnya menilai tingkat kegiatan usaha debitor (unobservable effort) dan (2) terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat produktifitas usaha (hidden productivity).

    Tentang keterbatasan informasi itu, kondisi ideal memang belum bisa didapatkan. Karena belum bisa mendapatkan kondisi ideal menyusul tidak sempurnanya informasi yang diterima, inilah yang harus diulas lebih jauh. ada dua jenis ketidaksempurnaan informasi (incomplete information): bersifat alamiah dan kurangnya informasi sebagai karena sudah didisain/disengajakan (engineered asymmetric information). Risiko bisnis termasuk dampak dari kurangnya informasi. Dan ini masih bisa diterima.

    Sedangkan, miskinnya informasi yang diterima karena unsur kesengajaan, jelas tidak diperbolehkan. Yang salah dalam ekonomi konvensional, mereka memindah begitu saja risiko bisnis menjadi risiko yang harus dibayar lebih mahal (risk premium) atau lebih sering disebut sebagai discount rate.

    2. Pilihan kontrak

    Lebih lanjut jenis kontrak dalam bagi hasil. Untuk menentukan jenis kontrak yang akan dipilih, persoalannya tidak gampang bagi Muslim. Sebab, mereka sekurangnya harus mengantongi dua persyaratan sekaligus, baru kontrak boleh dijalankan. Syarat pertama, tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus, dan yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak boleh melenceng dari pedoman syariah.

    Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian. Anjuran itu antara lain adalah transparansi dalam membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), amanah (lower preference for opportuniy cost), Bila ketiga syarat tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa mencapai apa yang disebut di muka kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution).

    Namun, seperti telah diurai di depan, keterbatasan informasi telah membuat ikondisi ideal tidak tercapai. Dampaknya, ekspektasi pendapatan menjadi rendah. Dalam hal hasil akhir, kualitas transaksi sharing sangat tergantung pada sedikitnya tiga faktor utama. Pertama, akses terhadap informasi (transparansi). Dengan kepemilikan informasi yang cukup, akan mengurangi kondisi moral hazard.

    Dengan demikian, para pelaku transaksi bisa saling mengukur bagaimana ekspektasi usahanya apakah akan mendatangkan hasil optimal atau sebaliknya. Kedua, preferensi dari pelaku transaksi. Nila transaksi dilakukan secara amanah dan terbuka, akan secara efektif menurunkan moral hazard.

    Beberapa transaksi bagi hasil dimana diberikan insentif bonus bila transaksi mencapai tingkat prestasi tertentu, diharapkan dapat meningkatkan kualitas transaksi. Ketiga, standar akuntansi yang memadai. Salah satu syarat yang menentukan keberhasilan bagi hasil adalah sistem akuntasni yang sesuai dengan prinsip syariah. Konsep ini harus memberikan panduan tentang penentuan difinisi pendapatan dan biaya. Juga, tentang tingkat risiko dari transaksi.

    E. Akuntansi yang Islami (Akuntansi Syariah)

    Masyarakat Islam memakai hukum Islam (syariah) yang memakai ketentuan dari kitab suci Al Qur’an dan Hadis. Peraturan akuntansi pun demikian, harus berdasarkan syariah yang berlaku.

    Tujuan diberlakukannya ekonomi dan akuntansi Islam adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan (sosial maupun ekonomi) dan melindungi hak milik masyarakat. Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat muslim menyebabkan berkembangnya perbankan, asuransi dan instansi keuangan lainnya dengan sistem pembiayaan “bebas bunga” berbeda dengan sistem pembiayaan ekonomi modern. Hal ini didasari oleh dilarangnya bunga / interest dalam syariah sehingga pembiayaan lembaga-lembaga ini didasarkan pada penggunaan equity-funding / leasing dan installment sales. Basis pembiayaan dalam Islam adalah equity participation yaitu pendapatan yang dibagi berdasarkan perjanjian pembagian profit/loss sebelumnya.

    Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menghindari ketidakpercayaan dan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan menjamin fairness dari akuntansi, serta pendistribusian hak dan kekayaan secara merata. Untuk mendukung tujuan ini, dibentuklah akuntansi syariah yang tujuannya adalah sebagai berikut :

    1. Circulation of Wealth:

    Kekayaan harus disirkulasi secara luas dan tidak terkonsentrasi pada sekelompok orang. Tujuan ini dicapai melalui zakat, sedekah dan pelarangan tingkat bunga.

    2. Prohibition of Interest:

    Bunga merupakan alat yang paling pasti untuk mengakumulasikan kekayaan dengan menghindari resiko. Hal ini dilarang dalam hukum Islam dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang memiliki uang disediakan cara yang mudah untuk meningkatkan kekayaan mereka sementara orang-orang yang membutuhkannya tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan karena keharusan membayar buga yang belum tentu mampu mereka tanggung. Islam menganggap hal ini tidak adil. Jenis investasi yang diizinkan adalah equity based partnership maupun shareholding.

    3. Halal Trade :

    Investasi hanya boleh dilakukan dalam aktivitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan termasuk perjudian, alkohol dan hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat). Pemberian informasi yang tidak benar dilarang. Hal ini mengimplikasikan adanya full disclosure and fair measure or valuation.

    4. Forbidden transactions and contracts:

    Semua jenis kontrak harus jelas, kontrak yang tidak jelas dilarang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan pertentangan antar pihak yang terkait. Tarnsaksi pinjam-meminjam dan transaksi lainnya yang merupakan kewajiban di masa yang akan dating (partnership, joint venture) harus dicatat dan diawasi. Transaksi spekulatif dilarang. Dalam Equity; fair selling price ditentukan dalam competitive market, tidak ada penipuan ataupun monopoli. Asuransi konvensional didasarkan pada takaful yaitu co-operative saving dimana bagian tertentu dialokasikan untuk klaim dari kewajiban kontijensi.

    F. Kepemilikan Dalam Islam

    1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam

    “Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.

    Para fukoha memberikan batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa “milik” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

    Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara’, maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar’i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.

    Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang “miliknya” mereka terhalang oleh hambatan syara’ yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

    2. Jenis-jenis Kepemilikan

    Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagad raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu “diberikan” atau “dititipkan” kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT.

    Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.

    Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.

    3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.

    Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, (2) akad, (3) penggantian dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.

    3.1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.

    Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.

    3.2. Akad

    Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.

    3.3. Penggantian

    Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ” Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya.” (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.

    3.4. turunan dari sesuatu yang dimiliki

    Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :

    a. kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.

    b. kepemilikan karena berburu atau memancing.

    c. rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.

    d. kepenguasaan atas barang tambang.

    Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

    G. Konsep Investasi dalam Akuntansi Syariah

    Seperti telah disebutkan sebelumnya, akuntansi syariah melarang adanya bunga/interest atas pinjaman. Hal ini menyebabkan sistem perbankan konvensional yang merupakan institusi keuangan penting dalam modern economics dilarang keberadaannya. Walaupun demikian, ketidakberadaan interest, tidak berarti cost of capital sama dengan nol. Yang illegal adalah penentuan predetermined fixed rate (riba) on capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi resiko dengan pihak peminjam. Islam memperbolehkan profit and loss sharing partnership (baik active maupun sleeping partnerships). Beberapa alasan dilarangnya bunga (fixed interest) adalah :

    1). Interest dapat diartikan bahwa lender dijamin memperoleh uang tanpa perlu berusaha. Islam tidak menyukai ini karena dianggap akan menimbulkan ketergantungan terhadap bunga dan menyebabkan orang malas untuk bekerja. Hal ini terbukti terjadi di Inggris pada awal abad ke-19, saat kaum berharta hidup dari pendapatan bunga yang mereka peroleh dan tidak bekerja.

    2). Memperbolehkan tingkat bunga mengurangi rasa tolong-menolong dalam masyarakat. Contohnya, meminjamkan uang tanpa mengharapkan balasan merupakan cara untuk menolong orang lain tapi motivasi untuk melakukan ini turun karena pemilik uang tadi dapat memperoleh hasil melalui bunga.

    3). Bunga berarti eksploitasi dimana orang-orang yang membutuhkannya harus bekerja lebih keras selain untuk menghidupi dirinya sendiri, juga untuk membayar bunga pinjamannya.

    Islam memperbolehkan opportunity cost dan risk dalam deferred dan installment sales serta memperbolehkan deferred price untuk lebih tinggi dari cash price. Juga memperbolehkan operational leasing dan persewaan. Jadi pelarangan yang sangat ketat hanyalah pada pelarangan adanya tingkat bunga. Pengusaha dapat berpartisipasi dalam bisnis melalui partnership, equity shareholding and commenda. Ketiganya memerlukan perhitungan pendapatan dan penilaian asset untuk distribusi keuntungan. Dalam conventional accounting, investor lebih dianggap sebagai lender of capital daripada participant in the business. Metode-metode ini diterapkan dalam perbankan syariah dan asuransi syariah (takaful). Dana dimobilisasi melalui media-media berikut ini :

    1). ‘al wadia’ – penyimpanan secara aman dengan jaminan pengembalian deposit, tapi tanpa bunga. Lembaga keuangan dapat mempergunakan dana ini selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah, contoh dipakai untuk berjudi, industri minuman keras dan lainnya. Lembaga keuangan diperbolehkan untuk memberikan bagian keuntungannya sebagai ‘hadiah’ tapi hal ini tidak dijamin sebelumnya.

    2). investment account – depositor menyimpan uangnya sebagai investor dan bank sebagai partnernya. Bank membagi keuntungan yang diperolehnya dari investasi dengan depositor berdasakan proporsi yang telah disetujui sebelumnya. Tapi tidak ada jaminan bahwa depositor dapat memperoleh modalnya kembali.

    Sementara, Islamic financing Techniques (tehnik pembiayaan syariah) terdiri atas:

    1). Mudarabah (trust financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan kas kepada borrower dan berbagi dalam net profits dan net losses dari bisnis. Pinjaman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

    2). Murabaha (cost-plus trade financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan pembiayaan untuk membeli barang dan mendapat bagian keuntungan ketika barang terjual. Dalam sistem ini, Bank tidak bertanggung-jawab atas kerugian yang terjadi.

    3). Musharaka (participation financing) yaitu Bank menyediakan bagian dari equity dan working capital untuk bisnis peminjam, dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian.

    4). Ijara (rental financing) yaitu Bank membeli peralatan dan menyewakannya kepada perusahaan, perusahaan dapat pula melakukan capital lease.

    Transaksi musharakah dan mudaraba memerlukan nilai pendapatan untuk menentukan dan mendistribusikan keuntungan pada deposit holders. Abdelgader (1990) menemukan kesulitan-kesulitan berikut ini dalam menentukan dan mendistribusikan profit pada bank-bank di Sudan :

    a) Time lag antara deposit dan investasi, dimana profit depositor didasarkan pada jangka waktu penyimpanannya, sementara investasi tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada jangka waktu deposito.

    b) Hak depositor untuk menarik dananya kapan saja sementara investasi tidak se-flexible itu.

    c) Kebutuhan untuk memastikan fairness terhadap depositor yang menarik uangnya padahal bagiannya dalam profit belum diketahui.

    d) The pooling berbagai jenis dana, misalnya savings, investment, current account dan equity bank sendiri dibandingkan dengan penghasilan dari berbagai aktivitas bank.

    e) Masalah bank expenses: haruskah proporsi tertentu dari banks own expenses dibebankan kepada investment profit?

    Masalah-masalah di atas mengindikasikan bahwa income determination dan valuation concepts merupakan hal yang penting. Berikut ini akan dibahas perlakuan akuntansi terhadap pembiayaan melalui mudharaba,murabaha dan musharaka.

    1. Akuntansi Investasi Mudarabah

    a. Pengakuan Investasi Mudarabah

    Seperti telah disinggung sebelumnya, investasi mudaraba adalah partnership dalam modal dan pekerjaan, lembaga keuangan yang menyediakan modal dan penerima uang yang melakukan pekerjaan. Investasi ini diakui ketika modal (uang dan sejenisnya) diserahkan kepada mudarib (orang yang akan memanfaatkannya) atau berada di bawah tanggung jawabnya. Apabila penyerahan uang atau barang modal ini dilakukan secara cicilan, maka setiap cicilan diakui pada saat penyerahannya. Dan apabila kontrak Mudaraba berupa kontijensi atas terjadinya suatu peristiwa atau ditunda di masa yang akan datang (pemberian modal melalui Mudarabah tergantung kondisi tertentu di masa yang akan datang) tetap saja investasi ini diakui ketika sudah dibayarkan kepada Mudarib. Jadi tidak perlu dicatat terlebih dahulu.

    Transaksi ini dicatat pada laporan keuangan sebagai “Mudarabah Financing”, bila bentuk modal yang diserahkan adalah non monetary asset, dilaporkan seabagai “non monetary Mudarabah assets”

    b. Metode Pengukuran Investasi Mudaraba

    a) Saat dimulainya kontrak

    Jumlah yang dilaporkan adalah sesuai jumlah yang benar-benar diserahkan kepada Mudarib. Mudarabah yang disediakan dalam bentuk trading assets atau non-monetary assets harus diukur pada fair value-nya yang merupakan kesepakatan antara lembaga keuangan dengan kliennya. Apabila fair value asset yang diserahkan melebihi book valuenya, dicatat sebagai profit/loss bagi lembaga keuangan yang menyerahkan assetnya. Biaya-biaya yang terjadi tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian antara kedua belah pihak.

    b) Pada akhir periode

    Nilai investasi Mudarabah tetap sejumlah kontrak awalnya kecuali ada pembayaran (repayment) yang akan mengurangi nilai Mudarabah. Apabila bagian dari Mudaraba capital mengalami kerugian, harus dilihat apakah hal ini akibat kesalahan dari pihak Mudarib atau bukan. Bila bukan, kerugian ini akan dibebankan pada nilai investasi Mudaraba (mengurangi nilainya) dan dianggap sebagai kerugian Lembaga Keuangan tapi bila hal ini dianggap kesalahan pihak Mudarib, nilai modal mudarabah tidak akan dikurangi. Demikian juga halnya bila keseluruhan dana Mudarabah mengalami kerugian, bila bukan akibat kesalahan Mudarib, dibebankan seluruhnya sebagai kerugian Lembaga Keuangan. Saat perjanjian Mudaraba selesai dan pihak Mudarib belum membayar pokok ditambah bagian keuntungan/kerugian kepada lembaga keuangan, dicatat sebagai Receivable dari Mudarib.

    c. Pengakuan Profit/Loss yang Terjadi

    Profit dan Loss yang terjadi dalam investasi Mudaraba diakui pada akhir periode saat kontrak dianggap selesai. Bila pembayaran profit/loss ini dilakukan secara berkala, pencatatannya disesuaikan dengan saat diterimanya profit/loss tersebut. Kerugian yang terjadi diakui saat kontrak selesai, apabila hal ini dinilai sebagai kesalahan pihak Mudarib, loss akan diakui sebagai receivable due from Mudarib,

    d. Pengungkapan yang diperlukan

    Pengungkapan dalam catatan laporan keuangan apabila lembaga keuangan membuat cadangan penurunan nilai asset Mudarabah.

    2. Akuntansi Investasi Musharaka

    Investasi Musharaka adalah bentuk partnership dimana kedua belah pihak menyerahkan modal yang seimbang dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian yang terjadi.

    a. Pengakuan Investasi Musharaka

    a) Saat dimulainya kontrak

    Bagian Lembaga keuangan dalam modal Musharaka (uang atau sejenisnya) diakui pada saat penyerahan dilakukan kepada partnernya dan akan dicatat sebagai Musharaka financing with…(client name) dan dimasukkan dalam laporan keuangan di bawah judul “Musharaka financing”. Apabila modal yang diserahkan berupa trading assets atau non monetary assets, harus dinilai pada fair value asset tersebut (nilai yang disepakati kedua belah pihak) dan perbedaan fair value dengan carrying value yang terjadi dianggap sebagai profit/loss lembaga kuangan. Biaya yang timbul dalam pembuatan kontrak tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian sebelumnya.

    b) Pada akhir periode keuangan

    Nilai investasi Musharaka dinilai pada Historical Cost, yaitu nilai pada saat kontrak dibuat. Bagian lembaga keuangan dalam Musharaka yang berkurang nilainya harus dinilai pada akhir periode keuangan sebesar historical cost dikurangi bagian yang diserahkan kepada partnernya. Perbedaan antara nilai historical cost dan fair value diakui sebagi keuntungan/kerugian dalam lapran keuangan. Bila kontrak Musharaka selesai dan pihal lembaga keuangan belum menerima bagiannya, dianggap sebagai receivable due from partner.

    b. Pengakuan Profit and Losses

    Profit/loss yang terjadi sesuai bagian dalam transaksi keuangan Musharaka dalam periode keuangan tertentu akan diakui saat akhir tahun. Apabila kontrak dilakukan untuk lebih dari satu tahun, profit/loss harus diakui saat terjadinya.

    Apabila terjadi kerugian akibat kesalahan partner dalam Musharaka financing, loss ini akan dianggap sebagai receivable due from partner. Dan pada akhir kontrak, bagian yang belum diterima dari kontrak Musharaka dianggap sebagai piutang/receivable.

    3. Akuntansi Investasi Murabaha

    Yaitu jenis investasi dimana lembaga keuangan membeli asset dengan maksud untuk dijual kembali atau atas pesanan pembeli.

    a. Pengukuran nilai asset dalam Investasi Murabaha

    a) Saat asset diakuisisi

    Asset diukur dan dicatat pada historical cost pada saat diakuisisi

    b) Setelah akuisisi

    Asset available for sale yang dibeli berdasarkan pesanan dimana pemesan bersedia memenuhi kewajibannya, dinilai berdasarkan historical cost. Apabila nilai asset berkurang akibat kerusakan, pengurangan nilai ini dapat digambarkan dalam penilaian asset setiap akhir periode keuangan. Tetapi apabila pemesan barang tidak bersedia memenuhi kewajibannya, asset dinilai pada net realizable value.

    Dalam kasus dimana lembaga keuangan memberikan diskon kepada pembelinya dalam kontrak Murabaha, diskon ini akan dianggap sebagai pengurang nilai aktiva atau dianggap pendapatan dan diakui dalam laporan rugi laba bila disetujui board of Islamic bank.

    b. Murabaha Receivables

    Short Term maupun Long Term Murabaha receivables dicatat pada face value saat terjadinya. Receivables ini akan diukur pada akhir periode keuangan pada nilai cash equivalentnya, yaitu jumlah terhutang konsumen pada akhir periode keuangan dikurangi provision untuk doubtful debt.

    3. Profit Recognition

    Profit Murabaha diakui pada saat kontrak bila penjualan dilakukan secara kas atau secara kredit yang tidak melebihi periode saat ini. Profit yang diterima secara angsuran diakui melalui salah satu dari dua metode berikut :

    1). Alokasi profit secara proporsional selama masa kredit

    2). Dicatat pada saat angsuran diterima

    Deferred profit yang terjadi di-offset terhadap Murabaha receivables dalam statement of financial position.

    H. Perbandingan Akuntansi Investasi Syariah dan Konvensional

    Dari pembahasan sebelumnya mengenai jens-jenis investasi dalam akuntansi syariah, yaitu investasi Mudaraba, Musharaka dan Murabaha, terlihat adanya beberapa hal yang berbeda secara konseptual dengan akuntansi konvensional.

    Yang pertama adalah konsep investasi sendiri, dalam akuntansi syariah, pemberian pinjaman yang dalam akuntansi konvensional dianggap sebagai Receivable dimasukkan sebagai bentuk investasi dan atas pemberian pinjaman ini tidak dikenakan bunga. Jadi tidak ada interest on receivable. Pendapatan lembaga keuangan adalah melalui pembagian profit. Hal ini sesuai dengan ketentuan dilarangnya predetermined fixed rate yang dianggap merugikan peminjam dana. Penggolongan receivable ini sebagai jenis investasi terbukti dari tidak adanya tuntutan atas pelunasan dimasa depan, jadi bila peminjam dana tidak dapat melunasi pinjamannya akibat hal yang bukan kesalahannya, ia tidak akan dituntut untuk melunasi pinjamannya. Untuk lembaga keuangan yang memeberikan pinjaman, juga tidak akan mencatatnya sebagai bad debt tetapi sebagai rugi akibat investasi.

    Perbedaan lainnya dilihat dari konsep investasi adalah investasi ini tidak dinilai berdasarkan amortized cost ataupun fair value seperti halnya jenis investasi dalam akuntansi konvensional, investasi syariah dinilai berdasarkan historical costnya.

    Yang kedua adalah kejelasan kontrak. Setiap transaksi dalam investasi syariah; baik pencatatan investasi, profit, loss dan lainnya harus didasarkan pada kejadian yang sudah benar-benar terjadi. Selain itu untuk beberapa hal (contohnya kapitalisasi biaya) harus didasarkan pada perjanjian/kontrak yang jelas antara kedua belah pihak.

    I. Penutup

    Akuntansi Syariah didasarkan atas asas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada sistem kapitalisme. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.

    Beberapa perbedaan yang cukup mendasar adalah konsep pinjaman yang dianggap sebagai investasi, tidak diberlakukannya bunga dan sistem pembagian profit antara lembaga keuangan dengan pihak peminjam dana. Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.

    Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.

    Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial. Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini

    Nurrany Fatimah (063403131) said:
    Februari 24, 2009 pukul 4:11 pm

    SEJARAH AKUNTANSI PERKEMBANGAN SYARIAH

    Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam

    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.

    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam

    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

    Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah

    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi.

    Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam

    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi,pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis. Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:
    1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.
    2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).
    3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.
    4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing.Organization for Islamic Financial just Iflution (AAOIFI) menerbitkan sebuah standard akuntansi untuk lembaga keuangan syariah yang disebut, Accounting, Auditing, and Governance Standard for Islamic Institution.Mungkin secara teori akuntansi islam yang sekarang ini berkembang masih belum matang. Tetapi tugas kitalah, sebagai seorang akademisi akuntansi muslim untuk menyempurnakannya

    Sumber : himasi.blogspot.com
    http://akuntansiunhas.com/berita/sejarah-perkembangan-akuntansi-syariah.html

    DETI SUKMAWATI (063403115) said:
    Februari 24, 2009 pukul 4:28 pm

    Akuntansi Syariah (bukan) Sebuah Ulasan

    Diskusi multimateri terjadi pada Senin malam lalu (13/11). Diskusi yang menarik pembicaraan sisi teknis akuntansi syariah (yang meliputi non-Riba dan penggunaan metode cash basis) kembali pada perdebatan klasik mengenai ketangguhan rezim Eropa dan Islam. Dua klaim yang bertabrakan mengenai kepemilikan orisinal atas ilmu akuntansi mengawali pertarungan yang kemudian menjadi ideologis.
    Diskusi dan perdebatan dengan berbagai hal yang diikuti dengan kata “syariah” entah kenapa selalu nyaris terjadi dengan tensi yang tinggi. Kenapa? Jelas, karena konsep yang ditawarkan memang acapkali, sebagian atau keseluruhan, bertabrakan dengan konsep yang dijalankan oleh masyarakat banyak. Misalnya keraguan seorang kawan yang mendalami akuntansi ketika mengetahui cash basis digunakan oleh akuntansi syariah. Apakah relevansinya memadai dengan perkembangan akuntansi keuangan global?
    Keraguan seperti ini akan memaksa logika untuk mencoba angkat bicara. Kaum pendukung akuntansi syariah, misalnya, akan memeras otak untuk mencari landasan logis terhadap pilihan ideologis akuntansi syariah terhadap metode yang diaplikasikan. Pun para liberalis akan sepenuh tenaga mencari “kelemahan” dalam pilihan ideologis itu. Koridor pembicaraan teknis serta merta akan melebar menjadi filosofis agamis.
    Dalam keadan demikian, sekularitas, memang terlihat menonjol. Kesan yang muncul adalah fakta dan keyakinan harus diadu, dan apa yang paling mudah adalah menyerah kalah, sembari berkata “Kita dapat menggunakan konsep syariah jika disesuaikan dengan keadaan dan bertahap.” Penggunaan tahapan mungkin dapat dimaklumi. Merubah konsep yang mengakar selama puluhan tahun bahkan ratusan memang bukan simsalabim. Yang jadi masalah adalah bila terminologi penyesuaian diterjemahkan menjadi pengangkangan terhadap keyakinan. Penyesuaian-penyesuaian yang imitatif, dan secara substansial tak berbeda dengan metode konvensional berhaluan liberal.
    Inilah yang terjadi dalam pembuatan standar pelaksanaan akuntansi syariah. Secara kasat mata tak jauh berbeda dengan akuntansi konvensional. Jika pelaksanaannya tak banyak berbeda (yang membedakan hanya penampilan pegawai bank syariah dan konvensional misalnya), maka mimpi menegakkan syariah di Indonesia bagaikan membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Masihlah sebuah perjuangan dan perjalanan yang panjang.
    Lalu? Tak solusif memang bila tulisan singkat ini hanya bicara sana-sini. Karena memang tak ada objek konkret yang dapat dituju. Maka, membuka jalan perubahan dari diri sendiri adalah titik mulai yang tepat, dan diharapkan secara masif dapat berbuah kesadaran otentik murni terhadap pentingnya kajian metodis atas ke-syariah-an akuntansi.
    Toh, perubahan yang grasa-grusu memang bukan pilihan yang sangat bijak. Karena, gaya “asal ada dulu” tak pantas lagi didengungkan. Kita harus sudah berada pada tahapan matang dalam pelaksanaan akuntansi syariah. Untuk itulah, dalam hal ini, sekali lagi sekularitas tak dapat diterima. Perancangan standar, sebagai awal, tak dapat dilakukan oleh akuntan atau ahli agama. Yang dapat melakukannya dengan sangat baik adalah akuntan yang ahli agama.
    Tapi, jika memang akuntan seperti itu masih langka layaknya badak cula satu, maka yang paling mudah memang perubahan kecil oleh siapa saja melalui sarana diri sendiri. Sehingga, walaupun sistemnya sampah, secara substansial masyarakat dan praktisi dapat memulai sendiri ke-syariah-an walau tanpa embel-embel syariah yang biasanya menakutkan kalangan kiri-tengah.
    Bukankah Indonesia memang bukan negara agama? Jadi, ini bukan masalah siapa yang menggagas dan menolak embel-embel syariah. Bukan pula masalah kanan-kiri-tengah. Ini hanya sebuah upaya dialogis untuk mencari jawaban atas kebobrokan ekonomi negeri ini. Memang, Indonesia bukan negara agama, tetapi tak berarti pula Indonesia adalah negara tanpa agama bukan? Jika memang konsep syariah, sejujurnya, memiliki arahan substansial ke arah perbaikan, menghilangkan paranoia terhadap pembahasaan yang arabik bukan sebuah kemustahilan dan penting bagi peradaban bangsa kita

    Sumber: http://bobbysavero.blogspot.com/2008/05/akuntansi-syariah-bukan-sebuah-ulasan.html

    ana fitriana kelas A 063403035 said:
    Februari 24, 2009 pukul 4:34 pm

    http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-15335.html

    mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam

    Instrumen moneter bank syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base. Operasi pasar terbuka dapat juga dikendalikan melalui bentuk sekuritas berdasarkan ekuitas (equity based type of securities)
    Menurut Chapra mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam harus mencakup enam elemen yaitu:
    1. Target Pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun Bank Sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional.Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high powered money:uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo yang disediakan untuk bank-bank komersialterutama dalam bentu mudharabah harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai intrument kualitatif dan kuantitatif untuk mengendalikan kredit.
    2. Public Share of Demand Deposit (Uang giral). Dalam jumlah tertentu demand deposit bank-bank komersial (maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek sosial yang menguntungkan.
    3. Statutory Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki cadangan wajib dalam jumlah tertentu di Bank Sentral. Statutory reserve requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, Bank Sentral harus mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial ini.
    4. Credit Ceilings (Pembatasan Kredit). Kebijakan menetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan jaminan bahwa penciptaan kredit sesuai dengan target moneter dan menciptakan kompetisi yang sehat antar bank komersial.
    5. Alokasi Kredit Berdasarkan Nilai. Realisasi kredit harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Alokasi kredit mengarah pada optimisasi produksi dan distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit yang disepakati oleh pemerintah dan bank-bank komerisal untuk mengurangi risiko dan biaya yang harus ditanggung bank.
    6. Teknik Lain. Teknik kualitatif dan kuantitatif diatas harus dilengkapi dengan senjata-senjata lain

    untuk merealisasikan sasaran yang diperlukan termasuk diantranya moral suasion atau himbauan moral.
    Dari literatur perbankan Islam, beberapa alternatif instrument kebijakan moneter yang dapat dipakai bank sentral antaralain:
    1. Government Deposits, kewenangan bank sentral untuk memindahkan demand deposit pemerintah yang ada di bank sentral dari dan ke bank komersial untuk memberi dampak langsung pada cadangan bank-bank komersil
    2. Mengatur nilai tukar mata uang asing bersama-sama bank sentral dan bank komersil, persetujuan tukar menukar mata uang asing secara bersama-sama.
    3. Common Pool, langkah ini diambil atas dasar semangat kerjasama yang mensyaratkan bank-bank komersi untuk menyisihkan sebagian dari deposit dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk meringankan persoalan likuiditas yang dialami sesuatu bank.
    4. Equity-Base Instruments. Jual beli surat berharga, saham dan sertifikat bagi hasil berdasarkan penyertaan. Instrument ini dapat menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar
    5. Change In The Profit and Loss Sharing Ratio, Bank sentral mengeluarkan variasi rasio bagi hasil untuk aktivitas mudharabah untuk bank komersial dan untuk para deposan kepada wirausahawan.
    6. Refinance Ratio (Rasio pembiayaan kembali) menurut Dr. Siddiqi sebagai pesuatu pembiayaan yang diberikan bank sentral kepada bank komersial sebagai bagian dari qordhul hasan yang diberikan oleh mereka.
    7. Lending ratio. Rasio pemberian pinjaman merupakan persentase uang giral yang dapat dipinjamkan oleh bank sentral sebagai bagian dari qordhul hasan yang diberikan oleh mereka bagi nasabah mereka .
    Saat ini terdapat beberapa bank sentral, baik yang menggunakan single banking (bank Islam saja) maupun dual banking system yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian moneter ataupun menggunakan surat berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah. Prinsip transaksi syariah yang digunakan antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
    1. Prinsip Wadiah Digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Malaysia berupa Wadiah Interbank Acceptance (WIA).
    2. Prinsip Musharakah Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal sebagai Government Musharakah Certificate (GMC) dan Central Bank Musharakah Certificate (CMC).
    3. Prinsip Mudharabah Negara yang menggunakan Republik Iran dikenal dengan National Participation Paper (NPP), Bank Negara Malaysia Mudharabah Money Market Operations
    4. Prinsip Al Ijarah Instrumen pengendalian moneter yang digunakan antara lain Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain. Surat berharga yang berbasis Sukuk Al Ijarah di Malaysia (Bank Negara Negotiable Notes)

    Islam tidak mengakui adanya instrumen suku bunga karena jelas dalam Alqur’an riba itu sangat dilarang atau haram. Hikmah pelarangan riba agar terjadi hubungan partnership antara pemilik modal dan usaha secara adil.
    Sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base, equity based type of securities.masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang sesuai dengan prinsip transaksi syariah antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
    Kebijakan moneter yang dikelola dengan baik akan menghasilkan tingkat perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara. .

    DAFTAR PUSTAKA
    1. Al-Qur’an
    2. Masyhuri, 2005, Teori Ekonomi Dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta
    3. Mustafa Edwin Nasution, dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana, Jakarta
    4. Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, terjemahan, 1991, Ekonomi edisi 12, Erlangga, Jakarta
    5. Uang dalam Ekonomi Islam Oleh: Hylmun Izhar http://www.djpkpd.go.id/enug/artikel.php?id=40
    6. Kajian Pengembangan Instrumen OPT Dalam Rangka Pelaksanaan Pengendalian Moneter Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006
    7. Reserve Requirement bagi Perbankan Syariah (Sebuah Kajian Konseptual) Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, November 2001.
    8. Rafa Consulting – Direktorat Perbankan Syatiah Bank Indonsia. Pelatihan Dasar Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006
    9. DR. Umer Chapra The Future of Economics: an Islamic Perspective. Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Penerbit SEBI, 2001.
    10. Dr. Umer Chapra, AL Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil. Penrbit Dana Bhakti Prima Yasa, Yokyakarta 1997.
    11. Drs. Muhammad M.Ag. Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami, Penrbit Salemba Empat, Jakarta 2002.
    12. Dr. Yusuf Al Qardhawi. Hikmah Pelarangan Riba, Penerbit Akbar Media Eka Sarana, Jakarta 2002.
    ________________________________________
    vBulletin® v3.8.1, Copyright ©2000-2009, Jelsoft Enterprises Ltd.

    Wahyu Vista Agnessia 063403105 Akuntansi A said:
    Februari 24, 2009 pukul 4:57 pm

    AKUNTANSI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
    Akuntansi pada awalnya muncul sebagai pertanggungjawaban terhadap publik yang memilki keterkaitan terhadap informasi yang di sampaikan oleh si sipembuat akuntansi tersebut, sehingga pada tahun 1970 akuntansi sebagai ilmu yang pengetahuan yang bebas dari nila(value-free) sudah tidak semunya relepan dan pada saat era globalisasi yang akan membawa masyarakat pada apa yang terjadi akibat perubahan yang global pada seluruh tatanan masyarakat. Sehinggga boleh dikatakan bahwa informasi di era globalisasi khususnya dalam bidang akuntansi melakukan harmnisasi praktik-praktik akuntansi Jika kita lihat lihat dari pengertian di atas dan kita mencoba untuk berpikir ulang tentang akuntansi dalam prespektif tradisional dimana akuntansi sebagai satu serangkaian prosedur rasional yang di gunakan untuk pengambilan keputusan dan pengendalian yang rasional (makalah:iwan triyuwono) jika demikian akuntansi dianggap sebagai tehnologi yang berwujud dan bebas dari nilai masyarakat di tempat akuntansi di terapkan seharusnya dapat dipengaruhi oleh masyarakat jika akuntansi dianggap sebagai ilmu, sehingga akuntansi di bentuk oleh kultur masyarakat dan sistem nilai sosial atau lebih jauh pada kepedulian moral. (lengkapnya di Iwan Triyuwono,2000)
    Kecenderungan dan pergeseran masyarakat juga berlangsung dalam dunia ilmiah, sehingga kajian tentang upaya membumikan (mengartikan )Al-Qur’an dalam kehidupan kita sering kita lihat dalam penomena sekarang. Dengan kata lain seluruh kajian syariah dalam bidang kehidupan dan ilmu mulai berlangsung, tidak terkecuali bidang akuntansi karena ilmu di pandang memiliki sifat yang di namis dan selalu berkembang mengikuti tuntutan jaman. Lebih lagi akuntansi syariah ada kaitannya dengan sebuah idiologi dan yang menjadi daya tarik untuk di bahasnya akuntansi syariah adalah Pertama,akuntansi selama ini di kenal sebagai alat komunikasi atau seiring dengan bahasa bisnis kaitannya munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah. Kedua, Akuntansi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana akuntansi di pergunakan dan di kembangkan. Ketiga, akuntansi memilki peran yang sangat strategis, karena apa yang dihasilkannya, bisa menjadi sumber atau dasar legitimasi sebuah keputusan penting dan menentukan.lain. Menurut Sofyan Syafri harahap (1997) pendorong munculnya akuntansi syariah adalah a). meningkatnya religiusitas masyarakat. b). meningkatnya pada tuntunan etika dan tanggungjawab sosial. c). lambannya penanganan oleh akuntansi konvensional mengenai keadilan , kebenaran dan kejujuran . d). kebangkitan akan umat islam khususnya para kaum terpelajar untuk berupaya mendekontruksi akan akuntansi kapitalisme barat. e). perkembangan atau anatomi akan akuntansi itu sendiri. f). kebutuhan akan akuntansi bisnis syariah seperti :Bank Islam, Asuransi Islam, Pasar Modal, Trading. g). kebutuhan akan norma perhitungan Zakat dengan menggunakan norma akuntansi yang sudah mapan. h). kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban dan pengawasan harta ummat manusia.
    Belajar dari kasus di atas maka akuntansipun harus merubah bentuk atau melakukan introveksi diri kalau akuntansi yang sekarang ( konvensional) tidak ingin di tinggalkan oleh penggunanya sehingga akuntansi harus merubah orientasi dan fungsinya. Fungsi akuntansi yang selama ini adalah” decision makin facilitating fangcion” kearah lain yang bermanfaat . sehingga muncullah fungsi Accauntability yang benar walaupun itu telah ada sejak lahirnya akuntansi. Sehingga akuntansi yang ada (konvensional) harus di sempurnakan dengan menambah media yang yang saat ini banyak ditinggal oleh penguna informasi tersebut
    1. Penilaian terhadap efisiensi manajemen dalam bentuk alokasi dan pengunaan dana pada setiap sub bidang kegiatan melalu kontrol yang baik
    2. Pengungkapan terhadap keuntungan manajemen dimana yang paling relefan keuntungan harus di perhitungkan dengan pengalokasian terlebih dahulu atas zakat penghasilan
    3. Penjelasan mengenai budget atau rencana kerja yang relevan tidak meng mark-up anggaran guna kepentingan individu dan kelompok tertentu saja tetapi di sesuaikan dengan harga dan nilai inflasi pada saat tertentu .
    4. Akuntansi harus menyajikan informasi yang relefan tidak hannya informasi kuantitatif tetapi juga kualitatif.
    Asumsi lain dari itu adalah akuntansi syariah kecendrungannya kembali “back to nature” atau back to basik, kemballi keawal sejarahnya akuntansi yaitu untuk pertanggungjawaban sebagai mana di terangkan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 dan ayat tersebut menurut Prof. DR Hamka. Menunjukan dalam tafsir Azhar Zuz 3dalam bukunya Sofyan safri Harahap yang berkaitan dengan akuntansi: “Perhatikanlah tujuan ayat !,yaitu kepada sekalian orang yang beriman kepada Allah supaya utang piutang di tulis, itulah yang diberbuat sesuatu pekerjaan karena Allah,karena perintah Allah dilaksanakan ,sebab itu tidaklah layak karena berbaik hati pada kedua belah pihak lalu berkata tidak perlu di tuliskan karena kita sudah percaya mempercayai padahal umur kedua belah pihak sama-sama di tangan Allah. Si pulan mati dalam berutang, tempat utang menagih pada warisnya yang tinggal.Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada surat perjanjian. ”
    Jelaslah bahwa wajibnya untuk memelihara tulisan dari hasil transaksi muamalah. Karena akuntansi tujuannya pencatatan sebagai pertanggungjawaban atau bukti transaksi atau penentuan pendapatan (income determination). Informasi yang di gunakan dalam proses pengambilam keputusan, dan sebagai alat penyaksian yang akan di pergunakan di kemudian hari dan pendapat lain tentang makna Al-Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 282 yang harus kita ambil pelajarannya yaitu:
    1. Islam menekankan pertanggungjawaban suatu transaksi secara benar.
    2. Setiap transaksi harus di dukung dengan bukti.
    3. Pentingnya Internal Control
    4. Tujuan adanya pencatatan akuntansi tersebut adalah agar tercipta suatu keadailan terhadap pihak-pihak tertentu.
    5. Dengan diwajibkanya setiap muslim untuk membayar zakat berarti di butuhkan akuntansi agar perhitungan zakat tepat dan benar.
    6. Islam sangat menekankan agar amal yang kita lakukan selalu baik dan profesional termasuk dalam hal akuntansi.
    Melihat semacam itu usaha untuk mencari bentuk akuntansi syariah yang berwajah baru dengan prinsip Subtence Over Form, Reability, Objektivity time lines merupakan sebuah upaya yang akan terwujud menjadikan akuntansi lebih humanis dan syarat dengan nilai sehingga Akuntansi Syariah merupakan salah satu upaya mendekontruksi akuntansi moderen kedalam bentuk yang humanis dan syarat nilai. Akuntansi syariah dalam masyarakat yang sedang berubah tidak hanya sarat nilai dan humanis lebih menekan kan pada aspek keadilan dan kebenaran yang terkait dengan pertanggungjawaban (Muhammad Khar) lain lagi dengan Muhammad Akram Khan dia menyoroti akuntansi islam itu menghitung laba rugi yang tepat dan mendorong dalam mengikuti Syariat Islam, menilai efisiensi manajemen melaporkan dengan baik.
    Sementara itu akuntansi syariah tidak hannya pada dataran normatif (filosofis) yang yang berguna untuk memberikan arah bagaimana akuntansi syariah bisa di kontruksi bukan berarti bahwa akuntansi syariah di peroleh dengan pendekatan deduktif ( deduktif approach), pendekatan induktif ( inductive approach), pendekatan etika (etikal approach ), pendekatanm sosiologis (sociological approach), pendekatan ekonomi (econimic approach). Tetapi batasan akuntansi syariah tersebut yang tegas (borderless). Bahkan akuntansi syariah menggunakan Religi (kitab suci) salah satu sumber untuk mengkontruksi bangunannya secara otomatis akuntansi syariah di bentuk oleh lingkungan nya tetapi juga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, bahkan menurut Iwan Triyuwono mengatakan lebih jelas bahwa akuntansi merupakan “anak” budaya setempat bila kita perhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam dan masyarakat barat terdapat perbedaan yang sangat besar, didalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, itu semua tidak ditemukan dalam masyarakat barat.
    Menurut T.E Gambling dan R.A.A. Karim (1996) mengemukakan bahwa menurut teori Colonial Model, masyarakat Islam akan menghasilkan sistem ekonomi islam dan akuntansi Islam sehingga akuntansi dipandang sebagai alat untuk mempertahankan dan mengesahkan susunan sosial, ekonomi dan politik masa kini, (di pandang sebagai ideologi) dan akuntansi dipandang juga sebagai sebagai mitos yang memungkinkan penciptaan aturan simbolis yang didalamnya terdapat muatan untuk berinteraksi dengan masyarakat, sehingga tujuan akuntansi Syariah terbentuk peradaban bisnis yang memeilki wawasan yang humanis, dan bersandarkan akan ideologi refleksinya realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada aturan Allah. SWT.
    Oleh :
    Sifa Masturi, SE
    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

    Yayu Trianti,, kelas A,, 063403082 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:09 pm

    Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvensional.

    TITIN (063403251) KLS B said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:16 pm

    Ancaman di Balik Beleid Baru
    Hendra Gunawan, Eko Zulham, Syarif Hidayat, dan Restu Wijaya

    PERBANKAN syariah bakal memasuki babak baru. Mulai 1 Januari 2008, mereka harus menerapkan Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) dalam setiap transaksi bisnisnya. Regulasi itu meliputi penyajian laporan keuangan syariah, akuntansi murabahah (jual-beli), akuntansi saham, akuntansi isthisna, mudarabah (bagi hasil), dan PSAK tentang akuntansi musyarakah (kemitraan).
    Dari 6 aturan itu, PSAK No. 102 (tentang akuntansi murabahah atau jual beli) dianggap paling krusial. Ahmad Riawan Amin, Dirut Bank Muamalat, mengungkapkan, regulasi tersebut mewajibkan pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar. Akibatnya, bank syariah dapat di-anggap sebagai perusahaan perdagangan dan bukan bank. Sehingga, institusi ini akan terkena pajak berganda.
    Ancaman pajak berganda ini sesungguhnya masalah lama. Makanya, jika dalam regulasi baru masih mencantumkannya, bisnis syariah bisa mengalami lesu darah. Maklum, mayoritas aliran dana bank-bank syariah kepada debitor menggunakan akad murabahah. Berdasarkan data Bank Indonesia sampai 31 Oktober 2007, pembiayaan murabahah mencapai Rp 15,6 triliun. Angka tersebut mencerminkan 59,95% dari total pembiayaan bank syariah yang senilai Rp 26,1 triliun.
    Adiwarman Karim, pengamat perbankan syariah, mengatakan, PSAK baru ini mengacu kepada PBI No. 5/7/2003 tentang kualitas aktiva produktif bank syariah dan PAPSI tahun 2003. Akibatnya, bank syariah diposisikan sebagai penjual atau penyewa. Jadi bukan sebagai penyedia uang atau tagihan. Menurut Adiwarman, regulasi ini bisa berdampak buruk. Pertama, pembiayaan bank syariah akan melambat sehingga rasio kredit bermasalahnya melonjak. Kedua, target pangsa pasar 5% dari bank konvensional tahun 2008 tidak akan tercapai.
    Beny Witjaksono, Dirut Bank Mega Syariah, menambahkan, jika aturan tersebut dipaksakan, bank syariah akan sulit bersaing dengan bank-bank konvensional. ”Bagi hasil ke nasabah bisa lebih kecil. Kalau sudah begitu, bagaimana kami bisa kompetitif,” tambahnya. Beny menambahkan, PSAK memang penting. Namun, sebaiknya, regulator juga memahami kondisi bank syariah yang masih compang-camping. Tapi, M. Yusuf Wibisana, Ketua Komite Akuntansi Syariah Dewan Standar Akuntansi Keuangan (KAS DSAK), bilang, regulasi itu telah disusun berdasarkan Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia. Selain itu, juga mengacu pada fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).
    Cuma, yang agak mengherankan, jika PAPSI (yang disusun BI tahun 2003) yang dijadikan rujukan, mestinya kontroversi pajak berganda tersebut tak akan muncul. Sebab, pada aturan itu, bank syariah yang melakukan transaksi murabahah dimungkinkan langsung mencatatnya sebagai piutang.
    Syukurlah, Bank Indonesia tidak tinggal diam melihat polemik itu. Agar tidak simpang siur, Ramzi A. Zuhdi, Direktur Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, mengatakan, lembaganya akan membuat surat edaran mengenai pedoman pelaksanaan PSAK dimaksud. Hanya saja, Ramzi mengaku, belum tahu-menahu akan seperti apa isi surat edaran itu kelak. ”Kami masih mencari. Tapi, sebelum akhir 2008 sudah bisa diedarkan,” janjinya.
    Hanawijaya, Direktur Bank Syariah Mandiri, punya pendapat lain. Ia menilai, regulasi yang disusun Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) sudah benar. Sebab, penyusunan SAK tersebut didasarkan pada prinsip fiqh murabah. Menurut dia, yang perlu diubah justru regulasi perpajakan.
    Jadi, pemerintah harus menetapkan pembiayaan murabahah tidak sebagai transaksi jual beli, melainkan sebagai transaksi intermediasi perbankan. Dengan begitu pembiayaan murabahah hanya dikenakan PPN satu kali. Makanya, polemik pajak murabahah ini hanya bisa diselesaikan dengan mengamendemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
    Untuk mengatasi masalah ini, Adiwarman punya solusi. Pertama, IAI dan BI kembali merumuskan regulasi yang sesuai dengan kondisi bank syariah. Kedua, perbankan syariah harus meminta Ditjen Pajak untuk membebaskan pajak ganda tersebut. Ketiga, bank syariah lebih memperbanyak mudarabah dan musyarakah dalam hal pembiayaannya. ”Jika tiga opsi itu tidak dilakukan, bank syariah sulit berkembang,” ujarnya.
    PROSPEK MASIH CERAH
    Ketika Bank Muamalat lahir tahun 1992, bisnis keuangan syariah tidak memiliki PSAK khusus. Kelahiran akuntansi syariah di Indonesia diawali oleh PSAK 59, yang berlaku mulai 1 Januari 2003. Riawan menuturkan, di awal berdirinya, Bank Muamalat menggunakan metode cash basis. Metode itu diadopsi dari prosedur pembukuan Bank Islam Malaysia Berhad. Dan metode ini diterapkan oleh hampir seluruh bank Islam di dunia.
    Ada yang khas dari aturan itu. Setiap akhir bulan dan akhir tahun, angka-angka yang muncul pada pembukuan merupakan pendapatan riil yang diterima bank. Bukan angka yang belum diterima secara nyata, tapi masih akan ditagihkan pada bulan berikutnya (accrued income). Dalam metode pembukuan cash basis ini, angka rugi-laba tutup buku akhir bulan dari bank syariah akan sangat berfluktuasi.
    Tapi begitu PSAK 59 diterapkan, metode cash basis tadi ditinggalkan. Muncullah sistem accrual basis. Menurut Riawan, dengan cash basis, Bank Muamalat berada di luar jangkauan para pemikir akuntansi konvensional. Tapi begitu accrual basis diterapkan, setiap orang selalu ingin ikut campur. ”Akibat sistem itu (accrual basis) pembukuan kami menjadi kacau, termasuk munculnya pajak berganda itu,” imbuhnya.
    Kendati problem murabahah cukup mendasar, Riawan tetap menilai positif munculnya PSAK terbaru tersebut. Ismi Kushartanto, Pemimpin Divisi Syariah BNI, mengatakan, standardisasi itu akan memberikan banyak manfaat bagi bank syariah. Karena metodenya seragam, bank syariah akan lebih mudah diperbandingkan satu dengan yang lain. Itu sebabnya, para bankir itu berharap regulasi yang ada bisa mendorong pertumbuhan syariah bisa lebih baik. Apalagi, potensi pasarnya masih cukup luas.
    Beny Witjaksono optimistis, pertumbuhan aset perbankan syariah bisa mencapai 100% tahun depan. Syaratnya, pertama, Bank Indonesia benar-benar merealisasikan rencananya untuk menerbitkan SBI Syariah. Dengan imbal hasil yang sama dengan SBI konvensional, instrumen ini akan menjadi alternatif bagi bank-bank syariah untuk menyimpan dananya.
    Kedua, penerbitan sukuk tidak tertunda lagi. Apabila dua instrumen itu ada, bank syariah akan lebih berani menjaring dana masyarakat. Selama ini, kata Beny, banyak bank mengerem laju pertumbuhan dana pihak ketiga karena aset yang dibiayai terbatas.
    Pertumbuhan aset perbankan syariah juga akan ditopang munculnya bank-bank baru. Salah satunya adalah Bank Umum Syariah BRI. Kehadiran bank hasil spin off unit usaha syariah BRI itu diyakini akan memberi kontribusi besar terhadap perkembangan bank syariah.
    Sampai Oktober silam, kinerja perbankan syariah tidak terlalu jelek. Asetnya tumbuh 23% ketimbang akhir 2006. Adapun pembiayaan dan dana pihak ketiga naik, masing-masing 27% dan 23%. Dengan pertumbuhan seperti itu, peruntungan bank-bank syariah melonjak 64% menjadi Rp 629 miliar.
    Siti Fadjrijah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan, perkembangan bank syariah sangat tergantung para pelakunya. Setiap bank, kata dia, harus menentukan target pasarnya. Dengan begitu, strategi promosi yang dikembangkan tepat. Contohnya, ketika menjaring komunitas non muslim sebaiknya tidak menggunakan ayat-ayat. Bawa produknya dan jelaskan keuntungannya seperti apa. ”Kecuali kalau ke Pak Haji atau Bu Haji yang ada di pondok pesantren, silakan bawa ayat-ayat,” katanya.

    http://www.majalahtrust.com/ekonomi/keuangan/1609.php

    AJIE.SETIAJIE said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:22 pm

    Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
    Sabtu, 31 Januari 2009 07:29 Baso Amir
    Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam

    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.

    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
    Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

    Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah
    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi

    Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam
    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis. Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:

    1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.

    2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).

    3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.

    4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing

    Organization for Islamic Financial just Iflution (AAOIFI) menerbitkan sebuah standard akuntansi untuk lembaga keuangan syariah yang disebut, Accounting, Auditing, and Governance Standard for Islamic Institution.Mungkin secara teori akuntansi islam yang sekarang ini berkembang masih belum matang. Tetapi tugas kitalah, sebagai seorang akademisi akuntansi muslim untuk menyempurnakannya

    Sumber : himasi.blogspot.com

    IRMA HERLIANY 063403057 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:23 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Penulis : M. Aqim Adlan
    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.
    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.
    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.
    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.
    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free) Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya
    dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik.
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    ana fitriana kelas A 063403035 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:31 pm

    http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-15335.html

    mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam

    Instrumen moneter bank syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base. Operasi pasar terbuka dapat juga dikendalikan melalui bentuk sekuritas berdasarkan ekuitas (equity based type of securities)
    Menurut Chapra mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam harus mencakup enam elemen yaitu:
    1. Target Pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun Bank Sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional.Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high powered money:uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo yang disediakan untuk bank-bank komersialterutama dalam bentu mudharabah harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai intrument kualitatif dan kuantitatif untuk mengendalikan kredit.
    2. Public Share of Demand Deposit (Uang giral). Dalam jumlah tertentu demand deposit bank-bank komersial (maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek sosial yang menguntungkan.
    3. Statutory Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki cadangan wajib dalam jumlah tertentu di Bank Sentral. Statutory reserve requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, Bank Sentral harus mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial ini.
    4. Credit Ceilings (Pembatasan Kredit). Kebijakan menetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan jaminan bahwa penciptaan kredit sesuai dengan target moneter dan menciptakan kompetisi yang sehat antar bank komersial.
    5. Alokasi Kredit Berdasarkan Nilai. Realisasi kredit harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Alokasi kredit mengarah pada optimisasi produksi dan distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit yang disepakati oleh pemerintah dan bank-bank komerisal untuk mengurangi risiko dan biaya yang harus ditanggung bank.
    6. Teknik Lain. Teknik kualitatif dan kuantitatif diatas harus dilengkapi dengan senjata-senjata lain

    untuk merealisasikan sasaran yang diperlukan termasuk diantranya moral suasion atau himbauan moral.
    Dari literatur perbankan Islam, beberapa alternatif instrument kebijakan moneter yang dapat dipakai bank sentral antaralain:
    1. Government Deposits, kewenangan bank sentral untuk memindahkan demand deposit pemerintah yang ada di bank sentral dari dan ke bank komersial untuk memberi dampak langsung pada cadangan bank-bank komersil
    2. Mengatur nilai tukar mata uang asing bersama-sama bank sentral dan bank komersil, persetujuan tukar menukar mata uang asing secara bersama-sama.
    3. Common Pool, langkah ini diambil atas dasar semangat kerjasama yang mensyaratkan bank-bank komersi untuk menyisihkan sebagian dari deposit dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk meringankan persoalan likuiditas yang dialami sesuatu bank.
    4. Equity-Base Instruments. Jual beli surat berharga, saham dan sertifikat bagi hasil berdasarkan penyertaan. Instrument ini dapat menggantikan obligasi pemerintah dalam operasi pasar
    5. Change In The Profit and Loss Sharing Ratio, Bank sentral mengeluarkan variasi rasio bagi hasil untuk aktivitas mudharabah untuk bank komersial dan untuk para deposan kepada wirausahawan.
    6. Refinance Ratio (Rasio pembiayaan kembali) menurut Dr. Siddiqi sebagai pesuatu pembiayaan yang diberikan bank sentral kepada bank komersial sebagai bagian dari qordhul hasan yang diberikan oleh mereka.
    7. Lending ratio. Rasio pemberian pinjaman merupakan persentase uang giral yang dapat dipinjamkan oleh bank sentral sebagai bagian dari qordhul hasan yang diberikan oleh mereka bagi nasabah mereka .
    Saat ini terdapat beberapa bank sentral, baik yang menggunakan single banking (bank Islam saja) maupun dual banking system yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian moneter ataupun menggunakan surat berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah. Prinsip transaksi syariah yang digunakan antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
    1. Prinsip Wadiah Digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Malaysia berupa Wadiah Interbank Acceptance (WIA).
    2. Prinsip Musharakah Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal sebagai Government Musharakah Certificate (GMC) dan Central Bank Musharakah Certificate (CMC).
    3. Prinsip Mudharabah Negara yang menggunakan Republik Iran dikenal dengan National Participation Paper (NPP), Bank Negara Malaysia Mudharabah Money Market Operations
    4. Prinsip Al Ijarah Instrumen pengendalian moneter yang digunakan antara lain Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain. Surat berharga yang berbasis Sukuk Al Ijarah di Malaysia (Bank Negara Negotiable Notes)

    Islam tidak mengakui adanya instrumen suku bunga karena jelas dalam Alqur’an riba itu sangat dilarang atau haram. Hikmah pelarangan riba agar terjadi hubungan partnership antara pemilik modal dan usaha secara adil.
    Sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base, equity based type of securities.masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang sesuai dengan prinsip transaksi syariah antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
    Kebijakan moneter yang dikelola dengan baik akan menghasilkan tingkat perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara. .

    DAFTAR PUSTAKA
    1. Al-Qur’an
    2. Masyhuri, 2005, Teori Ekonomi Dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta
    3. Mustafa Edwin Nasution, dkk, 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana, Jakarta
    4. Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, terjemahan, 1991, Ekonomi edisi 12, Erlangga, Jakarta
    5. Uang dalam Ekonomi Islam Oleh: Hylmun Izhar http://www.djpkpd.go.id/enug/artikel.php?id=40
    6. Kajian Pengembangan Instrumen OPT Dalam Rangka Pelaksanaan Pengendalian Moneter Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006
    7. Reserve Requirement bagi Perbankan Syariah (Sebuah Kajian Konseptual) Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, November 2001.
    8. Rafa Consulting – Direktorat Perbankan Syatiah Bank Indonsia. Pelatihan Dasar Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006
    9. DR. Umer Chapra The Future of Economics: an Islamic Perspective. Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Penerbit SEBI, 2001.
    10. Dr. Umer Chapra, AL Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil. Penrbit Dana Bhakti Prima Yasa, Yokyakarta 1997.
    11. Drs. Muhammad M.Ag. Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami, Penrbit Salemba Empat, Jakarta 2002.
    12. Dr. Yusuf Al Qardhawi. Hikmah Pelarangan Riba, Penerbit Akbar Media Eka Sarana, Jakarta 2002.

    vBulletin® v3.8.1, Copyright ©2000-2009, Jelsoft Enterprises Ltd.

    ITA PUSPITA SARI 063403005 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:34 pm

    AKUNTANSI SYARIAH

    1. PENDAHULUAN
    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006). Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula.
    2. AKUNTANSI SYARIAH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
    2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi syariah pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syariah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syariah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
    2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut akuntansi syariah aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
    2.3. Komparasi Antara Akuntansi Syariah Aliran Idealis dan Pragmatis
    Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

    SELFIA KADARWATI,, kelas A,, 063403010 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:35 pm

    Isu – Isu Kontemporer Akuntansi Syariah
    Latar Belakang
    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam
    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.
    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem AkuntansiSyari’ah.
    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.
    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:
    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.
    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.
    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.
    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu.
    Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.
    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.
    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:
    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.
    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah
    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.
    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.
    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.
    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    INDAH FAJARWATI (063403181) KLS B said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:35 pm

    AKUNTANSI SYARIAH
    Oleh : Merza Gamal

    27-Mar-2007, 20:00:55 WIB – [www.kabarindonesia.com]
    KabarIndonesia – Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata “Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    http://my.opera.com/cakmun/blog/2008/07/13/sejarah-akuntansi-syariah

    Santi Sugianti 063403094 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:51 pm

    1. Miskonsepsi Paradigma Transaksi Syariah dalam Akuntansi Syariah
    Terdapat miskonsepsi antara Paradigma, Asas dan Karakteristik Transaksi Syariah (Kaidah 1) dengan Tujuan Laporan Keuangan, Asumsi Dasar dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan (Kaidah 2). Kaidah 1 mengatur fungsi transaksi yang dilakukan entitas syariah. Kaidah 2 mengatur fungsi pencatatan dan penyampaian informasi yang dilakukan entitas syari’ah. Perbedaan fungsi Kaidah 1 dan Kaidah 2 merupakan kriteria yang sangat mendasar. Kaidah 1 memang dapat berpengaruh terhadap kaidah 2 , berkaitan apa yang akan dicatat dan diinformasikan dalam laporan keuangan. Tetapi fungsi kaidah 2 sebenarnya tidak hanya melakukan pencatatan dan penginformasian transaksional saja. Kaidah 2 di samping mencatat fungsi transaksi, juga mencatat kejadian atau aktivitas ekonomi yang tidak dan belum melibatkan transaksi yang dicantumkan dalam Kaidah 1. Kejadian ekonomi berhubungan dengan:
    a. Aset dan Kewajiban
    b. Pendapatan
    c. Biaya.
    d. Eksternalitas yang berhubungan aktivitas sosial dan lingkungan
    e. Kejadian yang berhubungan aktivitas non-ekonomi lainnya
    2. Tujuan, Asumsi Dasar, Unsur, Pengakuan dan Pengukuran Laporan Keuangan
    ED akuntansi syariah hanya memusatkan pada dua hal yang utama, yaitu informasi ekonomi dan sosial. Informasi ekonomi masih menekankan pada pentingnya bottom line laba yang tidak sesuai dengan paradigma transaksi syariah. Informasi sosial hanya berhubungan dengan bentuk qardhul hasan dan pengelolaan zakat. Dalam paradigma transaksi syari’ah paragraf 12, 13, 14 memuat beberapa prinsip utama:
    a. Akuntabilitas
    b. Perangkat Syari’ah dan Akhlak sebagai prinsip dari asas transaksi syariah (paragraf 15 -26) dan karakteristik transaksi syariah (paragraf 27-29) hanya nampak dalam tujuan laporan keuangan tetapi tidak nampak secara utuh dan menyeluruh (kecuali dalam beberapa poin) dalam asumsi dasar, karakteristik, unsur dan pengakuan laporan keuangan.
    b.1. Asumsi dasar laporan keuangan akuntansi syariah masih menetapkan kelangsungan usaha dan sistem akrual (paragraf 41 dan 43). Dua asumsi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan akhlak syariah bahkan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah. Asumsi kelangsungan usaha memang memiliki pendekatan akuntabilitas berbasis entity theory yang mementingkan pemilik modal dan investor saja (lihat point 2.i.a.). Sedangkan dalam asumsi dasar akrual tidak sepenuhnya dapat digunakan secara langsung. Seperti diketahui bahwa prinsip akrual melakukan pencatatan fakta (merekam arus kas masa kini), potensi (merekam arus kas masa depan) dan konsekuensi (merekam arus kas masa lalu). Khusus mengenai pencatatan potensi menggunakan prinsip present value yang sarat dengan penghitungan bernuansa riba dan gharar.
    b.2. Unsur laporan keuangan akuntansi syariah terutama laba masih menggunakan konsep income yang memang merupakan konsekuensi digunakannya entity theory. Tidak menyesuaikan konsep income berdasar pada shari’ate enterprise theory yang menggunakan konsep nilai tambah yang sesuai prinsip transaksi syariah.
    b.3. Pengakuan unsur-unsur dalam laporan keuangan akuntansi syariah masih didasarkan pada prinsip akuntansi konvensional (paragraf 110). Proses pengakuan seperti ini akan berdampak pada hilangnya paradigma transaksi syariah dan akhlak (seperti tidak mengandung unsur riba, haram, gharar, dan prinsip syariah lainnya.
    4. Saran-saran Perbaikan ED Akuntansi Syariah
    Perlu dilakukan perubahan dan perbaikan mengenai beberapa hal agar terdapat konsistensi dengan paradigma syariah. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan:
    a. Perubahan Paradigma Transaksi Syariah
    Agar paradigma transaksi syariah dapat memayungi seluruh kejadian dan aktivitas yang berhubungan dengan pencatatan akuntansi bagi entitas syariah diperlukan perubahan dari Paradigma Transaksi Syariah menjadi Paradigma Transaksi dan Kejadian Ekonomi Syariah. Perubahan ini akan memberi tuntunan yang lebih pasti terhadap ketentuan-ketentuan pencatatan sampai penyampaian informasi akuntansi yang menyeluruh baik mengenai transaksi maupun kejadian ekonomi lain dalam entitas bisnis.
    b. Perubahan Asumsi Dasar Akuntansi Syariah
    Asumsi dasar akrual seharusnya dirubah menjadi Sinergi Akrual dan Cash Basis. Khusus akrual diperlukan penjelasan lebih detil khusus pencatatan potensi untuk menghindari terjadinya transaksi dan kejadian ekonomi lainnya yang bertentangan paradigma transaksi dan kejadian ekonomi syariah. Sedangkan asumsi dasar kelangsungan usaha dirubah menjadi asumsi dasar kerjasama usaha yang berbasis pada shariate enterprise theory. Asumsi dasar kerjasama usaha mengakui bahwa akuntabilitas bukan hanya pada kepentingan pemilik modal dan investor saja, tetapi akuntabilitas yang lebih luas. Akuntabilitas pada partisipan langsung (pemegang saham, karyawan, pemerintah, kreditor, pemasok, pelanggan dan lainnya) tidak langsung (mustahiq, lingkungan alam) serta dilakukan dalam rangka ketundukan (pertanggungjawaban kepada Allah/abd’Allah) dan kreativitas (pertanggungjawaban kepada manusia, sosial dan alam/khalifatullah fil ardh).
    c. Perubahan Unsur Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
    Perubahan asumsi dasar akan berdampak pada unsur laporan keuangan, terutama pada unsur laba (income). Perubahan laba dari laba akuntansi menjadi nilai tambah syari’ah harus selalu bernilai suci (tazkiyah) mulai dari proses pembentukan sumber, proses, sampai distribusinya. Semua harus jelas pengakuan dan pengukurannya yang sesuai syariah. Artinya, unsur atau elemen laba dirubah menjadi elemen nilai tambah syariah.
    e. Perubahan Bentuk Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
    Berdasarkan pada perubahan-perubahan poin a-e, maka bentuk laporan keuangan yang diperlukan perubahannya adalah:
    e.1. Laporan Laba Rugi dirubah menjadi Laporan Nilai Tambah Syariah
    e.2. Neraca dirubah menjadi Neraca Berbasis Nilai Sekarang
    e.3. Perlu penambahan Laporan Sosial dan Lingkungan
    Draf Review dan Saran Perubahan
    Atas Exposure Draft Akuntansi Syariah Oleh: Aji Dedi Mulawarman

    Heni Casma Yanti (063403008,Akuntansi A) said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:51 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARIAH

    o Latar belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    o Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan
    dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima
    secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model
    Dala akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi
    Antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    o Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension.

    Sumber : http://re-searchengines.com/1107kesiper.html

    Dewi Nurhasanah 063403003 said:
    Februari 24, 2009 pukul 5:59 pm

    Keuangan Syariah? sedikit mengenai sejarah sistem keuangan berbasis syariah masuk ke Indonesia. Di awal tahun 90-an sistem keuangan syariah masuk ke indonesia ditengah berkembangannya sistem keuangan berbasis konvensional. Sistem keuangan syariah pada mulanya tidak dilirik bahkan tidak tinggapi namun tahap demi tahap sistem keuangan syariah mulai di tanggapi sampai saat ini perkembangan sistem keuangan berbasis syariah sangat mengangumkan dan menyentuh berbagai aspek seperti bank, bursa saham, perhotelan, pegadaian dll. Oleh sebab itu sebagian korporasi beralih ke sistem syariah dalam hal ini perusahaan asuransi juga.
    Permasalahan yang timbul adalah belum ada tata aturan mengenai bagaimana bentuk pelaporan keuangan syariah supaya seragam walaupun perusahaan asuransi syariah telah melakukan pelaporan sesuai dengan aturan syariah yang berlaku. Oleh karena itu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menargetkan pengesahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi asuransi syariah Mei tahun ini. Sebabnya, saat ini proses penyusunan PSAK telah mencapai tahap penyusunan konsep draf eksposur.
    Dikutip dari media cetak ibukota Direktur Teknik IAI Sriyanto mengatakan ”Kami perkirakan PSAK asuransi syariah bisa sah 1-2 bulan setelah Maret sekitar Mei. Saat ini sudah pada tahapan draf konsep ekposure draft,”. Menurut beliau, dalam beberapa bulan terakhir, pembahasan PSAK dilakukan oleh tim kecil (Task Force) beranggotakan sekitar 20 anggota. Mereka terdiri dari perwakilan IAI, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Departemen Keuangan, perusahaan dan cabang asuransi syariah, dan akademisi perguruan tinggi. Tim tersebut bertugas untuk melakukan pembahasan awal. Salah satunya meliputi penyesuaian transaksi keuangan asuransi syariah dengan fatwa syariah. ”Jadi, dari aspek fiqih semuanya sudah sepakat. Ini dari sisi DSN,” katanya.
    Disamping itu beliau menyebutkan, PSAK asuransi syariah yang akan disahkan Mei mendatang akan mengatur sejumlah hal. Salah satunya adalah mengatur penyajian laporan keuangan asuransi syariah yang berbeda bila dibandingkan penyajian laporan keuangan bank syariah. ”Secara umum, penyajian laporan keuangan asuransi syariah berbeda dibandingkan bank syariah. Misalnya, di asurasnsi syariah ada dana tabaruk (dana tolong menolong bersumber premi). Di bank syariah tidak ada,” katanya.
    Selain itu, PSAK juga akan mengatur dua jenis pengakuan berbeda atas dana surpluss underwriting (dana premi surplus). Pengakuan pertama mengatur pencatatan dana surpluss underwriting bila diakui sebagai hibah nasabah asuransi syariah kepada dana tabaruk. Sedangkan, pengakuan pertama mengatur pencatatan dana tersebut bila diakui sebagai dana mudarabah (bagi hasil) yang harus dikembalikan kepada nasabah asuransi syariah. ”Kalau di Timur Tengah yang paling banyak yang kedua. Tapi di sini diperbolehkan memilih salah satu. Karena itu, PSAK mengatur pencatatan keduanya,” kata beliau.
    Berlaku Awal Tahun 2009
    Direktur Teknik IAI menyebutkan, meski akan disahkan pada Mei mendatang, PSAK asuransi syariah baru berlaku efektif mulai 1 Januari tahun depan. Sebabnya, sejak Maret hingga akhir tahun menjadi masa transisi sosialiasi penggunaan PSAK asuransi syariah dalam menyajikan laporan keuangan. ”Jadi, baru wajib diberlakukan bagi seluruh asuransi syariah mulai 1 Januari 2009 dan seterusnya,” tegas beliau.
    Kepala Divisi Syarah Nasional Re, Muhammad Shaifie Zein, mengakui memang saat ini penyajian laporan keuangan berbagai perusahaan asuransi syariah masih belum seragam. Sebabnya, belum ada panduan penyajian laporan keuangan asuransi syariah dan mengatakan ”Sekarang ini memang proses pencatatan akuntansi di industri masih belum seragam,”.
    Shaifie menyebutkan, hal itu terjadi meski sebagian besar asuransi syariah telah menggunakan akad asuransi syariah serupa. Salah satunya terjadi pada pengakuan laba rugi asuransi syariah. Saat ini, terdapat beberapa asuransi syariah yang mengakui premi sebagai salah satu instrumen pendapatan penambah laba perusahaan. ”Padahal, seharusnya yang menjadi pendapatan adalah dana tabaruk yang sudah dipotong ujrah (fee),” katanya dengan penerbitan PSAK asuransi syariah diyakini akan membantu penyajian laporan keuangan asuransi syariah.
    Mengenai pengakuan dana supluss underwriting, Shaifie mengakui saat ini memang ada dua pengakuan berbeda. Meski demikian, sebagian besar asuransi syariah masih menerapkan pengakuan dana tersebut sebagai dana mudarabah (bagi hasil) yang harus dikembalikan kepada nasabah asuransi syariah. ”Padahal, saya lebih setuju bila dan tersebut diakui sebagai dana hibah untuk dana tabaruk. Sebabnya, dana tabaruk kan dana tolong menolong antar umat,” katanya.[yos/balance]
    PROYEK IMPLEMENTASI SHARI’ATE ENTERPRISE THEORY
    Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
    Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).
    SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.

    ITA PUSPITA SARI 063403005 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:00 pm

    Akuntansi Syariah Sesuai PSAK 59
    Sumber : IAI
    BAB I
    PENDAHULUAN
    A. LATAR BELAKANG
    Sudah banyak ide yang membahas keterbatasan akuntansi konvensional dalam merespon berbagai kebutuhan masyarakat yang bersifat multi-dimensi. Beberapa konsep baru telah diajukan antara lain Akuntansi Sumber Daya Manusia, Pelaporan Kepegawaian, dan Akuntansi Sosial Ekonomi (ASE). Namun demikian model-model tersebut masih berbasis pada kerangka berpikir konvensional yaitu kapitalis . Akuntansi Islam (Akuntansi Syariah) selanjutnya muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid. Akuntansi Islam memiliki banyak kesamaan dengan ASE, tetapi memiliki nilai lebih ditinjau dari keterkaitan eratnya dengan nilai-nilai ketuhanan, dalam hal ini nilai-nilai syariah Islam.
    Dengan demikian Akuntansi Islam menjadi suatu kebutuhan bagi institusi bisnis syariah yang bertujuan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam dan menjadikannya sebagai suatu kegiatan yang berdimensi ibadah. Hamed (2003) menyatakan bahwa jika institusi Islami menggunakan akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan timbul ketidaksesuaian antara praktek dan tujuan pencapaian sosial ekonomi syariah.
    Aplikasi akuntansi yang sejalan dengan prinsip syariah dan menjadi sarana aktivitas ibadah didasari oleh prinsip pokok ajaran Islam yang memandang bahwa seluruh aktivitas hidup hendaknya merupakan suatu ibadah (QS 6 :162 ; 51 :121). Dengan demikian pengembangan konsep dan penerapan akuntansi Islam adalah suatu kemestian dan kebutuhan kunci bagi kehidupan muslim yang paripurna. Relevansinya makin tinggi untuk negara dimana masyarakat muslim merupakan mayoritas. Lebih jauh, konsep ajaran Islam dimaksudkan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh alam (QS 21 :127).
    Dalam menjawab kebutuhan akuntansi yang sesuai nilai-nilai Islami yang dirumuskan dalam Konsep Akuntansi Islam, telah disusun PSAK Syariah oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Hal ini dikarenakan di Indonesia Sejak 1992-2002 atau 10 tahun Bank Syariah tidak memiliki PSAK khusus. PSAK 59 sebagai produk DSAK – IAI perlu diacungkan jempol dan merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi Akuntansi Syariah di Indonesia. PSAK ini disahkan tanggal 1 Mei 2002 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003.
    B. TUJUAN
    Psak 59 bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi (pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan) transaksi khusus yang berkaitan dengan aktivitas bank syariah.
    C. RUANG LINGKUP
    a. PSAK 59 diterapkan untuk bank umum syariah, bank perkreditan rakyat syariah, dan kantor cabang syariah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia.
    b. Hal-hal umum yang tidak diatur dalam PSAK 59 mengacu pada pernyataan standar akuntansi keuangan yang lain dan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
    c. PSAK 59 bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) pemerintah, lembaga pengawas independen, dan bank sentral (Bank Indonesia).
    BAB II
    PENGAKUAN DAN PENGUKURAN
    A. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN MUDHARABAH
    Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisab bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Maka jika usaha mengalami kerugian, seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
    Mudharabah terdiri dari 2 (dua) jenis :
    1) Mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), yaitu mudharabah yang dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
    2) Mudharabah muqayyadah (investasi terikat), yaitu mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan pada pengelola dana mengenai tempat, cara dan objek investasi.
    Misalnya, pengelola dana diperintahkan untuk :
    a. tidak mencampurkan dana pemilik dengan dana lainnya;
    b. tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa penjamin, atau tanpa jaminan; atau
    c. mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga
    Bank dapat bertindak baik sebagai pemilik maupun pengelola dana. Apabila bank bertindak sebagai pemilik dana, maka dana yang disalurkan disebut pembiayaan mudharabah. Apabila bank bank sebagai pengelola dana, maka dana yang diterima :
    a. dalam mudharabah muqayyadah disajika dalam laporan perubahan investasi terikat sebagai investasi terikat dari nasabah; atau
    b. dalam mudharabah muthlaqah disajikan dalam neraca sebagai investasi tidak terikat.
    BANK SEBAGAI SHAHIBUL MAAL (Pemilik Dana)
    Pengakuan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut :
    a) Pembiayaan mudharabah diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva nonkas kepada pengelola dana; dan
    b) Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap pembayaran atau penyerahan
    Pengukuran pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut :
    a) Pembayaran mudharabah dalam bentuk kas diukur sejumlah uang yang diberikan bank pada saat pembayaran;
    b) Pembiayaan mudharabah dalam bentuk bentuk aktiva nonkas :
    Diukur sebesar nilai wajar aktiva nonkas pada saat penyerahan;
    Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva nonkas diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank; dan
    c) Beban yang terjadi sehubungan dengan mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan mudharabah kecuali telah disepakati bersama.
    Setiap pembayaran kembali atas pembiayaan mudharabah oleh pengelola dana mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
    Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya usaha karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tahap adanya kelalaian atau kesalahan pihak pengelola dana, maka rugi tersebut mengurangi saldo pembiayaan mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank.
    Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pengelola dana maka rugi tersebut diperhitungkan pada saat bagi hasil.
    Apabila mudharabah berakhir sebelum jatuh tempo dan pembiayaan mudharabah belum dibayar oleh pengelola dana, maka pembiayaan mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo.
    Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan :
    a) Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati; dan
    b) Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut danmengrangi saldo pembiayaan mudharabah.
    Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode, yaitu :
    1. Metode bagi laba (profit sharing), yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah
    2. Bagi pendapatan (revenue sharing), yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.
    Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang pembiayaan mudharabah.
    Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana.
    Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana pada saat mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana

    RISNA PUSPITASARI,, kelas A,, 063403041 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:06 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik.
    akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    ratih pratidina 063403002 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:10 pm

    AKUNTANSI SYARI’AH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
    Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
    Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
    Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
    Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
    Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    ratih pratidina 063403002 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:12 pm

    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    ITA PUSPITA SARI 063403005 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:12 pm

    Mengenal Lebih Dalam Akuntansi Syariah
    Oleh Rizki Rusdiantoro (Akuntansi 2007, Staff of Accounting Study Group)
    Berbicara mengenai sejarah Akuntansi Syariah, Akuntansi syariah ternyata lebih dulu muncul dan berkembang dibandingkan akuntansi konvensional. Akuntansi Syariah muncul dan berkembang di zaman Rasulullah SAW sekitar abad ke enam tepatnya sekitar tahun 610 Masehi, sedangkan Akuntansi Konvensional yang dicetuskan oleh Lucas Pacioli baru muncul pada tahun 1494 Masehi.
    Yang mendasari munculnya akuntansi Syariah adalah Al Quran, tepatnya dalam surah Al Baqarah ayat 282 yang memiliki arti seperti berikut “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”, ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang fungsi-fungsi dan pentingnya pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, dimana hal tersebut merupakan inti dari Akuntansi. Sejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman Khulafaur Rasyidin telah menerapkan undang-undang akuntansi antara lain untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr) dan anggaran negara. Selain itu pada zaman tersebut juga telah dikenal profesi akuntan yang disebut “hafazhatul amwal”(pengawas keuangan)
    Jika dilakukan suatu perbandingan antara akuntansi syariah dan konvensional maka akan ditemukan beberapa perbedaan yang sifatnya sangat mendasar antara lain sebagai berikut

    1. Dalam akuntansi konvensional Assets (harta) dibedakan atas dua hal yakni harta lancar (current assets) dan harta tetap (fixed assets), sedangkan dalam akuntansi syariah harta terbagi atas harta berupa uang (cash), harta berupa barang (stock) yang kemudian dibagi kembali menjadi harta dagang dan harta milik
    2. Dalam akuntansi Syariah mata uang seperti emas, perak dan barang lainnya memiliki kedudukan yang sama, dan tidak dibedakan atas tujuan tertentu, sebagaimana yang ada pada akuntansi konvensional
    3. Akuntansi Konvensional senantiasa menerapakan prinsip ketelitian dan pencadangan yang berlebihan atas kemungkinan terjadinya kerugian dari kesalaha pencatatan sehingga mengesampingkan perhitungan laba yang masih mungkin terjadi. Sedangkan dalam akuntansi syariah juga berlaku demikian namun tidak berlebihan dan selalu memperhatikan akan adanya laba yang masih mungkin terjadi.
    4. Akuntansi konvensional menerapkan prinsip laba yang universal sehingga laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram tercampur menjadi satu. Sedangkan dalam akuntansi syariah laba dipisahkan pencatatanya atas laba hasil aktivitas pokok, laba modal pokok yang hasil transaksi dan juga wajib menjelaskan dan mencatat pendapatn dari sumber yang haram jika ada.
    Masih terdapat beberapa prinsip lagi yang membedakan antara Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional yang belum dapat disampaikan dalam paper ini.
    Diharapkan lewat paper ini, kita semakin memahami mengenai sejarah munculnya Akuntansi Syariah dan juga perbedaan akuntansi Syariah dan Konvensioanl, sehingga nantinya kita dapat lebih memahami akuntansi syariah dan tidak terjadi kesalahan persepsi mengenai akuntansi syariah.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    isni pujilestari 063403007 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:13 pm

    Akuntansi syariah dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

    Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    ITA PUSPITA SARI 063403005 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:25 pm

    BENARKAH AKUNTANSI ADA DI DALAM ISLAM?
    Oleh :

    Herfin Rufiandi Sulthon, AMd. Ak
    D3 Akuntansi AAk Jember Lulusan Tahun 2007

    Akuntansi Syariah menjadi sebuah wacana yang menarik sejak sekitar tahun 1980an. Hal ini terjadi karena mulai munculnya berbagai lembaga keuangan yang mencoba berusaha dengan menerapkan prinsip-prinsip islam (Adnan, 2005). Ini menimbulkan tantangan besar bagi para pakar syariah Islam. Mereka harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi yang berbeda dengan standar akuntansi bank dan lembaga konvensional seperti yang telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan Bank Islam dan atau Lembaga Keuangan Islam lainnya.Untuk lebih meyakinkan kita mengenai ada tidaknya akuntansi didalam islam, maka akan dibahas mengenai bagai mana sebenarnya Akuntansi didalam Islam, Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam dan sejarah perkembangan Akuntansi Syariah.

    Akuntansi di dalam Islam
    Berdasarkan penuturan allah dalam alqur’ an ternyata pengelolaan sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata allah menggunakan sistem yang mirip dengan apa yang sekarang kita kenal dengan akuntansi. Allah tidak membiarkan kita bebas tanpa monitoring dan pencatatan dari Allah. Allah memiliki malaikat Rakib dan Atid yang tugasnya mirip dengan tugas akuntan, yaitu mencatat setiap kegiatan maupun transaksi yang dilakukan oleh setiap manusia, yang menghasilkan buku yang disebut sijjin (Laporan Amal Baik) dan Illyin (laporan Amal Buruk), yang nantinya akan dilaporkan kepada kita di akhirat nanti untuk pertnggung jawaban. Hal ini disampaikan dengan jelas pada surat Al-Infithaar ayat 10-12 yang berbunyi:¨padahal sesungguhnya pada kamu ada malikat yang memonitor pekerjaanmu. Yang mulia disisi allah dan yang mencatat pekerjaanmu itu. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan¨.Laporan ini didukung bukti dimana tidak ada satupun transaksi yang dilakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan allah, seperti yang terlihat pada surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi:¨barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun niscaya dia melihatnya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrahpun dia akan melihatnya¨.Selain Allah selalu mencatat apa saja yang manusia kerjakan, Allah juga memerintahkan umat Islam agar melakukan pencatatan pada saat bermuamalah tidak secara tunai, yang dapat kita lihat pada surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi: ¨hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah iya menulis . . .¨Muamalah disini diartikan seperti kegiatan jual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa dan sebagainya. Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam islam sejak munculnya peradaban Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw, telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan diantara kedua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (sekarang dikenal dengan nama Accountability) . Sedangkan pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diatur. Karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh kitab suci. Dan mengenai hal ini rasulullah mengatakan:¨kamu lebih tahu urusan duniamu¨. Kesimpulannya akuntansi bagi islam adalah kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof islam terkenal 700tahun kemudian tidak mengenal akuntansi

    Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam
    Dalam istilah islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki 2 pengertian pokok yaitu: Muhasabah dengan arti musa’alah (perhitungan) dan munaqasyah (Perdebatan) . Proses musa-alah bisa diselesaikan secara individual atau dengan perantara orang lain, atau bisa juga dengan perantara malaikat, atau oleh allah sendiri pada hari kiamat nanti. Muhasabah dengan arti pembukuan/pencatatan keuangan seperti yang diterapkan pada masa awal munculnya islam. Juga diartiakan dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan kerugian.
    Muhasabah pun berarti pendataan, pembukuan, dan juga semakna dengan musa’alah (perhitungan) , perdebatan, serta penentuan imbalan/balasan seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga negara, lembaga baitul maal, undang-undang wakaf, mudharabah, dan serikat-serikat kerja.
    Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian akuntansi (muhasabah) didalam islam adalah:
    1.Pembukuan keuangan
    2.Perhitungan, perdebatan, dan pengimbalan
    Kedua makna ini saling terkait dan sulit memisahkannya, yaitu sulit membuat perhitungan tanpa adanya data-data, dan juga data-data menjadi tak berarti tanpa perhitungan dan perdebatan.

    Jika dilakukan suatu perbandingan antara akuntansi syariah dan konvensional maka akan ditemukan beberapa perbedaan yang sifatnya sangat mendasar antara lain sebagai berikut
    1. Dalam akuntansi konvensional Assets (harta) dibedakan atas dua hal yakni harta lancar (current assets) dan harta tetap (fixed assets), sedangkan dalam akuntansi syariah harta terbagi atas harta berupa uang (cash), harta berupa barang (stock) yang kemudian dibagi kembali menjadi harta dagang dan harta milik
    2. Dalam akuntansi Syariah mata uang seperti emas, perak dan barang lainnya memiliki kedudukan yang sama, dan tidak dibedakan atas tujuan tertentu, sebagaimana yang ada pada akuntansi konvensional
    3. Akuntansi Konvensional senantiasa menerapakan prinsip ketelitian dan pencadangan yang berlebihan atas kemungkinan terjadinya kerugian dari kesalaha pencatatan sehingga mengesampingkan perhitungan laba yang masih mungkin terjadi. Sedangkan dalam akuntansi syariah juga berlaku demikian namun tidak berlebihan dan selalu memperhatikan akan adanya laba yang masih mungkin terjadi.
    4. Akuntansi konvensional menerapkan prinsip laba yang universal sehingga laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram tercampur menjadi satu. Sedangkan dalam akuntansi syariah laba dipisahkan pencatatanya atas laba hasil aktivitas pokok, laba modal pokok yang hasil transaksi dan juga wajib menjelaskan dan mencatat pendapatn dari sumber yang haram jika ada.
    Masih terdapat beberapa prinsip lagi yang membedakan antara Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional yang belum dapat disampaikan dalam paper ini.
    Diharapkan lewat paper ini, kita semakin memahami mengenai sejarah munculnya Akuntansi Syariah dan juga perbedaan akuntansi Syariah dan Konvensioanl, sehingga nantinya kita dapat lebih memahami akuntansi syariah dan tidak terjadi kesalahan persepsi mengenai akuntansi syariah

    WINDA WINIARTI 063403120 said:
    Februari 24, 2009 pukul 6:45 pm

    Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
    Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam

    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.

    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
    Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

    Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah
    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi

    Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam
    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis. Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:

    1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.

    2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).

    3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.

    4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing

    Organization for Islamic Financial just Iflution (AAOIFI) menerbitkan sebuah standard akuntansi untuk lembaga keuangan syariah yang disebut, Accounting, Auditing, and Governance Standard for Islamic Institution.Mungkin secara teori akuntansi islam yang sekarang ini berkembang masih belum matang. Tetapi tugas kitalah, sebagai seorang akademisi akuntansi muslim untuk menyempurnakannya

    Sumber : himasi.blogspot.com

    Yeyen Heryani (063403236) said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:01 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings

    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking

    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest….

    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

    Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

    Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

    Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme akuntansi.

    Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam. Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan fungsi akuntansi dalam masyarakat.

    Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan spiritual dalam kehidupan umat manusia.

    Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.

    Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

    Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

    Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

    Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

    What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

    Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

    Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

    Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

    Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

    Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

    1. Laporan posisi keuangan

    2. Laporan laba rugi

    3. Laporan arus kas

    4. Laporan laba ditahan

    5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas

    6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial

    7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

    Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

    Asumsi Dasar

    Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:

    1. The accounting unit concept

    2. The going concern concept

    3. The periodicity concept

    4. The stability of purchasing power of the monetary unit

    Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).

    Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak terkendali.

    Pengakuan dan Pengukuran

    Aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue), beban (expenses), laba (gain) dan rugi (loss). Pada gilirannya konsep pengakuan akan banyak berperan dalam menentukan aktiva dan passive, serta laba rugi operasi perusahaan. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC yang dianut oleh akuntansi konvensional Indonesia. Namun demikian, kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syari’ah, ada sejumlah penyimpangan. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai untuk pengakuan revenue dan/atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan tentu saja konservatisme. Walaupun ini bisa diperdebatkan panjang lebar, konon Dewan Syariah bank Islam di Indonesia sudah memfatwakan kebolehan pilihan ini, dan tampaknya akan dipakai sebagai acuan resmi nantinya.

    Aspek pengukuran memegang peranan penting dalam kaitannya dengan peran laporan akuntansi yang harus menyajikan data kuantitatif tentang posisi kekayaan perusahaan dalam suatu waktu tertentu. Yang perlu dipertimbangkan dalam aspek ini adalah atribut apa yang dipakai dalam pengukuran. Aspek pengukuran hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur relevan, reliability, understandability dan comparability.

    Karakteristik Kualitatif

    Bila dibandingkan antara karakteristik kualitatif yang ada pada SFA buatan AAO-IFI dan karakteristik kualitatif dalam berbagai kerangka dasar akuntansi beberapa negara (AS, Australia, IASC, dsb), tampak ada kesamaan yang sangat menonjol. Kalaupun ada perbedaan, maka lebih kepada penekanan dan urutan priritas belaka. Oleh karena itu, dalam kerangka dasar versi SFA juga ditemukan : relevan (meliputi predictive value, feedback value dan timeliness) reliability (meliputi representational faithfulness, objectivity dan neutrality), comparability, consistency, understanbility.

    Yang penting dicatat di sini adalah sejauh yang dapat dilakukan analisis dan pengujian dari perspektif Islam, tidak ada yang keluar dari batas-batas yang dapat diterima, terutama kalau dilihat dari sudut pandang tujuan laporan keuangan, seperti yang dibahas di muka.

    Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension

    Sumber: Artikel:
    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARIAH

    Selly Silviawati (063403193) said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:12 pm

    Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings

    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking

    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest….

    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

    Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

    Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

    Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme akuntansi.

    Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam. Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan fungsi akuntansi dalam masyarakat.

    Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan spiritual dalam kehidupan umat manusia.

    Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.

    Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

    Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

    Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

    Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

    What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

    Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

    Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

    Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

    Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

    Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

    1. Laporan posisi keuangan

    2. Laporan laba rugi

    3. Laporan arus kas

    4. Laporan laba ditahan

    5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas

    6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial

    7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

    Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

    Asumsi Dasar

    Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:

    1. The accounting unit concept

    2. The going concern concept

    3. The periodicity concept

    4. The stability of purchasing power of the monetary unit

    Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).

    Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak terkendali.

    Pengakuan dan Pengukuran

    Aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue), beban (expenses), laba (gain) dan rugi (loss). Pada gilirannya konsep pengakuan akan banyak berperan dalam menentukan aktiva dan passive, serta laba rugi operasi perusahaan. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC yang dianut oleh akuntansi konvensional Indonesia. Namun demikian, kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syari’ah, ada sejumlah penyimpangan. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai untuk pengakuan revenue dan/atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan tentu saja konservatisme. Walaupun ini bisa diperdebatkan panjang lebar, konon Dewan Syariah bank Islam di Indonesia sudah memfatwakan kebolehan pilihan ini, dan tampaknya akan dipakai sebagai acuan resmi nantinya.

    Aspek pengukuran memegang peranan penting dalam kaitannya dengan peran laporan akuntansi yang harus menyajikan data kuantitatif tentang posisi kekayaan perusahaan dalam suatu waktu tertentu. Yang perlu dipertimbangkan dalam aspek ini adalah atribut apa yang dipakai dalam pengukuran. Aspek pengukuran hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur relevan, reliability, understandability dan comparability.

    Karakteristik Kualitatif

    Bila dibandingkan antara karakteristik kualitatif yang ada pada SFA buatan AAO-IFI dan karakteristik kualitatif dalam berbagai kerangka dasar akuntansi beberapa negara (AS, Australia, IASC, dsb), tampak ada kesamaan yang sangat menonjol. Kalaupun ada perbedaan, maka lebih kepada penekanan dan urutan priritas belaka. Oleh karena itu, dalam kerangka dasar versi SFA juga ditemukan : relevan (meliputi predictive value, feedback value dan timeliness) reliability (meliputi representational faithfulness, objectivity dan neutrality), comparability, consistency, understanbility.

    Yang penting dicatat di sini adalah sejauh yang dapat dilakukan analisis dan pengujian dari perspektif Islam, tidak ada yang keluar dari batas-batas yang dapat diterima, terutama kalau dilihat dari sudut pandang tujuan laporan keuangan, seperti yang dibahas di muka.

    Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension

    Sumber :
    Artikel:ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARIAH
    http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/

    Ery Septia Dwijayanti said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:27 pm

    PSAK Asuransi Syariah Tertunda
    JAKARTA-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) memprediksi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi asuransi syariah tidak dapat diterbitkan akhir tahun ini. PSAK tersebut baru dapat diterbitkan pada kuartal pertama 2008.

    Salah satu penyebab tertundanya PSAK itu adalah cukup lamanya penyusunan PSAK oleh tim perumus (task force) PSAK. “Saya kira penyelesaian PSAK untuk diterbitkan sekitar kuartal pertama 2008, tidak akhir tahun ini,” kata Direktur Teknik IAI Sriyanto kepada Republika, Senin (21/5).

    Menurut Sriyanto, Dewan Standar Akuntansi (DSA) sebetulnya telah menunjuk ketua tim perumus PSAK asuransi syariah. Selanjutnya, pengisian anggota tersebut diserahkan kepada beberapa pihak yang berkepentingan. Di antaranya adalah Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Badan Pengawas Pasar Modal-Lem-baga Keuangan (Bapepam-LK), dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

    Sriyanto berharap pengisian anggota tim perumus PSAK asuransi syariah dapat rampung akhir Mei ini agar proses pengkajian PSAK asuransi syariah dapat segera dimulai. Dengan demikian, penerbitan PSAK pada kuartal pertama tahun depan tidak diundur lagi. “Salah satunya adalah kami mengharapkan perwakilan dari DSN MUI dapat masuk ke kita dengan resmi maksimal akhir bulan ini,” katanya.

    Direktur Utama Asuransi Takaful Umum (ATU), Shakti Agustono Rahardjo menyesalkan pengunduran waktu penerbitan PSAK asuransi syariah. Sebabnya, PSAK tersebut sangat dibutuhkan sebagai acuan standar pelaporan keuangan asuransi syariah. “Saya menyayangkan itu terjadi karena PSAK sebetulnya cukup dibutuhkan asuransi syariah,” katanya.

    Agustono menyebutkan, lamanya waktu penerbitan PSAK akan merugikan nasabah asuransi syariah. Karena semakin lama PSAK diterbitkan, maka nasabah asuransi syariah semakin lama mengetahui perkembangan secara terperinci dari perusahaan asuransi syariah yang mereka gunakan. “Karena PSAK itu membantu menstandardisasikan laporan keuangan sehingga nasabah mudah membaca dan mengetahui perkembangan kita,” katanya.

    Standar AAOIFI tak lengkap Kepala Divisi Syariah Asuransi AIA, Muhammad Setyo Hertinto menyebutkan PSAK sangat dibutuhkan bagi perkembangan industri asuransi syariah Indonesia. Standar yang digunakan selama ini digunakan tidak lengkap. Standar tersebut adalah standar akuntansi asuransi syariah berdasarkan Accounting and Auditing Organization Of Islamic Financial Institution (AAOIFI). “Standar AAOIFI memang mengatur asuransi syariah tapi lebih banyak untuk perbankan syariah. Kalaupun ada tidak banyak dan tidak lengkap,” katanya Selasa, (22/5).

    Setyo mencontohkan, standar akuntansi AAOIFI belum mengatur mengenai jenis akad yang dapat digunakan untuk asuransi syariah. Padahal, akad merupakan salah satu elemen penting dalam transaksi asuransi syariah. Karena itu, ia berharap penyusunan PSAK asuransi syariah dapat dibahas segera. Dengan demikian, PSAK dapat digunakan untuk mendukung perkembangan asuransi syariah. “Bagi industri, PSAK sangat penting sekali. Semain cepat diterbitkan semakin bagus,” katanya.

    Ketua Umum AASI Iqbal Muhaimin sebelumnya menyebutkan AASI memproyeksi PSAK bagi asuransi syariah terbit akhir tahun ini. Sebabnya, pembuatan PSAK khusus asu

    ransi syariah penting dilakukan untuk menunjang pengembangan industri asuransi syariah di Indonesia. Dengan adanya PSAK khusus, maka sistem pencatatan keuangan asuransi syariah dapat menjadi lebih baik.

    Saat ini, Iqbal menyebutkan, industri asuransi syariah menggunakan sistem pencatatan keuangan berdasarkan standar keuangan syariah internasional. Standar tersebut dibuat Accounting and Auditing Organization Of Islamic Financial Institution (AAOIFI). Namun, industri asuransi syariah belum memiliki sistem pencatatan yang diakui secara lokal sebagaimana PSAK yang diterbitkan IAI.

    Padahal, menurut Iqbal, penyusunan PSAK sangat penting bagi perkembangan industri asuransi syariah terkait beberapa alasan. Salah satunya adalah agar sistem pencatatan asuransi syariah diakui kalangan lokal di antaranya oleh pemerintah, lembaga audit, dan lembaga usaha sejenis.

    Ref. : Takaful Indonesia

    Rian Yuliansyah said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:33 pm

    ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH

    Latar Belakang

    Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

    Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

    Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

    Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

    Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

    Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

    Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

    Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

    Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

    Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

    Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

    1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.

    2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah

    3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

    Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

    Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

    Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

    Akuntansi Konvensional Vs Islam

    Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

    Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

    Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

    1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings

    2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking

    3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest….

    Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

    Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

    Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

    Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme akuntansi.

    Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam. Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan fungsi akuntansi dalam masyarakat.

    Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan spiritual dalam kehidupan umat manusia.

    Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.

    Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

    Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

    Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

    Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

    What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

    Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

    Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

    Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

    Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

    Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

    1. Laporan posisi keuangan

    2. Laporan laba rugi

    3. Laporan arus kas

    4. Laporan laba ditahan

    5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas

    6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial

    7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

    Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

    Asumsi Dasar

    Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:

    1. The accounting unit concept

    2. The going concern concept

    3. The periodicity concept

    4. The stability of purchasing power of the monetary unit

    Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).

    Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak terkendali.

    Pengakuan dan Pengukuran

    Aspek pengakuan memegang peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya transaksi pendapatan (revenue), beban (expenses), laba (gain) dan rugi (loss). Pada gilirannya konsep pengakuan akan banyak berperan dalam menentukan aktiva dan passive, serta laba rugi operasi perusahaan. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua transaksi. Ini sejalan dengan kerangka dasar versi IASC yang dianut oleh akuntansi konvensional Indonesia. Namun demikian, kalau kita mengacu kepada praktik beberapa bank syari’ah, ada sejumlah penyimpangan. Misalnya, dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai untuk pengakuan revenue dan/atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah unsur ketidakpastian dan tentu saja konservatisme. Walaupun ini bisa diperdebatkan panjang lebar, konon Dewan Syariah bank Islam di Indonesia sudah memfatwakan kebolehan pilihan ini, dan tampaknya akan dipakai sebagai acuan resmi nantinya.

    Aspek pengukuran memegang peranan penting dalam kaitannya dengan peran laporan akuntansi yang harus menyajikan data kuantitatif tentang posisi kekayaan perusahaan dalam suatu waktu tertentu. Yang perlu dipertimbangkan dalam aspek ini adalah atribut apa yang dipakai dalam pengukuran. Aspek pengukuran hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur relevan, reliability, understandability dan comparability.

    Karakteristik Kualitatif

    Bila dibandingkan antara karakteristik kualitatif yang ada pada SFA buatan AAO-IFI dan karakteristik kualitatif dalam berbagai kerangka dasar akuntansi beberapa negara (AS, Australia, IASC, dsb), tampak ada kesamaan yang sangat menonjol. Kalaupun ada perbedaan, maka lebih kepada penekanan dan urutan priritas belaka. Oleh karena itu, dalam kerangka dasar versi SFA juga ditemukan : relevan (meliputi predictive value, feedback value dan timeliness) reliability (meliputi representational faithfulness, objectivity dan neutrality), comparability, consistency, understanbility.

    Yang penting dicatat di sini adalah sejauh yang dapat dilakukan analisis dan pengujian dari perspektif Islam, tidak ada yang keluar dari batas-batas yang dapat diterima, terutama kalau dilihat dari sudut pandang tujuan laporan keuangan, seperti yang dibahas di muka.

    Standar Akuntansi Keuangan

    Perbedaan mencolok akan tampak kalau dibandingkan antara standar akuntansi untuk perbankan konvensional dan standar akuntansi perbankan Islam. Namun demikian, kalau dilihat lebih jauh, perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai’ bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank konvensional.

    Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu, keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvension

    YULIA KUSUMAWATI (063403088) said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:36 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal). Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9
    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12
    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani. Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.
    Penulis:
    M.Aqim Adlan
    Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

    Rian Yuliansyah said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:37 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Pendahuluan

    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.
    Pembahasan

    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.

    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8

    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11

    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12

    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13

    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Kesimpulan

    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.

    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.
    Bibliografi

    Antonio, Syafi’i, M.,
    Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
    Arifin, Syamsul, Agus Purwadi dan Khoirul Habib,
    Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996.
    Harahap, Sofyan Syafri,
    Akutansi Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
    Muhammad,
    Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: AMP YKPN, tt.
    _________,
    Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
    _________,
    Teori Akutansi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999.
    Tiyuwono, Iwan,
    Organisasi dan Akutansi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2000.
    _________,
    “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah”‘ Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997.
    __________,
    Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

    1 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 252.

    2 Iwan Triyuwono, “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah” Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997, 3-4.

    3 Akutansi dan …, 27.

    4 Lihat Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akutansi Syari’ah (Yogyakarta: LkiS, 2000), xiv.

    5 Sofyan Syafri Harahap, Teori Akutansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 98-99.

    6 Stockholders adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham perusahaan. Entity adalah perusahaan sebagai sebuah entitas yang terlepas dari stockholders.

    7 Syamsul Arifin, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), 76-77.

    8 Q.S al-Mulk, 14.

    9 Q.S al-Dzariat, 56.

    10 Lihat: Sofyan Syafri Harahap, Akutansi Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), 154-155.

    11 Lihat Iwan Triyuwono, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuajn Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

    12 Q.S al-Baqarah 30.

    13 Q.S Thaha, 15.

    14 Q.S al-Nur, 24.

    Penulis: M. Aqim Adlan
    Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

    Indah Fajarwati 063403181 Ak B said:
    Februari 24, 2009 pukul 7:47 pm

    AKUNTANSI SYARI’AH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
    Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
    Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.

    Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
    Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    http://ajidedim.wordpress.com/2008/02/14/akuntansi-syariah-bagian-satu/

    intan eka nur agna (063403106) said:
    Februari 24, 2009 pukul 8:10 pm

    1. PENDAHULUAN
    AKUNTANSI SYARI’AH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
    1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris.Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    2.2. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    DISARIKAN DARI:

    Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

    Verra Vuzi Christyanty 063403248 Ak B said:
    Februari 24, 2009 pukul 8:34 pm

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    Ditulis pada April 1, 2008 oleh Abul Izz
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Sumber : http://f-andriana.blogspot.com/2007/10/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah.html

    Depi Rahmawati (063403067-A) said:
    Februari 24, 2009 pukul 10:13 pm

    A. Sejarah Munculnya Akuntansi Syariah
    Menurut sejarah, awal munculnya istilah akuntansi berawal dari sistem pembukuan “double entry”, istilah tersebut sudah ada di berbagai literatur “Teori Akuntansi”, double entry muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Sedangkan istilah akuntansi syari’ah dapat kita temukan apabila kita merefresh kembali sejarah islam, setelah munculnya islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan).
    B. Akuntansi syari’ah antara aliran pragmatis dan idealis
    1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan.
    2. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
    C. PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARI’AH
    Bank Indonesia (2004) melaporkan bahwa di Indonesia telah berdiri 10 bank syariah (baik bank umum maupun windows bank umum), yaitu BMI, BNI, BSM, Bukopin, BPD Jabar, Bank IFI, BRI, Danamon, BII dan BPD DKI dengan sekitar 85 kantor cabang. Selain itu di berbagai daerah juga telah bermunculan BPR Syariah dengan jumlah mencapai 88 bank. Sedangkan dari lantai pasar modal, sejak 14 Maret 2003 telah muncul pasar modal syariah dengan instrumennya Jakarta Islamic Index. Pada akhir tahun 2004 jumlah obligasi syariah telah bertambah dari semula enam emiten menjadi tigabelas emiten dengan nilai total emisi mencapai Rp 1,382 Triliun. Sedangkan reksadana syariah juga mengalami peningkatan pesat dari semula tiga reksadana meningkat menjadi sepuluh reksadana dengan nilai total aktiva bersih mencapai Rp 413,9 Miliar (Bapepam, 2004). Perkembangan Islam dalam perbankan dan pasar modal tersebut masih diikuti dengan munculnya pegadaian Syariah, Asuransi Syariah, serta BMT.
    http://usweulpe.blogspot.com/2008/11/perkembangan-akuntansi-syariah.html

    alfian maulana 073403129 kelas D said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:22 am

    PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH
    Oleh: Muhammad Falih Ariyanto *)
    Sejarah Akuntansi Syariah
    Apabila kita pelajari sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
    Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al-Qur’an menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan :
    “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al-Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494 M. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
    Dalam Al-Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi :
    “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur/menakar tersebut, juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi :
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi :
    “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
    Pengertian Akuntansi Syariah
    Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
    “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”
    Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw :
    “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
    Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Tujuan Akuntansi Syariah
    Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
    Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
    1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
    2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
    3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
    4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
    5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
    6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
    7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
    8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
    Dasar Hukum Akuntansi Syariah
    1. Al Quran,
    2. Sunah Nabwiyyah,
    3. Ijma (kespakatan para ulama),
    4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu,
    5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.
    Perkembangan Akuntansi Syariah
    Sejalan dengan mulai diberlakukannya ketentuan transparansi bagi perbankan syariah, selama tahun laporan telah dilakukan pertemuan dengan pihak Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang ditindaklanjuti dengan pemberian materi yang diperlukan pada pelatihan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia kepada para Akuntan Publik Indonesia dalam rangka memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan pemenuhan ketentuan tersebut yang mulai berlaku untuk laporan keuangan tahun buku 2006.
    Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap perbankan syariah sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan, agar memperoleh pendapat terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Syariah tentang kepatuhan bank syariah yang diawasinya.
    Adanya laporan pengawasan syariah kepada stakeholders perbankan syariah dan keharusan untuk mendapatkan pendapat Dewan Pengawas Syariah bagi Akuntan Publik sebelum mengeluarkan opini terhadap laporan keuangan perbankan syariah yang diaudit, adalah merupakan salah satu usaha untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat dalam penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran akhir yang akan dicapai dalam revisi Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2005 berupa terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah.
    Dalam upaya untuk mendorong tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam dan pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian, pada tahun laporan telah dilakukan pembahasan bersama pihak terkait didalam Komite Akuntansi Syariah dimana Bank Indonesia sebagai salah satu anggotanya bersama Ikatan Akuntan Indonesia dan pihak lainnya.
    Komite Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah :
    1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
    3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah,
    4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam,
    5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna’,
    6. PSAK 105 tentang Akuntansi Mudharabah,
    7. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.

    Sumber: http://sukasayurasem.wordpress.com/2008/10/17/perkembangan-akuntansi-syariah/

    EVI APRIANTI SOPIAH (063403191 B) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:31 am

    Ekonomi Syariah untuk Kepentingan Bangsa
    Oleh: Agustianto
    Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebenarnya sudah di ambang pintu. Sejak lama masyarakat ekonomi syariah mendambakan kehadirannya.
    Saat ini DPR tengah mengagendakan pembahasan kedua RUU tersebut yang direncanakan akan dibahas bulan April mendatang. Namun, Partai Damai Sejahtera (PDS) menolak pembahasan kedua RUU tersebut.

    Memang di alam demokrasi penolakan tersebut wajar, tetapi secara membabi buta dan emosional adalah suatu tindakan yang sangat naif. Penolakan PDS terhadap kedua RUU ekonomi syariah tersebut antara lain disebabkan PDS salah paham dengan ekonomi syariah. Karakter dasar ekonomi syariah ialah sifatnya yang universal dan inklusif.
    Ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi, antikorupsi, dan eksploitasi. Artinya, misi utamanya adalah tegaknya nilai-nilai akhlak dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan, ataupun negara.

    Bukti universalisme dan inklusivisme ekonomi syariah cukup banyak. Pertama, ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika, dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga mengakomodasi sistem keuangan syariah.
    Bank-bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, dan HSBC sejak lama menerapkan sistem syariah. Demikian pula ANZ Australia, juga membuka unit syariah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah. Bagaimana PDS memandang fakta-fakta ini? Aneh dan ajaib.

    Fakta itu sejalan dengan laporan The Banker yang menyebut Bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok Muslim, tetapi juga di negara-negara non-Muslim, seperti Inggris, AS, Kanada, Luxemburg, Swiss, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Sri Lanka, Filipina, Siprus, Virgin Island, Cayman Island, dan Bahama.
    Sekadar contoh, di Luxemburg yang menjadi managing directors di Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non-Muslim, yaitu Dr Ganner Thorland Jepsen dan Mr Erick Trolle Schulzt.

    Kedua, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di universitas Amerika dan negara Barat lainnya. Di antaranya, Universitas Loughborough, Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya di Inggris. Demikian pula di Harvard School of Law (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia.
    Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama Harvard University Forum yang membahas Islamic finance. Malah, tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi internasional ekonomi Islam ketiga.

    Perhatian mereka kepada ekonomi syariah dikarenakan keunggulan doktrin dan sistem ekonomi syariah. Banyak ekonom non-Muslim yang menaruh perhatian padanya serta memberikan dukungan dan rasa salut pada ajaran ekonomi syariah, seperti Prof Volker Ninhaus dari Jerman (Bochum Universitry), William Shakpeare, dan Rodney Wilson.
    Dr Iwan Triyuwono, ahli akuntansi dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, ketika menulis disertasinya tentang akuntansi syariah di Universitas Wolongong, Australia, mendapat bimbingan dari promotor seorang ahli akuntansi syariah yang ternyata seorang pastur. Ketiga, harus dipahami larangan riba (usury) yang menjadi jantung sistem ekonomi syariah bukan saja ajaran agama Islam, tetapi juga larangan agama-agama lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian, bagi pemeluk agama mana pun, ekonomi syariah sesungguhnya tidak menjadi masalah.

    Pandangan Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab Perjanjian Lama pasal 22 ayat 25 yang berbunyi: ”Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku seperti orang penagih utang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu supaya saudaramu dapat hidup di antaramu.”

    Pandangan agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam kitab Perjanjian Lama, Kitab Deuteronomiy pasal 23 ayat 19. ”Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makan yang dibungakan.” Selanjutnya dalam perjanjian baru dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan, ”Jika kamu mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya karena pahala kamu akan banyak.”

    Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amatlah tepat untuk menyimpulkan bahwa no-Muslim pun harus menyambut baik lembaga-lembaga keuangan dan sistem ekonomi tanpa bunga. Ini karena ekonomi syariah memberikan jalan keluar dari larangan kitab suci di atas.

    Inilah sarana yang paling tepat untuk mengembangkan kerja sama dalam memerangi bunga. Fakta kerja sama ini telah banyak terjadi di Indonesia, seperti di Kupang, Palu, Manado, dan Maluku Utara. Deposan dan nasabah bank-bank syariah banyak (dominan) dari kalangan non-Muslim dan tokohnya para pendeta.

    Keempat, para filosof Yunani yang tidak beragama Islam juga mengecam sistem bunga. Sejarah mencatat bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya, Politics, telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai sistem bunga tidak adil.
    Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan uang yang lain. Dia mengatakan meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya.

    Sementara itu, Plato (427-345 SM) dalam bukunya, LAWS, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktik yang tak zalim. Menurut Plato, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar, pengukuran nilai, dan penimbunan kekayaan. Uang bersifat mandul (tidak bisa beranak dengan sendirinya). Uang baru bisa bertambah kalau ada aktivitas bisnis. Pendapat yang sama juga dikemukan Cicero. Ketiga filosof Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosof Yunani tentang larangan bunga.

    — Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI dan Islamic Economics and Finance Trisakti.

    Prana Adi Perdana (073403151) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:34 am

    AKUNTANSI YANG ISLAMI (SYARI’AH) SEBAGAI MODEL ALTERNATIF DALAM PELAPORAN KEUANGAN
    Abstrak
    Akuntansi syariah didasarkan atas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada system kapitalis. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit, sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.
    Kata Kunci : Akuntansi Syariah, Kapitalisme, Bagi hasil, Konsep Syariah
    A. Pendahuluan
    Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama.
    Anggapan terhadap Akuntansi Islami (akuntansi yang berdasarkan Syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah Ekonomi Islam.
    Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur’an dan Ahlul Bait, maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.
    Ketika kita berbicara tentang syariah, kita wajib meyakini bahwa ada dua dunia yang saling berhubungan yaitu dunia fana dan dunia akhirat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak hanya berdampak pada kehidupan dunia saja, namun memiliki hubungan yang erat dengan akhirat.
    Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit”. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak selalu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.
    Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dimana maksud dari surat ini adalah membahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah, dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.
    B. Akuntansi Syariah VS Kapitalisme
    Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya akan mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.
    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Menurut pengamatan penulis, sistem akuntansi yang ada di Indonesia sekarang ini terlalu mengadopsi pola pikir barat dengan segala kebudayaannya. Sebagaimana kita maklumi bahwa cukup lama pola pikir dan aktivitas bermuamalah masyarakat muslim di Indonesia khususnya dan selain muslim umumnya mengikuti pola pikir barat tersebut yang mana menekankan pada kapitalisme dan sekularisme.
    Dimana paham kapitalisme tersebut lebih menekankan pada prinsip perolehan laba dan keuntungan yang lebih memihak kepada pemilik modal saja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang sebenarnya lebih memegang peranan penting daripada pemilik modal itu sendiri. Mengapa penulis berpikiran seperti itu, sebagai gambarannya penulis dapat memberikan contohnya sebagai berikut.
    Pertama, laba dari hasil penjualan dan produksi yang diperoleh sebuah perusahaan, akan dibagi dalam bentuk deviden. Akan tetapi di dalam pembagian deviden tersebut sepenuhnya hanya untuk pemilik modal saja tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan lainnya seperti pemerintah dan masyarakat.
    Idealnya, dana deviden tersebut harus diperhitungkan untuk kepentingan masyarakat, hal ini disebabkan karena sebagian dana operasional yang dimiliki perusahaan diperoleh dengan cara melakukan pinjaman dari Bank. Seperti yang kita ketahui sumber dana yang dimiliki Bank diperoleh dari masyarakat yang menabung pada Bank tersebut. Artinya, secara tidak langsung dana operasional yang dimiliki oleh perusahaan untuk menjalankan operasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat mengetahui informasi tentang perusahaan dan memperoleh manfaat dari perusahaan tersebut.
    Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 107, yang mana maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa, agar “rahmat” yang dimaksudkan oleh Allah SWT dapat dirasakan dan dinikmati oleh manusia, maka manusia harus menjauhi perbuatan yang saling menzalimi antara manusia satu dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan alam, dan yang lebih penting adalah jangan menzalimi diri sendiri. Hal tersebut lebih dipertegas lagi dalam surat Al-Baqarah ayat 279, yang mana maksud dari surat tersebut yakni menyatakan tentang prinsip utama dalam syariat islam terutama dalam melakukan muamalah.
    Contoh kedua, apabila dilihat dari kegiatan yang berhubungan dengan perbankan, maka alat ukur yang sering digunakan adalah rate of interest. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi perbankan karena perbankan menggunakan instrumen ini untuk mencari-cari alasan untuk menghindar dari mentaati ketentuan-ketentuan syariah.
    Atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis merasakan perlunya penerapan akuntansi yang islami sesuai syariah di Indonesia sebagai model alternatif dalam penyusunan laporan keuangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya praktek kecurangan–kecurangan (fraud) seperti earning management, income smoothing, window dressing, lapping dan teknik-teknik lainnya yang biasa digunakan oleh manajemen perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan.
    Untuk lebih jelas penulis akan memberikan fakta yang terjadi pada perusahaan WorldCom. Perusahaan telekomunikasi dengan klaim aset 107 miliar dolar (sepadan dengan Rp 963 triliun) itu bangkrut. Inilah fakta kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah Amerika.
    Tumbangnya perusahaan ini, seperti sengatan mematikan bagi perekonomian Amerika, setelah sebelumnya Enron, Merck, dan Xerox ikut sempoyongan diguncang skandal manipulasi keuangan. WorldCom Cs tentu bukan jenis entitas bisnis yang baru muncul ke permukaan. Kapitalisasi mereka di New York Stock Exchange yang begitu besar dan iming-iming laba yang terus mereka cetak dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, jelas magnet penyedot perhatian pebisnis top di seantero dunia untuk berebut membeli sahamnya.
    Tapi siapa yang menyangka, akal-akalan mereka dengan memalsukan laporan akuntansi telah membuat perusahaan itu sangat rapuh. Keuntungan miliaran dolar yang tertera dalam laporan keuangannya, tak lebih dari sebuah kepalsuan yang dirangkai oleh akuntan-akuntan yang tak bertanggung jawab.
    WorldCom hanya sekadar contoh dari sebuah peradaban yang menempatkan ilmu akuntansi menghamba kepada kepentingan pemilik modal (stockholder). Di sini, kisi dan ruang akuntansi sebagai media transparansi dan pertanggungjawaban dipelintir untuk satu alasan yaitu bagaimana caranya menguntungkan bagi pemilik modal.
    Sekali-sekali, cara-cara itu memang mendapatkan untung. Namun sungguh picik, mengira publik sebagai tempat sampah yang hanya bisa menerima tanpa mampu mengukur kebenaran yang disampaikan melalui laporan keuangan itu. Dan sekali terbongkar, reputasi yang bertahun-tahun mereka bangun hancur berantakan.
    Realitas menyulap laporan keuangan yang banyak terjadi dalam paradigma kapitalis menunjukkan betapa sistem akuntansi kapitalis selalu berpeluang melahirkan malapetaka. Sistem akuntansi kapitalis yang memang dari asalnya didesain untuk mendukung pemilik modal.
    Di sinilah bedanya sistem akuntansi kapitalis dan Islam dibangun. Akuntansi Islami bukan saja untuk melayani kepentingan stockholder, tapi juga semua pihak yang terlibat atau stakeholder. Itu berarti ada upaya melindungi kepentingan masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dunia flora-fauna, berikut lingkungan yang menjadi habitatnya.
    Karena itu, Akuntansi Islam bukan selalu bicara angka. Sebaliknya, domain akuntansi juga mengukur perilaku (behavior). Konsekuensinya, akuntasi Islam menjadi mizan dalam penegakan ketertiban perdagangan, pembagian yang adil, pelarangan penipuan mutu, timbangan, bahkan termasuk mengawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang bisa merugikan kalangan lain. Kalau rambu-rambu dasar seperti ini yang diterapkan, yakin tragedi WorldCom tak terjadi. Itu bisa dilakukan karena akuntansi tak lagi menghamba kepada kepentingan pemilik modal, tapi lebih dari itu inheren dengan penegakan keadilan dan kebenaran.
    Dasar-dasar bisnis dengan merujuk praktik akuntansi Islam sebenarnya sudah diterapkan Rasulullah saat membangun Madinah. Tinggal kini bagaimana mentransfer warisan Nabi Muhammad yang berupa nilai-nilai normatif itu ke dalam tataran empirisme.
    Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Berikut ini penulis akan gambarkan perbedaan struktur dan konsep akuntansi konvensional dengan konsep akuntansi syariah :
    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Konvensional
    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Islami (Syariah)
    Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini rencananya akan diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah. Hanya saja, PSAK dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan.
    Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.
    Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sini. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena pendekatan dasar akrual memang membuka peluang trik-trik curang dalam pembukuan. Tragedi WorldCom terjadi karena akuntannya memanfaatkan lubang-lubang dasar akrual, yang pada akhirnya merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan itu dikarenakan banyak keuntungan yang masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.
    Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi Islam harus terus didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.
    C. Ekonomi Syariah bukan monopoli Islam
    Perbankan syariah? Terbitnya UU No 10/1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU No 7/1992, memang telah memicu perkembangan perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir ini. UU yang memberi peluang diterapkannya dual banking system dalam perbankan nasional ini dengan cepat telah mendorong dibukanya divisi syariah di sejumlah bank konvensional. Sejak didirikannya Lembaga Keuangan Syariah secara resmi 1 November 1991 lalu dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI), lambat laun terus berkembang ke bank-bank umum (konvensional), baik bank pemerintah maupun swasta di seluruh Indonesia.
    Walaupun masih dalam tahap awal, perkembangan bank syariah di Indonesia termasuk luar biasa. Dalam periode tahun 1998 sampai akhir 2002, perbankan syariah telah tumbuh rata-rata sebesar 57,60 persen, berarti jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan perbankan nasional yang hanya 12,3 persen. Hingga saat ini, sedikitnya sudah ada dua bank umum syariah di Tanah Air, yakni Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berdasarkan data dari BI, jumlah Bank Syariah di Indonesia meningkat, dari 83 buah terdiri dari bank umum, unit usaha dan BPR Syariah (BPRS) menjadi 91 buah, sedangkan jumlah kantor sebanyak 203 tersebar di 29 kota dan BPRS di 44 kota di seluruh Indonesia dengan total aset seluruhnya mencapai Rp 3,7 triliun dan ditambah dana pihak ketiga sebesar Rp 2,5 triliun.
    Bahkan, sejumlah bank umum pemerintah maupun swasta diperkirakan akan membuka cabang-cabang syariah dan merambah kepada unit-unit industri keuangan lainnya seperti reksa dana syariah, dana syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan obligasi syariah dengan sistem penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangannya. Prinsip-prinsip syariah ini memberi peluang untuk berkembangnya pola-pola pendanaan yang bersifat ekonomi sosial dalam memberdayakan masyarakat luas.
    Bank Syariah memang berkembang mengikuti pesatnya dunia perbankan tanpa harus lepas dari syariah itu sendiri. Bahkan, prospek perbankan syariah ke depan sangat cerah. Karena lembaga keuangan syariah dengan prinsip bagi hasil yang adil sebenarnya bukan monopoli umat Islam, tetapi berlaku universal untuk semua masyarakat. Dengan konsep universal, maka siapa pun bisa menggunakan konsep perbankan tersebut. Selain itu, kehadiran perbankan syariah bisa memberi kontribusi yang sangat positif terhadap perekonomian nasional.
    Walau demikian, dalam perkembangannya, bank syariah tak luput dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pelaksana perbankan syariah. Sebab, sejauh ini masih banyak tantangan berat yang harus dihadapi dan diantisipasi oleh seluruh komponen yang terkait dengan Bank Syariah, diantaranya sebagai berikut :
    Pertama, secara kuantitatif peranan perbankan syariah dinilai masih sangat kecil sehingga pengaruhnya belum dapat dirasakan secara nasional. Sebab, total aset milik perbankan syariah hanya sekitar 0,33 persen, sedangkan kondisi di Malaysia saja sudah 8 persen.
    Kedua, praktek atau realisasi pelaksanaannya di lapangan-terutama bank konvensional yang membuka unit usaha syariah-masih diragukan, apakah sudah sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang sebenarnya. Sebab, mungkin saja masih melaksanakan praktik-praktik bank konvensional dalam menghitung konvensi bunga, bukan dengan perhitungan bagi hasil tanpa sistem riba, gharar (ketidakjelasan) dan maisyir (spekulasi). Perbankan syariah pun tidak mengenal adanya negative spread.
    Ketiga, tampaknya para ulama belum memiliki pandangan dan komitmen yang sama dan mantap mengenai perbankan syariah meskipun memang sudah ada kumpulan fatwa yang disebut Dewan Syariah Nasional MUI.
    Keempat, dukungan dari masyarakat terutama umat Islam. Namun dukungan dari pemerintah dan DPR belum terlihat, misalnya, dalam bentuk landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Padahal, perbankan syariah punya landasan filosofis dan secara konseptual sangat berbeda dengan prinsip bank konvensional.
    Bila memperhatikan permasalahan yang menjadi tantangan berat tersebut, mungkin poin terakhir yang dinilai kian mendesak adalah landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Walau diakui kini sudah ada UU No 10/1998 yang merupakan penyempurnaan UU No 7/ 1992, ditambah Perpu No 72/1992 yang menjelaskan pengertian bank bagi hasil serta UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (yang memberi wewenang BI untuk membina, mengawasi dan mengembangkan perbankan syariah), praktis tidak ada peraturan perundangan pendukung lainnya. Ini menyebabkan perbankan syariah berusaha menyesuaikan produk-produknya dengan hukum yang berlaku.
    Tidak adanya landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah membuat ciri-ciri khusus yang menjadi keunggulan perbankan syariah bila dibandingkan dengan perbankan konvensional tentu saja menjadi kurang dominan. Akibatnya, penampilan perbankan syariah pun tak jauh beda dengan perbankan konvensional.
    Karena itu, sudah waktunya bila eksistensi perbankan syariah memiliki regulasi sendiri, yakni UU Perbankan Syariah yang mengatur hal-hal mendasar tentang bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah seungguhnya. UU yang bersifat khusus ini, memang kian mendesak dan sangat diperlukan, mengingat perbedaan karakter yang sangat menonjol dalam praktik bank syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional.
    Dalam hal ini, nilai-nilai syariah harus menjadi roh bagi seluruh ketentuan yang disusun dalam UU Perbankan Syariah. Suatu undang-undang yang diharapkan mampu membuka peluang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat dan meratanya distribusi pendapatan, sehingga akan tercipta keadilan ekonomi di masyarakat, di samping harus mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi nasional yang kini tengah terpuruk.
    Selain itu, juga harus berorientasi kepada penciptaan sebesar-besarnya kemaslahatan, baik dalam tatanan nasional maupun internasional. Dan yang tak kalah pentingnya, UU Perbankan Syariah harus dapat melonggarkan batasan dari pemerintah, sepanjang batasan itu tidak melanggar prinsip syariah.
    Dengan terbitnya UU Perbankan Syariah, diharapkan pelaksanaan lembaga keuangan syariah akan lebih baik dan lebih berperan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional menuju masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera
    D. Konsep Bagi Hasil
    Pembahasan menyangkut konsep bagi hasil atau Profit-Loss Sharing (PLS) ternyata bukan hanya menjadi konsen bagi Muslim saja. Di Barat, beberapa ekonom seperti Holmstrom, Stiglitz, Weitzman, Stadler, dan Castrillo di antara sedikit ekonom yang ikut mengupas konsep PLS. Pembahasan yang sudah dilakukan termasuk optimalisasi kontrak dalam berbagai macam kondisi. Dalam pembahasan itu, diuraikan beberapa aspek yang menjadi pembeda antara lain tingkat informsi yang didapat pihak-pihak yang melakukan kontrak, preferensi, serta tingkat dari ketidakpastian produksi dari usaha yang dilakukan.
    Kontrak bagi hasil pada dasarnya memberikan keleluasan bagi mudhorib (pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Inez-Stadler (1996) menurunkan fungsi sharing sebagai alat ukur indeks berapa tingkat bagi hasil yang diharapkan berdasarkan preferensi pihak-pihak yang melakukan kontrak (karena berbagai keterbatasan formula matematiknya tidak dikemukakan di sini).
    Baldwin (1998) dengan persamaan matematiknya membuktikan pula bahwa transaksi sharing sangat rasional. Sementara penelitian Kuhn-Tucker berhasil menggambarkan kondisi simetrik (dipenuhinya informasi bagi masing-masing pihak yang bertransaksi) memenuhi asas rasionalitas dan Pareto Optimal (pengukuran efisiensi dari alokasi dan distribusi sumber daya yang paling optimal atau dikenal dengan agency theory). Dalam kondisi ideal dimana masing-masing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best solution). Namun tentu tak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna.
    Ketidaksempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sekedar sebagai contoh, shohibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudhorib (debitor). Namun karena miskinnya informasi berkait dengan tingkat pengembalian (expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal sangat terbuka akan mengalami kemungkinan kerugian.
    1. Ketidaksempurnaan Informasi
    Dalam kontrak bagi hasil, shohibul maal akan menghadapi beberapa masalah yang potensial. Itu terjadi karena tidak sempurnanya akses informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Dua masalah yang paling menonjol adalah: (1) sulitnya menilai tingkat kegiatan usaha debitor (unobservable effort) dan (2) terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat produktifitas usaha (hidden productivity).
    Tentang keterbatasan informasi itu, kondisi ideal memang belum bisa didapatkan. Karena belum bisa mendapatkan kondisi ideal menyusul tidak sempurnanya informasi yang diterima, inilah yang harus diulas lebih jauh. ada dua jenis ketidaksempurnaan informasi (incomplete information): bersifat alamiah dan kurangnya informasi sebagai karena sudah didisain/disengajakan (engineered asymmetric information). Risiko bisnis termasuk dampak dari kurangnya informasi. Dan ini masih bisa diterima.
    Sedangkan, miskinnya informasi yang diterima karena unsur kesengajaan, jelas tidak diperbolehkan. Yang salah dalam ekonomi konvensional, mereka memindah begitu saja risiko bisnis menjadi risiko yang harus dibayar lebih mahal (risk premium) atau lebih sering disebut sebagai discount rate.
    2. Pilihan kontrak
    Lebih lanjut jenis kontrak dalam bagi hasil. Untuk menentukan jenis kontrak yang akan dipilih, persoalannya tidak gampang bagi Muslim. Sebab, mereka sekurangnya harus mengantongi dua persyaratan sekaligus, baru kontrak boleh dijalankan. Syarat pertama, tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus, dan yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak boleh melenceng dari pedoman syariah.
    Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian. Anjuran itu antara lain adalah transparansi dalam membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), amanah (lower preference for opportuniy cost), Bila ketiga syarat tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa mencapai apa yang disebut di muka kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution).
    Namun, seperti telah diurai di depan, keterbatasan informasi telah membuat ikondisi ideal tidak tercapai. Dampaknya, ekspektasi pendapatan menjadi rendah. Dalam hal hasil akhir, kualitas transaksi sharing sangat tergantung pada sedikitnya tiga faktor utama. Pertama, akses terhadap informasi (transparansi). Dengan kepemilikan informasi yang cukup, akan mengurangi kondisi moral hazard.
    Dengan demikian, para pelaku transaksi bisa saling mengukur bagaimana ekspektasi usahanya apakah akan mendatangkan hasil optimal atau sebaliknya. Kedua, preferensi dari pelaku transaksi. Nila transaksi dilakukan secara amanah dan terbuka, akan secara efektif menurunkan moral hazard.
    Beberapa transaksi bagi hasil dimana diberikan insentif bonus bila transaksi mencapai tingkat prestasi tertentu, diharapkan dapat meningkatkan kualitas transaksi. Ketiga, standar akuntansi yang memadai. Salah satu syarat yang menentukan keberhasilan bagi hasil adalah sistem akuntasni yang sesuai dengan prinsip syariah. Konsep ini harus memberikan panduan tentang penentuan difinisi pendapatan dan biaya. Juga, tentang tingkat risiko dari transaksi.
    E. Akuntansi yang Islami (Akuntansi Syariah)
    Masyarakat Islam memakai hukum Islam (syariah) yang memakai ketentuan dari kitab suci Al Qur’an dan Hadis. Peraturan akuntansi pun demikian, harus berdasarkan syariah yang berlaku.
    Tujuan diberlakukannya ekonomi dan akuntansi Islam adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan (sosial maupun ekonomi) dan melindungi hak milik masyarakat. Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat muslim menyebabkan berkembangnya perbankan, asuransi dan instansi keuangan lainnya dengan sistem pembiayaan “bebas bunga” berbeda dengan sistem pembiayaan ekonomi modern. Hal ini didasari oleh dilarangnya bunga / interest dalam syariah sehingga pembiayaan lembaga-lembaga ini didasarkan pada penggunaan equity-funding / leasing dan installment sales. Basis pembiayaan dalam Islam adalah equity participation yaitu pendapatan yang dibagi berdasarkan perjanjian pembagian profit/loss sebelumnya.
    Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menghindari ketidakpercayaan dan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan menjamin fairness dari akuntansi, serta pendistribusian hak dan kekayaan secara merata. Untuk mendukung tujuan ini, dibentuklah akuntansi syariah yang tujuannya adalah sebagai berikut :
    1. Circulation of Wealth:
    Kekayaan harus disirkulasi secara luas dan tidak terkonsentrasi pada sekelompok orang. Tujuan ini dicapai melalui zakat, sedekah dan pelarangan tingkat bunga.
    2. Prohibition of Interest:
    Bunga merupakan alat yang paling pasti untuk mengakumulasikan kekayaan dengan menghindari resiko. Hal ini dilarang dalam hukum Islam dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang memiliki uang disediakan cara yang mudah untuk meningkatkan kekayaan mereka sementara orang-orang yang membutuhkannya tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan karena keharusan membayar buga yang belum tentu mampu mereka tanggung. Islam menganggap hal ini tidak adil. Jenis investasi yang diizinkan adalah equity based partnership maupun shareholding.
    3. Halal Trade :
    Investasi hanya boleh dilakukan dalam aktivitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan termasuk perjudian, alkohol dan hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat). Pemberian informasi yang tidak benar dilarang. Hal ini mengimplikasikan adanya full disclosure and fair measure or valuation.
    4. Forbidden transactions and contracts:
    Semua jenis kontrak harus jelas, kontrak yang tidak jelas dilarang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan pertentangan antar pihak yang terkait. Tarnsaksi pinjam-meminjam dan transaksi lainnya yang merupakan kewajiban di masa yang akan dating (partnership, joint venture) harus dicatat dan diawasi. Transaksi spekulatif dilarang. Dalam Equity; fair selling price ditentukan dalam competitive market, tidak ada penipuan ataupun monopoli. Asuransi konvensional didasarkan pada takaful yaitu co-operative saving dimana bagian tertentu dialokasikan untuk klaim dari kewajiban kontijensi.
    F. Kepemilikan Dalam Islam
    1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
    “Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
    Para fukoha memberikan batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa “milik” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
    Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara’, maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar’i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
    Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang “miliknya” mereka terhalang oleh hambatan syara’ yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
    2. Jenis-jenis Kepemilikan
    Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagad raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu “diberikan” atau “dititipkan” kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT.
    Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
    Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara’ yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
    3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.
    Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, (2) akad, (3) penggantian dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
    3.1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.
    Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
    3.2. Akad
    Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
    3.3. Penggantian
    Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ” Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya.” (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
    3.4. turunan dari sesuatu yang dimiliki
    Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
    a. kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
    b. kepemilikan karena berburu atau memancing.
    c. rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
    d. kepenguasaan atas barang tambang.
    Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.
    G. Konsep Investasi dalam Akuntansi Syariah
    Seperti telah disebutkan sebelumnya, akuntansi syariah melarang adanya bunga/interest atas pinjaman. Hal ini menyebabkan sistem perbankan konvensional yang merupakan institusi keuangan penting dalam modern economics dilarang keberadaannya. Walaupun demikian, ketidakberadaan interest, tidak berarti cost of capital sama dengan nol. Yang illegal adalah penentuan predetermined fixed rate (riba) on capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi resiko dengan pihak peminjam. Islam memperbolehkan profit and loss sharing partnership (baik active maupun sleeping partnerships). Beberapa alasan dilarangnya bunga (fixed interest) adalah :
    1). Interest dapat diartikan bahwa lender dijamin memperoleh uang tanpa perlu berusaha. Islam tidak menyukai ini karena dianggap akan menimbulkan ketergantungan terhadap bunga dan menyebabkan orang malas untuk bekerja. Hal ini terbukti terjadi di Inggris pada awal abad ke-19, saat kaum berharta hidup dari pendapatan bunga yang mereka peroleh dan tidak bekerja.
    2). Memperbolehkan tingkat bunga mengurangi rasa tolong-menolong dalam masyarakat. Contohnya, meminjamkan uang tanpa mengharapkan balasan merupakan cara untuk menolong orang lain tapi motivasi untuk melakukan ini turun karena pemilik uang tadi dapat memperoleh hasil melalui bunga.
    3). Bunga berarti eksploitasi dimana orang-orang yang membutuhkannya harus bekerja lebih keras selain untuk menghidupi dirinya sendiri, juga untuk membayar bunga pinjamannya.
    Islam memperbolehkan opportunity cost dan risk dalam deferred dan installment sales serta memperbolehkan deferred price untuk lebih tinggi dari cash price. Juga memperbolehkan operational leasing dan persewaan. Jadi pelarangan yang sangat ketat hanyalah pada pelarangan adanya tingkat bunga. Pengusaha dapat berpartisipasi dalam bisnis melalui partnership, equity shareholding and commenda. Ketiganya memerlukan perhitungan pendapatan dan penilaian asset untuk distribusi keuntungan. Dalam conventional accounting, investor lebih dianggap sebagai lender of capital daripada participant in the business. Metode-metode ini diterapkan dalam perbankan syariah dan asuransi syariah (takaful). Dana dimobilisasi melalui media-media berikut ini :
    1). ‘al wadia’ – penyimpanan secara aman dengan jaminan pengembalian deposit, tapi tanpa bunga. Lembaga keuangan dapat mempergunakan dana ini selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah, contoh dipakai untuk berjudi, industri minuman keras dan lainnya. Lembaga keuangan diperbolehkan untuk memberikan bagian keuntungannya sebagai ‘hadiah’ tapi hal ini tidak dijamin sebelumnya.
    2). investment account – depositor menyimpan uangnya sebagai investor dan bank sebagai partnernya. Bank membagi keuntungan yang diperolehnya dari investasi dengan depositor berdasakan proporsi yang telah disetujui sebelumnya. Tapi tidak ada jaminan bahwa depositor dapat memperoleh modalnya kembali.
    Sementara, Islamic financing Techniques (tehnik pembiayaan syariah) terdiri atas:
    1). Mudarabah (trust financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan kas kepada borrower dan berbagi dalam net profits dan net losses dari bisnis. Pinjaman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
    2). Murabaha (cost-plus trade financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan pembiayaan untuk membeli barang dan mendapat bagian keuntungan ketika barang terjual. Dalam sistem ini, Bank tidak bertanggung-jawab atas kerugian yang terjadi.
    3). Musharaka (participation financing) yaitu Bank menyediakan bagian dari equity dan working capital untuk bisnis peminjam, dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian.
    4). Ijara (rental financing) yaitu Bank membeli peralatan dan menyewakannya kepada perusahaan, perusahaan dapat pula melakukan capital lease.
    Transaksi musharakah dan mudaraba memerlukan nilai pendapatan untuk menentukan dan mendistribusikan keuntungan pada deposit holders. Abdelgader (1990) menemukan kesulitan-kesulitan berikut ini dalam menentukan dan mendistribusikan profit pada bank-bank di Sudan :
    a) Time lag antara deposit dan investasi, dimana profit depositor didasarkan pada jangka waktu penyimpanannya, sementara investasi tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada jangka waktu deposito.
    b) Hak depositor untuk menarik dananya kapan saja sementara investasi tidak se-flexible itu.
    c) Kebutuhan untuk memastikan fairness terhadap depositor yang menarik uangnya padahal bagiannya dalam profit belum diketahui.
    d) The pooling berbagai jenis dana, misalnya savings, investment, current account dan equity bank sendiri dibandingkan dengan penghasilan dari berbagai aktivitas bank.
    e) Masalah bank expenses: haruskah proporsi tertentu dari banks own expenses dibebankan kepada investment profit?
    Masalah-masalah di atas mengindikasikan bahwa income determination dan valuation concepts merupakan hal yang penting. Berikut ini akan dibahas perlakuan akuntansi terhadap pembiayaan melalui mudharaba,murabaha dan musharaka.
    1. Akuntansi Investasi Mudarabah
    a. Pengakuan Investasi Mudarabah
    Seperti telah disinggung sebelumnya, investasi mudaraba adalah partnership dalam modal dan pekerjaan, lembaga keuangan yang menyediakan modal dan penerima uang yang melakukan pekerjaan. Investasi ini diakui ketika modal (uang dan sejenisnya) diserahkan kepada mudarib (orang yang akan memanfaatkannya) atau berada di bawah tanggung jawabnya. Apabila penyerahan uang atau barang modal ini dilakukan secara cicilan, maka setiap cicilan diakui pada saat penyerahannya. Dan apabila kontrak Mudaraba berupa kontijensi atas terjadinya suatu peristiwa atau ditunda di masa yang akan datang (pemberian modal melalui Mudarabah tergantung kondisi tertentu di masa yang akan datang) tetap saja investasi ini diakui ketika sudah dibayarkan kepada Mudarib. Jadi tidak perlu dicatat terlebih dahulu.
    Transaksi ini dicatat pada laporan keuangan sebagai “Mudarabah Financing”, bila bentuk modal yang diserahkan adalah non monetary asset, dilaporkan seabagai “non monetary Mudarabah assets”
    b. Metode Pengukuran Investasi Mudaraba
    a) Saat dimulainya kontrak
    Jumlah yang dilaporkan adalah sesuai jumlah yang benar-benar diserahkan kepada Mudarib. Mudarabah yang disediakan dalam bentuk trading assets atau non-monetary assets harus diukur pada fair value-nya yang merupakan kesepakatan antara lembaga keuangan dengan kliennya. Apabila fair value asset yang diserahkan melebihi book valuenya, dicatat sebagai profit/loss bagi lembaga keuangan yang menyerahkan assetnya. Biaya-biaya yang terjadi tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian antara kedua belah pihak.
    b) Pada akhir periode
    Nilai investasi Mudarabah tetap sejumlah kontrak awalnya kecuali ada pembayaran (repayment) yang akan mengurangi nilai Mudarabah. Apabila bagian dari Mudaraba capital mengalami kerugian, harus dilihat apakah hal ini akibat kesalahan dari pihak Mudarib atau bukan. Bila bukan, kerugian ini akan dibebankan pada nilai investasi Mudaraba (mengurangi nilainya) dan dianggap sebagai kerugian Lembaga Keuangan tapi bila hal ini dianggap kesalahan pihak Mudarib, nilai modal mudarabah tidak akan dikurangi. Demikian juga halnya bila keseluruhan dana Mudarabah mengalami kerugian, bila bukan akibat kesalahan Mudarib, dibebankan seluruhnya sebagai kerugian Lembaga Keuangan. Saat perjanjian Mudaraba selesai dan pihak Mudarib belum membayar pokok ditambah bagian keuntungan/kerugian kepada lembaga keuangan, dicatat sebagai Receivable dari Mudarib.
    c. Pengakuan Profit/Loss yang Terjadi
    Profit dan Loss yang terjadi dalam investasi Mudaraba diakui pada akhir periode saat kontrak dianggap selesai. Bila pembayaran profit/loss ini dilakukan secara berkala, pencatatannya disesuaikan dengan saat diterimanya profit/loss tersebut. Kerugian yang terjadi diakui saat kontrak selesai, apabila hal ini dinilai sebagai kesalahan pihak Mudarib, loss akan diakui sebagai receivable due from Mudarib,
    d. Pengungkapan yang diperlukan
    Pengungkapan dalam catatan laporan keuangan apabila lembaga keuangan membuat cadangan penurunan nilai asset Mudarabah.
    2. Akuntansi Investasi Musharaka
    Investasi Musharaka adalah bentuk partnership dimana kedua belah pihak menyerahkan modal yang seimbang dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian yang terjadi.
    a. Pengakuan Investasi Musharaka
    a) Saat dimulainya kontrak
    Bagian Lembaga keuangan dalam modal Musharaka (uang atau sejenisnya) diakui pada saat penyerahan dilakukan kepada partnernya dan akan dicatat sebagai Musharaka financing with…(client name) dan dimasukkan dalam laporan keuangan di bawah judul “Musharaka financing”. Apabila modal yang diserahkan berupa trading assets atau non monetary assets, harus dinilai pada fair value asset tersebut (nilai yang disepakati kedua belah pihak) dan perbedaan fair value dengan carrying value yang terjadi dianggap sebagai profit/loss lembaga kuangan. Biaya yang timbul dalam pembuatan kontrak tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian sebelumnya.
    b) Pada akhir periode keuangan
    Nilai investasi Musharaka dinilai pada Historical Cost, yaitu nilai pada saat kontrak dibuat. Bagian lembaga keuangan dalam Musharaka yang berkurang nilainya harus dinilai pada akhir periode keuangan sebesar historical cost dikurangi bagian yang diserahkan kepada partnernya. Perbedaan antara nilai historical cost dan fair value diakui sebagi keuntungan/kerugian dalam lapran keuangan. Bila kontrak Musharaka selesai dan pihal lembaga keuangan belum menerima bagiannya, dianggap sebagai receivable due from partner.
    b. Pengakuan Profit and Losses
    Profit/loss yang terjadi sesuai bagian dalam transaksi keuangan Musharaka dalam periode keuangan tertentu akan diakui saat akhir tahun. Apabila kontrak dilakukan untuk lebih dari satu tahun, profit/loss harus diakui saat terjadinya.
    Apabila terjadi kerugian akibat kesalahan partner dalam Musharaka financing, loss ini akan dianggap sebagai receivable due from partner. Dan pada akhir kontrak, bagian yang belum diterima dari kontrak Musharaka dianggap sebagai piutang/receivable.
    3. Akuntansi Investasi Murabaha
    Yaitu jenis investasi dimana lembaga keuangan membeli asset dengan maksud untuk dijual kembali atau atas pesanan pembeli.
    a. Pengukuran nilai asset dalam Investasi Murabaha
    a) Saat asset diakuisisi
    Asset diukur dan dicatat pada historical cost pada saat diakuisisi
    b) Setelah akuisisi
    Asset available for sale yang dibeli berdasarkan pesanan dimana pemesan bersedia memenuhi kewajibannya, dinilai berdasarkan historical cost. Apabila nilai asset berkurang akibat kerusakan, pengurangan nilai ini dapat digambarkan dalam penilaian asset setiap akhir periode keuangan. Tetapi apabila pemesan barang tidak bersedia memenuhi kewajibannya, asset dinilai pada net realizable value.
    Dalam kasus dimana lembaga keuangan memberikan diskon kepada pembelinya dalam kontrak Murabaha, diskon ini akan dianggap sebagai pengurang nilai aktiva atau dianggap pendapatan dan diakui dalam laporan rugi laba bila disetujui board of Islamic bank.
    b. Murabaha Receivables
    Short Term maupun Long Term Murabaha receivables dicatat pada face value saat terjadinya. Receivables ini akan diukur pada akhir periode keuangan pada nilai cash equivalentnya, yaitu jumlah terhutang konsumen pada akhir periode keuangan dikurangi provision untuk doubtful debt.
    3. Profit Recognition
    Profit Murabaha diakui pada saat kontrak bila penjualan dilakukan secara kas atau secara kredit yang tidak melebihi periode saat ini. Profit yang diterima secara angsuran diakui melalui salah satu dari dua metode berikut :
    1). Alokasi profit secara proporsional selama masa kredit
    2). Dicatat pada saat angsuran diterima
    Deferred profit yang terjadi di-offset terhadap Murabaha receivables dalam statement of financial position.
    H. Perbandingan Akuntansi Investasi Syariah dan Konvensional
    Dari pembahasan sebelumnya mengenai jens-jenis investasi dalam akuntansi syariah, yaitu investasi Mudaraba, Musharaka dan Murabaha, terlihat adanya beberapa hal yang berbeda secara konseptual dengan akuntansi konvensional.
    Yang pertama adalah konsep investasi sendiri, dalam akuntansi syariah, pemberian pinjaman yang dalam akuntansi konvensional dianggap sebagai Receivable dimasukkan sebagai bentuk investasi dan atas pemberian pinjaman ini tidak dikenakan bunga. Jadi tidak ada interest on receivable. Pendapatan lembaga keuangan adalah melalui pembagian profit. Hal ini sesuai dengan ketentuan dilarangnya predetermined fixed rate yang dianggap merugikan peminjam dana. Penggolongan receivable ini sebagai jenis investasi terbukti dari tidak adanya tuntutan atas pelunasan dimasa depan, jadi bila peminjam dana tidak dapat melunasi pinjamannya akibat hal yang bukan kesalahannya, ia tidak akan dituntut untuk melunasi pinjamannya. Untuk lembaga keuangan yang memeberikan pinjaman, juga tidak akan mencatatnya sebagai bad debt tetapi sebagai rugi akibat investasi.
    Perbedaan lainnya dilihat dari konsep investasi adalah investasi ini tidak dinilai berdasarkan amortized cost ataupun fair value seperti halnya jenis investasi dalam akuntansi konvensional, investasi syariah dinilai berdasarkan historical costnya.
    Yang kedua adalah kejelasan kontrak. Setiap transaksi dalam investasi syariah; baik pencatatan investasi, profit, loss dan lainnya harus didasarkan pada kejadian yang sudah benar-benar terjadi. Selain itu untuk beberapa hal (contohnya kapitalisasi biaya) harus didasarkan pada perjanjian/kontrak yang jelas antara kedua belah pihak.
    I. Penutup
    Akuntansi Syariah didasarkan atas asas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada sistem kapitalisme. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.
    Beberapa perbedaan yang cukup mendasar adalah konsep pinjaman yang dianggap sebagai investasi, tidak diberlakukannya bunga dan sistem pembagian profit antara lembaga keuangan dengan pihak peminjam dana. Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.
    Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.
    Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial. Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini

    IRNA CHAIRUNNISA (063403256_B) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:34 am

    Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam
    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.
    Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
    Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah
    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi

    Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam
    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis. Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:

    1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.

    2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).

    3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.

    4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing

    Organization for Islamic Financial just Iflution (AAOIFI) menerbitkan sebuah standard akuntansi untuk lembaga keuangan syariah yang disebut, Accounting, Auditing, and Governance Standard for Islamic Institution.Mungkin secara teori akuntansi islam yang sekarang ini berkembang masih belum matang. Tetapi tugas kitalah, sebagai seorang akademisi akuntansi muslim untuk menyempurnakannya

    Sumber : himasi.blogspot.com

    Prana Adi Perdana (073403151) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:39 am

    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Konvensional
    Struktur dan Sumber Konsep Akuntansi Islami (Syariah)
    Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini rencananya akan diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah. Hanya saja, PSAK dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan.
    Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.
    Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sini. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena pendekatan dasar akrual memang membuka peluang trik-trik curang dalam pembukuan. Tragedi WorldCom terjadi karena akuntannya memanfaatkan lubang-lubang dasar akrual, yang pada akhirnya merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan itu dikarenakan banyak keuntungan yang masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.
    Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi Islam harus terus didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.
    C. Ekonomi Syariah bukan monopoli Islam
    Perbankan syariah? Terbitnya UU No 10/1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU No 7/1992, memang telah memicu perkembangan perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir ini. UU yang memberi peluang diterapkannya dual banking system dalam perbankan nasional ini dengan cepat telah mendorong dibukanya divisi syariah di sejumlah bank konvensional. Sejak didirikannya Lembaga Keuangan Syariah secara resmi 1 November 1991 lalu dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI), lambat laun terus berkembang ke bank-bank umum (konvensional), baik bank pemerintah maupun swasta di seluruh Indonesia.
    Walaupun masih dalam tahap awal, perkembangan bank syariah di Indonesia termasuk luar biasa. Dalam periode tahun 1998 sampai akhir 2002, perbankan syariah telah tumbuh rata-rata sebesar 57,60 persen, berarti jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan perbankan nasional yang hanya 12,3 persen. Hingga saat ini, sedikitnya sudah ada dua bank umum syariah di Tanah Air, yakni Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berdasarkan data dari BI, jumlah Bank Syariah di Indonesia meningkat, dari 83 buah terdiri dari bank umum, unit usaha dan BPR Syariah (BPRS) menjadi 91 buah, sedangkan jumlah kantor sebanyak 203 tersebar di 29 kota dan BPRS di 44 kota di seluruh Indonesia dengan total aset seluruhnya mencapai Rp 3,7 triliun dan ditambah dana pihak ketiga sebesar Rp 2,5 triliun.
    Bahkan, sejumlah bank umum pemerintah maupun swasta diperkirakan akan membuka cabang-cabang syariah dan merambah kepada unit-unit industri keuangan lainnya seperti reksa dana syariah, dana syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan obligasi syariah dengan sistem penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangannya. Prinsip-prinsip syariah ini memberi peluang untuk berkembangnya pola-pola pendanaan yang bersifat ekonomi sosial dalam memberdayakan masyarakat luas.
    Bank Syariah memang berkembang mengikuti pesatnya dunia perbankan tanpa harus lepas dari syariah itu sendiri. Bahkan, prospek perbankan syariah ke depan sangat cerah. Karena lembaga keuangan syariah dengan prinsip bagi hasil yang adil sebenarnya bukan monopoli umat Islam, tetapi berlaku universal untuk semua masyarakat. Dengan konsep universal, maka siapa pun bisa menggunakan konsep perbankan tersebut. Selain itu, kehadiran perbankan syariah bisa memberi kontribusi yang sangat positif terhadap perekonomian nasional.
    Walau demikian, dalam perkembangannya, bank syariah tak luput dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pelaksana perbankan syariah. Sebab, sejauh ini masih banyak tantangan berat yang harus dihadapi dan diantisipasi oleh seluruh komponen yang terkait dengan Bank Syariah, diantaranya sebagai berikut :
    Pertama, secara kuantitatif peranan perbankan syariah dinilai masih sangat kecil sehingga pengaruhnya belum dapat dirasakan secara nasional. Sebab, total aset milik perbankan syariah hanya sekitar 0,33 persen, sedangkan kondisi di Malaysia saja sudah 8 persen.
    Kedua, praktek atau realisasi pelaksanaannya di lapangan-terutama bank konvensional yang membuka unit usaha syariah-masih diragukan, apakah sudah sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang sebenarnya. Sebab, mungkin saja masih melaksanakan praktik-praktik bank konvensional dalam menghitung konvensi bunga, bukan dengan perhitungan bagi hasil tanpa sistem riba, gharar (ketidakjelasan) dan maisyir (spekulasi). Perbankan syariah pun tidak mengenal adanya negative spread.
    Ketiga, tampaknya para ulama belum memiliki pandangan dan komitmen yang sama dan mantap mengenai perbankan syariah meskipun memang sudah ada kumpulan fatwa yang disebut Dewan Syariah Nasional MUI.
    Keempat, dukungan dari masyarakat terutama umat Islam. Namun dukungan dari pemerintah dan DPR belum terlihat, misalnya, dalam bentuk landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Padahal, perbankan syariah punya landasan filosofis dan secara konseptual sangat berbeda dengan prinsip bank konvensional.
    Bila memperhatikan permasalahan yang menjadi tantangan berat tersebut, mungkin poin terakhir yang dinilai kian mendesak adalah landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah. Walau diakui kini sudah ada UU No 10/1998 yang merupakan penyempurnaan UU No 7/ 1992, ditambah Perpu No 72/1992 yang menjelaskan pengertian bank bagi hasil serta UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (yang memberi wewenang BI untuk membina, mengawasi dan mengembangkan perbankan syariah), praktis tidak ada peraturan perundangan pendukung lainnya. Ini menyebabkan perbankan syariah berusaha menyesuaikan produk-produknya dengan hukum yang berlaku.
    Tidak adanya landasan hukum berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya sesuai syariah membuat ciri-ciri khusus yang menjadi keunggulan perbankan syariah bila dibandingkan dengan perbankan konvensional tentu saja menjadi kurang dominan. Akibatnya, penampilan perbankan syariah pun tak jauh beda dengan perbankan konvensional.
    Karena itu, sudah waktunya bila eksistensi perbankan syariah memiliki regulasi sendiri, yakni UU Perbankan Syariah yang mengatur hal-hal mendasar tentang bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah seungguhnya. UU yang bersifat khusus ini, memang kian mendesak dan sangat diperlukan, mengingat perbedaan karakter yang sangat menonjol dalam praktik bank syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional.
    Dalam hal ini, nilai-nilai syariah harus menjadi roh bagi seluruh ketentuan yang disusun dalam UU Perbankan Syariah. Suatu undang-undang yang diharapkan mampu membuka peluang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat dan meratanya distribusi pendapatan, sehingga akan tercipta keadilan ekonomi di masyarakat, di samping harus mampu menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi nasional yang kini tengah terpuruk.

    Dian Kurniawan (073403146) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:42 am

    E. Akuntansi yang Islami (Akuntansi Syariah)
    Masyarakat Islam memakai hukum Islam (syariah) yang memakai ketentuan dari kitab suci Al Qur’an dan Hadis. Peraturan akuntansi pun demikian, harus berdasarkan syariah yang berlaku.
    Tujuan diberlakukannya ekonomi dan akuntansi Islam adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan (sosial maupun ekonomi) dan melindungi hak milik masyarakat. Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat muslim menyebabkan berkembangnya perbankan, asuransi dan instansi keuangan lainnya dengan sistem pembiayaan “bebas bunga” berbeda dengan sistem pembiayaan ekonomi modern. Hal ini didasari oleh dilarangnya bunga / interest dalam syariah sehingga pembiayaan lembaga-lembaga ini didasarkan pada penggunaan equity-funding / leasing dan installment sales. Basis pembiayaan dalam Islam adalah equity participation yaitu pendapatan yang dibagi berdasarkan perjanjian pembagian profit/loss sebelumnya.
    Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menghindari ketidakpercayaan dan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan menjamin fairness dari akuntansi, serta pendistribusian hak dan kekayaan secara merata. Untuk mendukung tujuan ini, dibentuklah akuntansi syariah yang tujuannya adalah sebagai berikut :
    1. Circulation of Wealth:
    Kekayaan harus disirkulasi secara luas dan tidak terkonsentrasi pada sekelompok orang. Tujuan ini dicapai melalui zakat, sedekah dan pelarangan tingkat bunga.
    2. Prohibition of Interest:
    Bunga merupakan alat yang paling pasti untuk mengakumulasikan kekayaan dengan menghindari resiko. Hal ini dilarang dalam hukum Islam dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang memiliki uang disediakan cara yang mudah untuk meningkatkan kekayaan mereka sementara orang-orang yang membutuhkannya tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan karena keharusan membayar buga yang belum tentu mampu mereka tanggung. Islam menganggap hal ini tidak adil. Jenis investasi yang diizinkan adalah equity based partnership maupun shareholding.
    3. Halal Trade :
    Investasi hanya boleh dilakukan dalam aktivitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan termasuk perjudian, alkohol dan hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat). Pemberian informasi yang tidak benar dilarang. Hal ini mengimplikasikan adanya full disclosure and fair measure or valuation.
    4. Forbidden transactions and contracts:
    Semua jenis kontrak harus jelas, kontrak yang tidak jelas dilarang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan pertentangan antar pihak yang terkait. Tarnsaksi pinjam-meminjam dan transaksi lainnya yang merupakan kewajiban di masa yang akan dating (partnership, joint venture) harus dicatat dan diawasi. Transaksi spekulatif dilarang. Dalam Equity; fair selling price ditentukan dalam competitive market, tidak ada penipuan ataupun monopoli. Asuransi konvensional didasarkan pada takaful yaitu co-operative saving dimana bagian tertentu dialokasikan untuk klaim dari kewajiban kontijensi.
    F. Kepemilikan Dalam Islam
    1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
    “Kepemilikan” sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
    Para fukoha memberikan batasan-batasan syar’i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa “milik” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
    Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara’, maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar’i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
    Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang “miliknya” mereka terhalang oleh hambatan syara’ yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

    Irmanudin Ramdani (073403138) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:50 am

    II. B. Sistem Bagi Hasil
    Perhitungan bagi hasil adalah atas dasar laba dan rugi bulanan (dengan sistem revenue sharing). Sistem revenue sharing adalah suatu sistem bagi hasil yang didasarkan kepada tingkat pendapatan usaha. Sedangkan Sistem profit sharing adalah suatu sistem bagi hasil yang didasarkan kepada tingkat laba usaha.
    Secara umum, prinsip bagi hasil dalam Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dalam 4 (empat) akad utama, yaitu : al–musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah dan al–musaqah. Sungguh pun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al–musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al–musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing (pembiayaan pertanian) oleh beberapa Bank Islam.

    1. Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing – masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
    2. Al-mudharabah (trust financing, trust investment) adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
    3. Al-muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
    4. Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

    Nisbah bagi hasil merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil di Bank Syari’ah. Sebab aspek nisbah merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu diperhatikan aspek – aspek :
    – data usaha
    – kemampuan angsuran
    – hasil usaha yang dijalankan
    – nisbah pembiayaan
    – distribusi pembagian hasil

    II. B. Sistem Bunga pada Bank Konvensional
    Operasi Perbankan konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik, penyimpan dana pasti akan memilih bank yang paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan berbagai jenis bonus atau hadiah. Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat bunga simpanan itu ditambah denagn persentase tertentu untuk spread yang terdiri dari : Biaya operasional, cadangan kredit macet, cadangan wajib, dan profit margin, dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam danalah yang sebenarnya membayar bunga simpanan dan spread bagi bank itu.
    Penyaluran kredit kepada nasabah dalam perbankan konvensional juga hanya akan dinikmati oleh mereka yang mempu membayar tingkat bunga yang berlaku. Akibatnya kan selalu ada kesenjangan dan jurang pemisah antara yang mampu dan tidak mampu.
    Karena kepedulian terhadap golongan ekonomi lemah tidak build in sistem, perbankan konvensional, maka untuk mengurangi kesenjangan yang akan selalu terjadi, terpaksa Pemerintah menginjeksikan kewajiban – kewajiban ke dalam sistem Perbankan konvensional itu, berupa peraturan – peraturan yang memaksakan bank agar mempedulikan kebutuhan kredit masyarakat ekonomi lemah, seperti : kewajiban untuk menyalurkan dari portfolio kreditnya sekian % untuk kebutuhan masyarakat ekonomi lemah (ex : Kredit Usaha Kecil). Kesulitan tentu saja timbul karena tidak mudah mencari pengusaha kecil yang mampu membayar bunga yang berlaku. Biasanya untuk melaksanakan kewajiban yang diinjeksikan itu, perbankan konvensional menuntut dapat menurunkan kredit bersubsidi bunga (kredit likuiditas) yang menjadi beban berat Pemerintah untuk mesyarakat ekonomi lemah tertentu. Dengan terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka kredit bersubsidi di masa – masa mendatang akan semakin terbatas (terbatas sama sekali). Ini hambatan dan tantangan yang menghadang upaya pemerataan eksempatan berusaha melalui perbankan konvensional dengan sistem bunga.
    Pertanyaan kembali timbul, apakah bunga bank = riba? Jawabannya akan lebih rinci apabila diekmbalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktik bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Quran dan hadist. Kesamaan itu sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan madharatnya daripada manfaatnya. Kemadharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, karena ada unsur dilarang menurut agama atau menyebabkan kesengsaraan secara ekonomi bagi pihak yang melakukan peminjaman dengan bunga.

    II. C Perbedaan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
    Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Syari’ah dan Syari’ah adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Oleh karena itu, muncullah istilah bunga dan bagi hasil.
    Persoalan bungan bank yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan perdebatan di kalangan pemikir dan fikih Islam. Tampaknya kondisi ini tidak akan pernah berhenti sampai di sini, namun akan terus diperbincangkan dari masa ke masa. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekarang umat Islam telah mencoba mengembangkan paradigma perekonomian dalam rangka perbaikan ekonomi umat dan peningkatan kesejahteraan umat. Realisasinya adalah berupa beroperasinya bank – bank Syari’ah di pelosok Indonesia, yang beroperasi tidak mendasarkan pada bunga, namun dengan sistem bagi hasil.
    Lantas, apa perbedaan sistem bunga dan bagi hasil? Walaupun keduanya sama – sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut.
    SISTEM BUNGA SISTEM BAGI HASIL
    1. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
    2. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Besarnya nisbah (rasio) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
    3. Tidak tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik Tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
    SISTEM BUNGA SISTEM BAGI HASIL
    4. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk agama Islam Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil
    5. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

    Egi Herdiansyah (073403147) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:52 am

    . Konsep Investasi dalam Akuntansi Syariah
    Seperti telah disebutkan sebelumnya, akuntansi syariah melarang adanya bunga/interest atas pinjaman. Hal ini menyebabkan sistem perbankan konvensional yang merupakan institusi keuangan penting dalam modern economics dilarang keberadaannya. Walaupun demikian, ketidakberadaan interest, tidak berarti cost of capital sama dengan nol. Yang illegal adalah penentuan predetermined fixed rate (riba) on capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi resiko dengan pihak peminjam. Islam memperbolehkan profit and loss sharing partnership (baik active maupun sleeping partnerships). Beberapa alasan dilarangnya bunga (fixed interest) adalah :
    1). Interest dapat diartikan bahwa lender dijamin memperoleh uang tanpa perlu berusaha. Islam tidak menyukai ini karena dianggap akan menimbulkan ketergantungan terhadap bunga dan menyebabkan orang malas untuk bekerja. Hal ini terbukti terjadi di Inggris pada awal abad ke-19, saat kaum berharta hidup dari pendapatan bunga yang mereka peroleh dan tidak bekerja.
    2). Memperbolehkan tingkat bunga mengurangi rasa tolong-menolong dalam masyarakat. Contohnya, meminjamkan uang tanpa mengharapkan balasan merupakan cara untuk menolong orang lain tapi motivasi untuk melakukan ini turun karena pemilik uang tadi dapat memperoleh hasil melalui bunga.
    3). Bunga berarti eksploitasi dimana orang-orang yang membutuhkannya harus bekerja lebih keras selain untuk menghidupi dirinya sendiri, juga untuk membayar bunga pinjamannya.
    Islam memperbolehkan opportunity cost dan risk dalam deferred dan installment sales serta memperbolehkan deferred price untuk lebih tinggi dari cash price. Juga memperbolehkan operational leasing dan persewaan. Jadi pelarangan yang sangat ketat hanyalah pada pelarangan adanya tingkat bunga. Pengusaha dapat berpartisipasi dalam bisnis melalui partnership, equity shareholding and commenda. Ketiganya memerlukan perhitungan pendapatan dan penilaian asset untuk distribusi keuntungan. Dalam conventional accounting, investor lebih dianggap sebagai lender of capital daripada participant in the business. Metode-metode ini diterapkan dalam perbankan syariah dan asuransi syariah (takaful). Dana dimobilisasi melalui media-media berikut ini :
    1). ‘al wadia’ – penyimpanan secara aman dengan jaminan pengembalian deposit, tapi tanpa bunga. Lembaga keuangan dapat mempergunakan dana ini selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah, contoh dipakai untuk berjudi, industri minuman keras dan lainnya. Lembaga keuangan diperbolehkan untuk memberikan bagian keuntungannya sebagai ‘hadiah’ tapi hal ini tidak dijamin sebelumnya.
    2). investment account – depositor menyimpan uangnya sebagai investor dan bank sebagai partnernya. Bank membagi keuntungan yang diperolehnya dari investasi dengan depositor berdasakan proporsi yang telah disetujui sebelumnya. Tapi tidak ada jaminan bahwa depositor dapat memperoleh modalnya kembali.
    Sementara, Islamic financing Techniques (tehnik pembiayaan syariah) terdiri atas:
    1). Mudarabah (trust financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan kas kepada borrower dan berbagi dalam net profits dan net losses dari bisnis. Pinjaman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
    2). Murabaha (cost-plus trade financing) yaitu Bank bertindak sebagai partner, menyediakan pembiayaan untuk membeli barang dan mendapat bagian keuntungan ketika barang terjual. Dalam sistem ini, Bank tidak bertanggung-jawab atas kerugian yang terjadi.
    3). Musharaka (participation financing) yaitu Bank menyediakan bagian dari equity dan working capital untuk bisnis peminjam, dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian.
    4). Ijara (rental financing) yaitu Bank membeli peralatan dan menyewakannya kepada perusahaan, perusahaan dapat pula melakukan capital lease.
    Transaksi musharakah dan mudaraba memerlukan nilai pendapatan untuk menentukan dan mendistribusikan keuntungan pada deposit holders. Abdelgader (1990) menemukan kesulitan-kesulitan berikut ini dalam menentukan dan mendistribusikan profit pada bank-bank di Sudan :
    a) Time lag antara deposit dan investasi, dimana profit depositor didasarkan pada jangka waktu penyimpanannya, sementara investasi tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada jangka waktu deposito.
    b) Hak depositor untuk menarik dananya kapan saja sementara investasi tidak se-flexible itu.
    c) Kebutuhan untuk memastikan fairness terhadap depositor yang menarik uangnya padahal bagiannya dalam profit belum diketahui.
    d) The pooling berbagai jenis dana, misalnya savings, investment, current account dan equity bank sendiri dibandingkan dengan penghasilan dari berbagai aktivitas bank.
    e) Masalah bank expenses: haruskah proporsi tertentu dari banks own expenses dibebankan kepada investment profit?
    Masalah-masalah di atas mengindikasikan bahwa income determination dan valuation concepts merupakan hal yang penting. Berikut ini akan dibahas perlakuan akuntansi terhadap pembiayaan melalui mudharaba,murabaha dan musharaka.

    Prana Adi Perdana (073403151) said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:55 am

    1. Akuntansi Investasi Mudarabah
    a. Pengakuan Investasi Mudarabah
    Seperti telah disinggung sebelumnya, investasi mudaraba adalah partnership dalam modal dan pekerjaan, lembaga keuangan yang menyediakan modal dan penerima uang yang melakukan pekerjaan. Investasi ini diakui ketika modal (uang dan sejenisnya) diserahkan kepada mudarib (orang yang akan memanfaatkannya) atau berada di bawah tanggung jawabnya. Apabila penyerahan uang atau barang modal ini dilakukan secara cicilan, maka setiap cicilan diakui pada saat penyerahannya. Dan apabila kontrak Mudaraba berupa kontijensi atas terjadinya suatu peristiwa atau ditunda di masa yang akan datang (pemberian modal melalui Mudarabah tergantung kondisi tertentu di masa yang akan datang) tetap saja investasi ini diakui ketika sudah dibayarkan kepada Mudarib. Jadi tidak perlu dicatat terlebih dahulu.
    Transaksi ini dicatat pada laporan keuangan sebagai “Mudarabah Financing”, bila bentuk modal yang diserahkan adalah non monetary asset, dilaporkan seabagai “non monetary Mudarabah assets”
    b. Metode Pengukuran Investasi Mudaraba
    a) Saat dimulainya kontrak
    Jumlah yang dilaporkan adalah sesuai jumlah yang benar-benar diserahkan kepada Mudarib. Mudarabah yang disediakan dalam bentuk trading assets atau non-monetary assets harus diukur pada fair value-nya yang merupakan kesepakatan antara lembaga keuangan dengan kliennya. Apabila fair value asset yang diserahkan melebihi book valuenya, dicatat sebagai profit/loss bagi lembaga keuangan yang menyerahkan assetnya. Biaya-biaya yang terjadi tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian antara kedua belah pihak.
    b) Pada akhir periode
    Nilai investasi Mudarabah tetap sejumlah kontrak awalnya kecuali ada pembayaran (repayment) yang akan mengurangi nilai Mudarabah. Apabila bagian dari Mudaraba capital mengalami kerugian, harus dilihat apakah hal ini akibat kesalahan dari pihak Mudarib atau bukan. Bila bukan, kerugian ini akan dibebankan pada nilai investasi Mudaraba (mengurangi nilainya) dan dianggap sebagai kerugian Lembaga Keuangan tapi bila hal ini dianggap kesalahan pihak Mudarib, nilai modal mudarabah tidak akan dikurangi. Demikian juga halnya bila keseluruhan dana Mudarabah mengalami kerugian, bila bukan akibat kesalahan Mudarib, dibebankan seluruhnya sebagai kerugian Lembaga Keuangan. Saat perjanjian Mudaraba selesai dan pihak Mudarib belum membayar pokok ditambah bagian keuntungan/kerugian kepada lembaga keuangan, dicatat sebagai Receivable dari Mudarib.
    c. Pengakuan Profit/Loss yang Terjadi
    Profit dan Loss yang terjadi dalam investasi Mudaraba diakui pada akhir periode saat kontrak dianggap selesai. Bila pembayaran profit/loss ini dilakukan secara berkala, pencatatannya disesuaikan dengan saat diterimanya profit/loss tersebut. Kerugian yang terjadi diakui saat kontrak selesai, apabila hal ini dinilai sebagai kesalahan pihak Mudarib, loss akan diakui sebagai receivable due from Mudarib,
    d. Pengungkapan yang diperlukan
    Pengungkapan dalam catatan laporan keuangan apabila lembaga keuangan membuat cadangan penurunan nilai asset Mudarabah.
    2. Akuntansi Investasi Musharaka
    Investasi Musharaka adalah bentuk partnership dimana kedua belah pihak menyerahkan modal yang seimbang dan berbagi dalam keuntungan maupun kerugian yang terjadi.
    a. Pengakuan Investasi Musharaka
    a) Saat dimulainya kontrak
    Bagian Lembaga keuangan dalam modal Musharaka (uang atau sejenisnya) diakui pada saat penyerahan dilakukan kepada partnernya dan akan dicatat sebagai Musharaka financing with…(client name) dan dimasukkan dalam laporan keuangan di bawah judul “Musharaka financing”. Apabila modal yang diserahkan berupa trading assets atau non monetary assets, harus dinilai pada fair value asset tersebut (nilai yang disepakati kedua belah pihak) dan perbedaan fair value dengan carrying value yang terjadi dianggap sebagai profit/loss lembaga kuangan. Biaya yang timbul dalam pembuatan kontrak tidak dikapitalisasi kecuali ada perjanjian sebelumnya.
    b) Pada akhir periode keuangan
    Nilai investasi Musharaka dinilai pada Historical Cost, yaitu nilai pada saat kontrak dibuat. Bagian lembaga keuangan dalam Musharaka yang berkurang nilainya harus dinilai pada akhir periode keuangan sebesar historical cost dikurangi bagian yang diserahkan kepada partnernya. Perbedaan antara nilai historical cost dan fair value diakui sebagi keuntungan/kerugian dalam lapran keuangan. Bila kontrak Musharaka selesai dan pihal lembaga keuangan belum menerima bagiannya, dianggap sebagai receivable due from partner.
    b. Pengakuan Profit and Losses
    Profit/loss yang terjadi sesuai bagian dalam transaksi keuangan Musharaka dalam periode keuangan tertentu akan diakui saat akhir tahun. Apabila kontrak dilakukan untuk lebih dari satu tahun, profit/loss harus diakui saat terjadinya.
    Apabila terjadi kerugian akibat kesalahan partner dalam Musharaka financing, loss ini akan dianggap sebagai receivable due from partner. Dan pada akhir kontrak, bagian yang belum diterima dari kontrak Musharaka dianggap sebagai piutang/receivable.
    3. Akuntansi Investasi Murabaha
    Yaitu jenis investasi dimana lembaga keuangan membeli asset dengan maksud untuk dijual kembali atau atas pesanan pembeli.
    a. Pengukuran nilai asset dalam Investasi Murabaha
    a) Saat asset diakuisisi
    Asset diukur dan dicatat pada historical cost pada saat diakuisisi
    b) Setelah akuisisi
    Asset available for sale yang dibeli berdasarkan pesanan dimana pemesan bersedia memenuhi kewajibannya, dinilai berdasarkan historical cost. Apabila nilai asset berkurang akibat kerusakan, pengurangan nilai ini dapat digambarkan dalam penilaian asset setiap akhir periode keuangan. Tetapi apabila pemesan barang tidak bersedia memenuhi kewajibannya, asset dinilai pada net realizable value.
    Dalam kasus dimana lembaga keuangan memberikan diskon kepada pembelinya dalam kontrak Murabaha, diskon ini akan dianggap sebagai pengurang nilai aktiva atau dianggap pendapatan dan diakui dalam laporan rugi laba bila disetujui board of Islamic bank.
    b. Murabaha Receivables
    Short Term maupun Long Term Murabaha receivables dicatat pada face value saat terjadinya. Receivables ini akan diukur pada akhir periode keuangan pada nilai cash equivalentnya, yaitu jumlah terhutang konsumen pada akhir periode keuangan dikurangi provision untuk doubtful debt.
    3. Profit Recognition
    Profit Murabaha diakui pada saat kontrak bila penjualan dilakukan secara kas atau secara kredit yang tidak melebihi periode saat ini. Profit yang diterima secara angsuran diakui melalui salah satu dari dua metode berikut :
    1). Alokasi profit secara proporsional selama masa kredit
    2). Dicatat pada saat angsuran diterima
    Deferred profit yang terjadi di-offset terhadap Murabaha receivables dalam statement of financial position.
    H. Perbandingan Akuntansi Investasi Syariah dan Konvensional
    Dari pembahasan sebelumnya mengenai jens-jenis investasi dalam akuntansi syariah, yaitu investasi Mudaraba, Musharaka dan Murabaha, terlihat adanya beberapa hal yang berbeda secara konseptual dengan akuntansi konvensional.
    Yang pertama adalah konsep investasi sendiri, dalam akuntansi syariah, pemberian pinjaman yang dalam akuntansi konvensional dianggap sebagai Receivable dimasukkan sebagai bentuk investasi dan atas pemberian pinjaman ini tidak dikenakan bunga. Jadi tidak ada interest on receivable. Pendapatan lembaga keuangan adalah melalui pembagian profit. Hal ini sesuai dengan ketentuan dilarangnya predetermined fixed rate yang dianggap merugikan peminjam dana. Penggolongan receivable ini sebagai jenis investasi terbukti dari tidak adanya tuntutan atas pelunasan dimasa depan, jadi bila peminjam dana tidak dapat melunasi pinjamannya akibat hal yang bukan kesalahannya, ia tidak akan dituntut untuk melunasi pinjamannya. Untuk lembaga keuangan yang memeberikan pinjaman, juga tidak akan mencatatnya sebagai bad debt tetapi sebagai rugi akibat investasi.
    Perbedaan lainnya dilihat dari konsep investasi adalah investasi ini tidak dinilai berdasarkan amortized cost ataupun fair value seperti halnya jenis investasi dalam akuntansi konvensional, investasi syariah dinilai berdasarkan historical costnya.
    Yang kedua adalah kejelasan kontrak. Setiap transaksi dalam investasi syariah; baik pencatatan investasi, profit, loss dan lainnya harus didasarkan pada kejadian yang sudah benar-benar terjadi. Selain itu untuk beberapa hal (contohnya kapitalisasi biaya) harus didasarkan pada perjanjian/kontrak yang jelas antara kedua belah pihak.

    YEVI PURI MULIA (063403243) B said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:55 am

    Akuntansi Syariah dalam sebuah tinjauan
    Oleh: Ahmad Sanusi Nasution,SE
    CP; 085276814343
    A.Latar Belakang
    Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Paertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah ekonomi islam.
    Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam –Al-Qur’an maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi. Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia, baik dalam tataran makro maupun mikro.. Ajaran aama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan.
    Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak melulu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.
    Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dibahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah. Dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability. Wacana Akuntansi Syariah
    Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt.
    PEMBAHASAN
    A.Sejarah Akuntansi Syariah
    Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli yang menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
    Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam bermuamalah (bertransaksi), penunjukan seorang pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M
    B. Prinsip Umum Akuntansi Syari’ah
    Nilai pertanggung jawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam prinsip akuntansi syariah. Apa makna yang terkandung dalam tiga prinsip tersebut? Berikut uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat Al-Baqarah:282.
    Prinsip pertanggung jawaban, Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan.. manusia dibebani olehAllah untuk menjalankan fungsi kehalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.

    CUCU CUNAYAH said:
    Februari 25, 2009 pukul 10:14 am

    Lebih Dekat dengan Akuntansi Syariah

    Ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.
    Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan, paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Alqur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.
    Ada persamaan dan perbedaan antara akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional. Seperti diuraikan oleh pengkaji sosial ekonomi islam Merza Gamal dalam sebuah tulisannya, adapun persamaan kaidah akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal
    3. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang
    4. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya)
    5. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan
    6. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaan, yang dikutip Gamal dari tulisan Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh. (SH)

    ANGGI PURNAMA SARI said:
    Februari 25, 2009 pukul 10:28 am

    NAMA:ANGGI PURNAMA SARI (073403139)

    Saatnya Sistem Ekonomi Islam Menggantikan Sistem Ekonomi Kapitalis

    BY Idham Sirunna

    Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
    Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.
    Penyebab Utama Krisis
    Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).
    Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007).
    Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun.
    Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
    Ekonomi Kapitalisme: Biang Krisis
    Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
    Krisis ekonomi sudah terjadi sejak tahun 1907; disusul dengan krisis ekonomi tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini. Di Asia Tenggara sendiri—khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia—krisis pernah terjadi pada tahun 1997-2002 hingga saat ini.

    Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil
    Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti—atau terikat dengan—sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara.
    Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus.
    Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan.
    Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
    Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil.
    Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.
    1. Pengaturan atas kepemilikan.
    Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
    Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
    Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah.
    2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
    Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.
    Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).
    3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
    Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
    4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
    Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
    Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.
    Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
    Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
    Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).
    Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
    Begitulah sejarah emas kaum Muslim pada masa lalu. Dengan melaksanakan semua syariah Allah dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam ekonomi—sebagai wujud ketakwaan kepada-Nya, Allah telah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi kepada kaum Muslim saat itu. Mahabenar Allah Yang berfirman:

    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

    Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka itu (QS al A’raf [7]: 96).
    Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

    RISKA APRILIA said:
    Februari 25, 2009 pukul 10:36 am

    NAMA:RISKA APRILIA (073403119)

    PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH

    BY:Muhammad Falih Ariyanto

    Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
    Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah.
    PSAK tersebut dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan.
    Penerapan sistem cash basis sangat fundamental. Seperti halnya bank syariah tidak bisa mengalami negative spread karena menggunakan prinsip bagi hasil. Jadi kalau sistem cash basis ini dihilangkan, ciri akuntansi syariah ikut hilang.
    Sistem akuntansi dasar akrual (acrual basis) tidak sensitif dalam mencegah terjadinya kejahatan keuangan. Kasus WorldCom, Enron, semula berawal dari sistem akuntansi akrual tersebut. Laporan keuangan mereka bagus, tapi cash flow mereka buruk. Itu terjadi, karena pendekatan dasar akrual memang membuka peluang kecurangan dalam pembukuan. Tragedi WorldCom terjadi karena akuntan memanfaatkan celah-celah dasar akrual, yang akhirnya merugikan para pemilik saham. Kebangkrutan tersebut terjadi karena banyak keuntungan yang masih berbentuk potensi dibukukan dan diakui sebagai pendapatan.
    Terlepas dari kelemahan PSAK itu, yang jelas teori akuntansi syariah harus terus didukung untuk terus disempurnakan. Agar akuntansi tidak lagi bicara angka, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran. Dan, agar tidak ada lagi WorldCom-WorldCom lain yang menjadi ikon dari dongeng kebangkrutan.
    Sejarah Akuntansi Syariah
    Apabila kita pelajari sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
    Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al-Qur’an menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan :
    “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al-Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494 M. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
    Dalam Al-Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi :
    “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur/menakar tersebut, juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi :
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi :
    “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
    Pengertian Akuntansi Syariah
    Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
    Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
    “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”
    Karena kerja membawa pada ke-ampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw :
    “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)
    Dari paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Tujuan Akuntansi Syariah
    Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
    Terdapat tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
    1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
    2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
    3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
    a. keselamatan keyakinan agama (al din)
    b. kesalamatan jiwa (al nafs)
    c. keselamatan akal (al aql)
    d. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
    e. keselamatan harta benda (al mal)
    Bisnis syariah dewasa ini mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi tren baru dunia bisnis di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim maupun non muslim, perkembangan ini terutama terjadi di sektor keuangan. Perbankan Syariah dan produk-produknya telah beredar luas di masyarakat, Asuransi Syariah dan Reksadana Syariah juga sudah mulai bermunculan. Perkembangan bisnis syariah ini menuntut standar akuntansi yang sesuai dengan karakteristik bisnis syariah sehingga transparansi dan akuntanbilitas bisnis syariah pun dapat terjamin.
    Apabila ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.
    Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan, paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.

    Edwar Hendara (063403213) kls B said:
    Februari 25, 2009 pukul 10:36 am

    Akuntansi dalam Perspektif Islam
    Posted by shariahlife on January 14, 2007
    Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.
    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt.
    Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
    1. Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
    2. Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
    3. Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
    4. Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
    5. Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
    6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha.
    Konsepsi Pelaporan Keuangan
    Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.
    Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.
    Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
    Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini.
    Wallaahu ‘alam biishshowaab

    Silvi Elvira said:
    Februari 25, 2009 pukul 11:14 am

    Draf Review dan Saran Perubahan
    Atas Exposure Draft Akuntansi Syariah
    Oleh: Aji Dedi Mulawarman

    1. Miskonsepsi Paradigma Transaksi Syariah dalam Akuntansi Syariah
    Terdapat miskonsepsi antara Paradigma, Asas dan Karakteristik Transaksi Syariah (Kaidah 1) dengan Tujuan Laporan Keuangan, Asumsi Dasar dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan (Kaidah 2). Kaidah 1 mengatur fungsi transaksi yang dilakukan entitas syariah. Kaidah 2 mengatur fungsi pencatatan dan penyampaian informasi yang dilakukan entitas syari’ah. Perbedaan fungsi Kaidah 1 dan Kaidah 2 merupakan kriteria yang sangat mendasar. Kaidah 1 memang dapat berpengaruh terhadap kaidah 2 , berkaitan apa yang akan dicatat dan diinformasikan dalam laporan keuangan. Tetapi fungsi kaidah 2 sebenarnya tidak hanya melakukan pencatatan dan penginformasian transaksional saja. Kaidah 2 di samping mencatat fungsi transaksi, juga mencatat kejadian atau aktivitas ekonomi yang tidak dan belum melibatkan transaksi yang dicantumkan dalam Kaidah 1. Kejadian ekonomi berhubungan dengan:
    a. Aset dan Kewajiban
    Penilaian aset dan kewajiban dipengaruhi kejadian baik sebagian atau keseluruhannya di luar transaksi. Contohnya adalah kenaikan harga, akresi (pertumbuhan alamiah), apresiasi (selisih nilai pasar wajar) penyusutan, pencurian, kejadian luar biasa, intangible asset, operasi mesin atau pabrik untuk produksi, goodwill, pemeliharaan, beban pengiriman barang dan jasa, dan lain-lain.
    b. Pendapatan
    Proses produksi yang dipengaruhi kejadian menyebabkan naiknya nilai aset sebelum dilakukan penentuan harga jual dan dilakukan penjualan, dan lain-lain. Dalam konsep pembentukan pendapatan terdapat titik-titik tertentu yang tidak berhubungan dengan proses transaksi. Misalnya produk selesai diproduksi sebelum penjualan untuk industri ekstraktif seperti pertambangan, pertanian, perkebunan, dan lainnya. Kemudian, pemindahan barang jadi dari pabrik ke gudang
    c. Biaya
    Penurunan nilai aset, sediaan barang atau ekuitas yang dipengaruhi kejadian dapat dianggap sebagai biaya. Dalam proses pembentukan biaya juga terdapat biaya yang tidak terkait dengan transaksi, seperti kos produksi, kos non produksi. Di samping pembentukan biaya juga terdapat masalah yang menyebabkan terjadinya biaya seperti produk Usang dan Barang Rusak. Juga mengenai depresiasi baik akibat proses akumulasi dana, pemulihan investasi, proses penilaian.
    d. Eksternalitas yang berhubungan aktivitas sosial dan lingkungan
    e. Kejadian yang berhubungan aktivitas non-ekonomi lainnya
    2. Tujuan, Asumsi Dasar, Unsur, Pengakuan dan Pengukuran Laporan Keuangan
    ED akuntansi syariah hanya memusatkan pada dua hal yang utama, yaitu informasi ekonomi dan sosial. Informasi ekonomi masih menekankan pada pentingnya bottom line laba yang tidak sesuai dengan paradigma transaksi syariah. Informasi sosial hanya berhubungan dengan bentuk qardhul hasan dan pengelolaan zakat. Dalam paradigma transaksi syari’ah paragraf 12, 13, 14 memuat beberapa prinsip utama:
    a. Akuntabilitas
    Akuntabilitas utama dalam paragraf 12 adalah pada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, dan untuk kebahagiaan hidup dan kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Hal ini tidak nampak pada laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas dan laboran perubahan modal untuk entitas bisnis syari’ah. Bottom line laba dalam laporan laba rugi jelas memberi prioritas utama pertanggungjawabannya kepada pemilik modal atau investor. Sedangkan hubungannya dengan stakeholders, alam dan Tuhan dianggap sebagai biaya. Artinya disini akuntabilitas yang dipentingkan bukan kepada Allah, dan implikasinya kepada alam dan stakeholders, tetapi utamanya kepada pemilik modal maupun investor.
    b. Perangkat Syari’ah dan Akhlak sebagai prinsip dari asas transaksi syariah (paragraf 15 -26) dan karakteristik transaksi syariah (paragraf 27-29) hanya nampak dalam tujuan laporan keuangan tetapi tidak nampak secara utuh dan menyeluruh (kecuali dalam beberapa poin) dalam asumsi dasar, karakteristik, unsur dan pengakuan laporan keuangan.
    b.1. Asumsi dasar laporan keuangan akuntansi syariah masih menetapkan kelangsungan usaha dan sistem akrual (paragraf 41 dan 43). Dua asumsi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip dan akhlak syariah bahkan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah. Asumsi kelangsungan usaha memang memiliki pendekatan akuntabilitas berbasis entity theory yang mementingkan pemilik modal dan investor saja (lihat point 2.i.a.). Sedangkan dalam asumsi dasar akrual tidak sepenuhnya dapat digunakan secara langsung. Seperti diketahui bahwa prinsip akrual melakukan pencatatan fakta (merekam arus kas masa kini), potensi (merekam arus kas masa depan) dan konsekuensi (merekam arus kas masa lalu). Khusus mengenai pencatatan potensi menggunakan prinsip present value yang sarat dengan penghitungan bernuansa riba dan gharar.
    b.2. Unsur laporan keuangan akuntansi syariah terutama laba masih menggunakan konsep income yang memang merupakan konsekuensi digunakannya entity theory. Tidak menyesuaikan konsep income berdasar pada shari’ate enterprise theory yang menggunakan konsep nilai tambah yang sesuai prinsip transaksi syariah.
    b.3. Pengakuan unsur-unsur dalam laporan keuangan akuntansi syariah masih didasarkan pada prinsip akuntansi konvensional (paragraf 110). Proses pengakuan seperti ini akan berdampak pada hilangnya paradigma transaksi syariah dan akhlak (seperti tidak mengandung unsur riba, haram, gharar, dan prinsip syariah lainnya.
    3. Bentuk Laporan Keuangan
    Dampak miskonsepsi antara Kaidah 1 dan Kaidah 2 jelas kurang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah (maqashid asy-syari’ah). Laporan Nilai Tambah Syariah, Neraca Berbasis Nilai Sekarang, Aliran Kas Syariah dan Laporan Respon Sosial dan Lingkungan, tidak menjadi laporan utama dan bahkan tidak di akomodasi dalam laporan keuangan syari’ah dalam ED.
    4. Saran-saran Perbaikan ED Akuntansi Syariah
    Perlu dilakukan perubahan dan perbaikan mengenai beberapa hal agar terdapat konsistensi dengan paradigma syariah. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan perubahan:
    a. Perubahan Paradigma Transaksi Syariah
    Agar paradigma transaksi syariah dapat memayungi seluruh kejadian dan aktivitas yang berhubungan dengan pencatatan akuntansi bagi entitas syariah diperlukan perubahan dari Paradigma Transaksi Syariah menjadi Paradigma Transaksi dan Kejadian Ekonomi Syariah. Perubahan ini akan memberi tuntunan yang lebih pasti terhadap ketentuan-ketentuan pencatatan sampai penyampaian informasi akuntansi yang menyeluruh baik mengenai transaksi maupun kejadian ekonomi lain dalam entitas bisnis.
    b. Perubahan Asumsi Dasar Akuntansi Syariah
    Asumsi dasar akrual seharusnya dirubah menjadi Sinergi Akrual dan Cash Basis. Khusus akrual diperlukan penjelasan lebih detil khusus pencatatan potensi untuk menghindari terjadinya transaksi dan kejadian ekonomi lainnya yang bertentangan paradigma transaksi dan kejadian ekonomi syariah. Sedangkan asumsi dasar kelangsungan usaha dirubah menjadi asumsi dasar kerjasama usaha yang berbasis pada shariate enterprise theory. Asumsi dasar kerjasama usaha mengakui bahwa akuntabilitas bukan hanya pada kepentingan pemilik modal dan investor saja, tetapi akuntabilitas yang lebih luas. Akuntabilitas pada partisipan langsung (pemegang saham, karyawan, pemerintah, kreditor, pemasok, pelanggan dan lainnya) tidak langsung (mustahiq, lingkungan alam) serta dilakukan dalam rangka ketundukan (pertanggungjawaban kepada Allah/abd’Allah) dan kreativitas (pertanggungjawaban kepada manusia, sosial dan alam/khalifatullah fil ardh).
    c. Perubahan Unsur Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
    Perubahan asumsi dasar akan berdampak pada unsur laporan keuangan, terutama pada unsur laba (income). Perubahan laba dari laba akuntansi menjadi nilai tambah syari’ah harus selalu bernilai suci (tazkiyah) mulai dari proses pembentukan sumber, proses, sampai distribusinya. Semua harus jelas pengakuan dan pengukurannya yang sesuai syariah. Artinya, unsur atau elemen laba dirubah menjadi elemen nilai tambah syariah.
    d. Perubahan Pengakuan Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
    Penggunaan nilai tambah syariah berdampak pada prinsip pengakuan. Transaksi dan kejadian ekonomi lain dapat diakui ketika telah disucikan (tazkiyah) atau disesuaikan dengan prinsip pengakuan halal, bebas riba dan bebas gharar.
    e. Perubahan Bentuk Laporan Keuangan Akuntansi Syariah
    Berdasarkan pada perubahan-perubahan poin a-e, maka bentuk laporan keuangan yang diperlukan perubahannya adalah:
    e.1. Laporan Laba Rugi dirubah menjadi Laporan Nilai Tambah Syariah
    e.2. Neraca dirubah menjadi Neraca Berbasis Nilai Sekarang
    e.3. Perlu penambahan Laporan Sosial dan Lingkungan

    RACHMI R. RACHMAN (Kls_A 073403003) said:
    Februari 25, 2009 pukul 11:45 am

    RACHMI R. RACHMAN
    (Kls.A 073403003)

    PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH, DASAR HUKUM, KAIDAH PENERAPAN SERTA NILAI-NILAI YANG TERKADUNG DI DALAMNYA

    Oleh: Muhammad Falih Ariyanto
    Pdf: http://www.4shared.com/file/67222411/a6262697/Akuntansi_Syariah.html

    A. Perkembangan Akuntansi Syariah
    Sejalan dengan mulai diberlakukannya ketentuan transparansi bagi perbankan syariah, selama tahun laporan telah dilakukan pertemuan dengan pihak Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang ditindaklanjuti dengan pemberian materi yang diperlukan pada pelatihan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia kepada para Akuntan Publik Indonesia dalam rangka memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan pemenuhan ketentuan tersebut yang mulai berlaku untuk laporan keuangan tahun buku 2006.
    Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.Dalam kaitan ini menarik disimak produk Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Syariah yang sudah dihasilkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan disahkan per Mei 2002. PSAK ini diterapkan per 1 Januari 2003. Produk ini memang membawa ke era baru bagi industri keuangan di tanah air yang berprinsip syariah.
    PSAK tersebut dinilai tidak konsisten dengan jiwa syariah khususnya dalam filosofinya. Sistem ini masih kental mengadopsi filosofi akuntansi konvensional yang menggunakan sistem acrual basis. Sistem ini kurang pas dengan jiwa syariah karena menempatkan pendapatan yang belum nyata dalam laporan keuangan sehingga kurang diminati oleh para pebisnis syariah..
    Bisnis syariah dewasa ini mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi tren baru dunia bisnis di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim maupun non muslim, perkembangan ini terutama terjadi di sektor keuangan. Perbankan Syariah dan produk-produknya telah beredar luas di masyarakat, Asuransi Syariah dan Reksadana Syariah juga sudah mulai bermunculan. Perkembangan bisnis syariah ini menuntut standar akuntansi yang sesuai dengan karakteristik bisnis syariah sehingga transparansi dan akuntanbilitas bisnis syariah pun dapat terjamin.
    Apabila ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.

    B. Dasar Hukum Akuntansi Syariah
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :
    1. Al Quran,
    2. Sunah Nabwiyyah,
    3. Ijma (kespakatan para ulama),
    4. Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu,
    5. ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam.

    C. Kaidah Akuntansi Syariah
    Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Dalam penyusunan standar akuntansi keuangan syariah, dilakukan IAI dengan bekerjasama dengan Bank Indonesia, DSN serta pelaku perbankan syariah dan dengan mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah internasional yaitu AAOIFI. Hal ini dimaksudkan agar standar yang digunakan selaras dengan standar akuntansi keuangan syariah internasional sehingga membutuhkan suatu kerangka dasar yang relevan.Kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi :
    1. penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya;
    2. penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah;
    3. auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum;
    4. para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah
    D. Nilai-Nilai Akuntansi syariah
    Akuntansi modern tidak mungkin bebas dari nilai dan kepentingan apapun, karena dalam proses penciptaan akuntansi melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh dengan kepentingan. Nilai utama yang melekat dalam diri akuntansi modern adalah nilai egoistik. Bila informasi yang dihasilkan oleh akuntansi egoistik dikonsumsi oleh para pengguna, maka dapat dipastikan bahwa pengguna tadi akan berpikir dan mengambil keputusan yang egoistik pula. Nilai utama kedua yang melekat pada akuntansi modern adalah nilai materialistik, yang juga merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Dengan nilai ini akuntansi hanya akan memberikan perhatian pada dunia materi (uang). Sifat egoistik dan materialistik, diekspresikan dengan jelas pada laporan keuangan. Laporan rugi-laba misalnya, menunjukkan akomodasi akuntansi modern terhadap kepentingan (ego) stakeholders untuk mendapatkan informasi besarnya laba yang menjadi haknya.Setelah kedua nilai utama akuntansi modern itu, muncullah nilai utilitarianisme sebagai akibat dari menguatnya dua sifat sebelumnya. Sifat utilitarian adalah sifat yang menganggap bahwa nilai baik atau buruk dari sebuah perbuatan, diukur dengan ada tidaknya utilitas yang dihasilkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga, sepanjang perbuatan itu menghasilkan utilitas, maka sepanjang itu pula sebuah perbuatan dikatakan baik tanpa melihat bagaimana prosesnya. Ketiga nilai yang dimiliki oleh akuntansi modern ini kemudian dikenal sebagai kapitalisme.Realitas akuntansi modern yang dibangun dengan nilai-nilai egoistik, materialistik dan utilitarian, menjadi belenggu bagi manusia modern untuk menemukan jati dirinya dan Tuhan. Menjadikan manusia modern terperangkap dalam dunia materi yang hedonis. Sehingga, akan mengakibatkan terjadinya dehumanisasi bagi diri manusia itu sendiri. Selain menjadikan manusia jauh dari penemuan jati dirinya bahkan menjauhkan manusia pada Tuhannya, karakter ini juga merusak hubungan antar manusia. Dimana relasi sosial menjadi terasuki oleh sifat egoistik, materialistik dan utilitarian.Bagi kalangan masyarakat muslim, Tuhan menjadi tujuan akhir dan menjadi tujuan puncak kehidupan manusia. Akuntansi syari’ah,hadir untuk melakukan dekonstruksi terhadap akuntansi modern. Melalui epistemologi berpasangan, akuntansi syari’ah berusaha memberikan kontribusi bagi akuntansi sebagai instrumen bisnis sekaligus menunjang penemuan hakikat diri dan tujuan hidup manusia.

    UTAMI PURNAMASARI (073403009) said:
    Februari 25, 2009 pukul 11:48 am

    UTAMI PURNAMASARI ( 073403009) Kls A

    SEJARAH, PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KAIDAH SERTA KONSEP PENGUKURAN DAN PENERAPAN AKUNTANSI SYARIAH.

    Sumber Oleh : Merza Gamal, Ahmad Sanusi Nasution

    A.Sejarah Akuntansi Syariah
    27-Mar-2007, 20:00:55 WIB – [www.kabarindonesia.com]
    KabarIndonesia – Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata “Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.
    Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. dan umat-umat yang dahulu.”
    Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    B Persamaan dan Perbedaan Kaidah Akuntansi Syariah dan Konvensional
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    C. Konsep Pengukuran dalam Akuntansi Syari’ah
    Pengukuran merupakan fungsi dari akuntansi, hanya saja sejauh ini ilmu akuntansi baru mampu melakukan pengukuran pada transaksi yang bersifat kuantitatif, moneter, dan untuk situasi tertentu yang sudah memiliki dasar adanya transaksi apakah sudah melibatkan kas atau baru pada tahap ”accrue” saja atau baru melibatkan hak atau title belum direalisasi melum diselesaikan dengan pembayaran atau penerimaan kas. Pengukuran dalam akuntansi konvensional dimaksudkan untuk mengetahui posisi keuangan atau dapat dilihat dari neraca dan mengetahui laba rugi yang dapat dilihat dari laporan laba rugi. Pengukuran laba merupakan fungsi yang sangat penting dalam akuntansi konvensional, karena dengan mengetahui laba ini dapat diketahui :
    1.Prestasi Manajemen
    2.Prestasi Perusahaaan
    3.Pembagian Laba
    4. Pembagian Bonus
    Menentukan Kebijakan Bisnis jika diberikan berbagai alternatif yang banyak
    Dalam akuntansi islam ternyata perhitungan labaini juga penting, baik dalam kaitannya dengan pembagian laba antara pihak yang melakukan kerjasama maupun dalam menentukan hak, menentukan pembagian warisan, dan perhitungan zakat dari suatu kegiatan muamalat.
    Konsep laba dalam akuntansi konvensional telah lama dikaji dan berakar pada konsep economic income yang disampaikan oleh Fisher pada tahun 1930 dan kemudian dikembangkan oleh Hicks pada tahun 1946. salah satu hal yang disepakati dalam hal pengukuran income adalah adanya ”capital maintenance” yang berarti dalam menentukan laba maka harga pokok untuk mendapatkan laba itu harus memperhatikan biaya yang digunakan untuk ”memepertahankan” modal yang digunakan untuk mendapatkan laba

    Tiara Ulianti A'07 (073403018) said:
    Februari 25, 2009 pukul 11:52 am

    AKUNTANSI SYARIAH LEBIH DEKAT LEBIH NYATA

    Ahmad Kurnia El-Qorni, Sabtu 13 September 2008

    Ingin membangun usaha yang sesuai syariah, pebisnis sudah harus memikirkan segala proses bisnis yang dijalankan sesuai syariah, termasuk dalam hal pembukuan, yang saat ini secara modern menggunakan istilah akuntansi. Seperti diutarakan Sofyan S Harahap, (Direktur Islamic Economic and Finance, Post Graduate Program, Universitas Trisakti), dalam sebuah seminar di Jakarta, akuntansi syariah berfungsi membantu manusia menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam suatu perusahaan atau organisasi sehingga semua kegiatan tetap dalam keridhaan Allah SWT.
    Sesuai kerangka teori yang ada, akuntansi syariah didasarkan kepada tauhid, tujuan, paradigma, konsep, prinsipnya harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diatur dalam Alqur’an dan Hadist. Oleh karena itu laporan keuangan akuntansi syariah berisi tentang laporan pelaksanaan syariah di perusahaan baik aspek produk maupun operasional, tanggung jawab perusahaan dan kinerja perusahaan.
    Ada persamaan dan perbedaan antara akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional. Seperti diuraikan oleh pengkaji sosial ekonomi islam Merza Gamal dalam sebuah tulisannya, adapun persamaan kaidah akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal
    3. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang
    4. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya)
    5. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan
    6. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaan, yang dikutip Gamal dari tulisan Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh. (SH)

    Rina Citra Widya A'07 (073403008) said:
    Februari 25, 2009 pukul 11:56 am

    SYARIAH AGAINTS THE WORLD AND CAPITALISM
    Nopie Iman, 21 November 2004
    Ekonomi berbasis syariah memang sedang tren di berbagai negara, terutama di negara yang dianggap “kafir” seperti Amerika dan Eropa. Lucunya, sebagai bangsa dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia, Indonesia malah kurang antusias menyambut sistem ekonomi syariah ini.
    Wajar memang kalau syariah kemudian jadi booming. Gejala penurunan suku bunga menyebabkan para pemodal memindahkan dananya ke sektor riil yang lebih produktif. Bisa dilakukan dengan investasi di dalam saham, tetapi resikonya relatif tinggi. Syariah mirip dengan ini tetapi punya upside yang lebih baik.
    Awalnya syariah muncul karena menghindari bunga yang dianggap riba (sampai sekarang pro-kontranya masih terus berlangsung sampai sekarang). Tapi riba sebenarnya bukan cuma di bunga saja. Utang piutang atau perdagangan juga bisa terjerumus riba. Sale & lease back atau short selling juga bisa dimasukkan ke dalam riba.
    Dengan sistem bagi hasil antara debitor dan kreditor, return yang dihasilkan juga lebih tinggi dari perbankan konvensional. Tabungan biasa saja bisa mencapai bunga 10% per tahun. Sementara bunga deposito bisa sekitar 12% per tahunnya. Bandingkan dengan bunga deposito bank konvensional yang cuma 9% saja. Setelah dipotong pajak bersihnya tinggal 7%. Tak heran jika bank-bank asing seperti HSBC, ABN AMRO, Standard Chartered, dan semacamnya berebut masuk di syariah.
    Tak cuma di bank, syariah juga masuk ke produk asuransi, pasar modal, bahkan pegadaian. Di pasar modal sendiri, walaupun JII cuma 33% saja dari kapitalisasi pasar, PER yang dihasilkan lebih tinggi dari IHSG. Di asuransi yang berbasis syariah, dana yang dikumpulkan dibagi untuk investasi dan tabarru’. Tabarru’ adalah bagian premi yang disisihkan dengan ikhlas yang nantinya digunakan untuk membayar klaim.
    Dalam sistem konvensional, ada yang disebut transfer of risk, di mana resiko yang semula ditanggung klien “dipindahkan” kepada perusahaan (bank). Sementara di syariah, resiko-resiko tadi dibagi (sharing of risk) dengan porsi tertentu yang disepakati bersama (nisbah). Resiko tetap ada, tetapi dengan analisis kredit yang prudent serta pilihan investasi hanya ke dalam sektor yang betul-betul produktif, resiko apapun bisa ditekan seminimal mungkin.
    Barangkali memang syariah adalah bentuk ilmu ekonomi yang “pure“. Syariah membangun pola ekonomi yang berkeadilan. Sistem syariah memang mencari keuntungan tetapi juga membagi resiko. Kalau diterapkan dengan benar, output yang dihasilkan adalah sebuah system tata ekonomi yang baik dan beretika. Karena di dalamnya terdapat unsur ridho (tanpa paksaan), adil, serta etika.

    Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gemebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
    Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
    Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
    Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
    Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
    Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
    Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.
    Sad, but true.

    yosi muhammad nur said:
    Februari 25, 2009 pukul 12:36 pm

    10 PILAR PENGEMBANGAN BANK SYARI’AH

    Friday, 11. January 2008, 19:27:08
    Market share bank syariah di Indonesia saat ini, relatif masih kecil, belum mencapai 2 % dari total asset bank secara nasional. Menurut Siti Fajriyah, salah seorang Deputi Gubernur Bank Indonesia, jumlah nasabah Bank syariah saat ini, baru sekitar 3 juta orang. Padahal jumlah umat Islam potensial untuk menjadi customer bank syariah lebih dari 100 juta orang. Dengan demikian, mayoritas umat Islam belum berhubungan dengan bank syariah.
    Banyak faktor yang menyebabkan mengapa umat Islam belum berhubungan dengan bank-syariah, antara lain Pertama, Tingkat pemahaman dan pengetahuan umat tentang bank syariah masih sangat rendah. Masih banyak yang belum mengerti dan salah faham tentang bank syariah dan menggangapnya sama saja dengan bank konvensional, Bahkan sebagian ustaz yang tidak memiliki ilmu yang memadai tentang ekonomi Islam (ilmu ekonomi makro;moneter dan teknis perbankan) masih berpandangan miring tentang bank syariah, karena kurang informasi keilmuan tentang bank syariah. Kedua, Belum ada gerakan bersama dalam skala besar untuk mempromosikan bank syariah. Ketiga, Terbatasnya pakar dan SDM ekonomi syari’ah. Keempat, Peran pemerintah masih kecil dalam mendukung dan mengembangkan ekonomi syariah. Kelima, Peran ulama, ustaz dan dai’ masih relatif kecil. Ulama yang berjuang keras mendakwahlan ekonomi syariah selama ini terbatas pada DSN dan kalangan akademisi yang telah tercerahkan. Bahkan masih banyak anggota DSN yang belum menjadikan tema khutbah dan pengajian tentang bank dan ekonomi syariah. Keenam, para akademisi di berbagai perguruan tinggi, termasuk perguruan Tinggi Islam belum optimal. Ketujuh, peran ormas Islam juga belum optimal membantu dan mendukung gerakan bank syariah. Terbukti mereka masih banyak yang berhubungan dengan bank konvensional. Kedelapan, Bank Indonesia sangat tidak serius mengembangkan bank syariah. Meski telah ada direktorat bank syari’ah dan berbagai kebijakan (regulasi) yang mendukung lewat PBI, namun dari sisi alokasi dana untuk edukasi, sosialisasi dan promosi masih sangat minim. Sehingga dana promosi sebuah bank swasta, jauh lebih besar dari biaya promosi total/seluruh bank syariah yang jumlahnya lebih dari 21 bank syariah tersebut.
    Meskipun ada PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah), namun gerakannya sangat kecil dan terbatas, personilnya juga sangat sedikit. Mestinya Bank Indonesia menumbuhkan 100 atau malah 1.000 PKES di Indonesia, bukan hanya satu PKES dengan personil yang terbatas. Cara menumbuhkannya, Bank Indonesia harus mensupport dana kepada lembaga-lembaga Kajian Bank Syariah dan forum-forum studi bank syariah dengan penggunaan dana yang dapat dipertanggung jawabkan dan kegiatan yang digelar benar-benar signifikan untuk mendorong percepatan perkembangan bank syariah. Kita sanggup sebagai kordinatornya untuk menumbuhkan PKES-PKES baru diberbagai kota strategis. Hasil kegiatan lembaga-lembaga harus dapat diukur dan dibuktikan efektifitasnya dalam mendorong pertumbuhan asset bank syariah.. Mereka dipasang target. Lembaga-lembaga Kajian dan Forum-Forum itu dapat dijadikan sebagai corong dan ujung tombak pengembangan bank syariah, sebagaimana halnya PKES.
    Organisasi seperti Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), menjadi keniscayaan bagi Bank Indonedia untuk memberikan bantuan dananya, agar IAEI bisa lebih dinamis dan proaktif mensosialisasikan bank syariah, baik di dunia kampus, pejabat pemerintah, ulama, hartawan, pengusaha dan masyarakat luas. Lebih separoh program kegiatan IAEI bertujuan mempromosikan bank syariah dan meningkatkan asset bank-bank syariah. Namun IAEI tidak memiliki dana untuk bergerak, akhirnya sulit melaksanakan kegiatan promosi bank syariah.
    Bank Indonesia juga harus mendukung pembentukan organisasi dai’ ekonomi syariah. Setiap da’i memiliki ribuan jamaah. Bila mereka telah memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang bank syariah, maka fatwa-fatwa mereka tidak lagi datar memandang bank syariah, tetapi secara mantap dan penuh keyakinan ilmiah mengharamkan bunga bank. Umumnya da’i belum memahami dampak bunga bank yang sangat mengerikan bagi perekonomian negara dan dunia. Maksudnya, belum banyak training serius yang diikuti ulama tentang dampak bunga secara empiris dan fakta ilmiah berdasarkan teori ekonomi modern. Bila ada 60.000 ulama yang bergerak secara serentak, maka akan terjadi booming hebat bagi pertumbuhan bank-bank syariah.
    Selain itu, perlu diperhatikan Bank Indonesia, bahwa selama ini para dosen ekonomi syariah sering diundang untuk memberikan seminar dan ceramah di kampus-kampus, di ormas Islam, tetapi seringkali dosen ekonomi Islam tersebut sama sekali tidak diberi hanor oleh panitia karena keterbatasan dana panitia pelaksana. Mengandalkan semangat jihad untuk memerangi riba tidak cukup dengan semangat saja, tanpa alat dan senjata. Senjata itu antara lain adalah dana.
    Fakta membuktikan bahwa biaya untuk mengembangkan bank syariah oleh Bank Indonesia masih sangat kecil, sehingga dalam berbagai momentum promosi bank syariah, sumbangan Bank Indonesia masih sangat kecil. Kalau Bank Indonesia mau mengalokasikan sedikit dana untuk pengembangan bank syariah, niscaya market share bank syariah tidak seperti sekarang ini, belum 2 %. Kecilnya market share ini sebagian besar disebabkan karena sedikitnya alokasi dana untuk pengembangan bank syariah dari Bank Indonesia. Kita membutuhkan dana untuk edukasi dan pencerdasan masyarakat tentang bank syariah. Promosi, pendidikan dan pelatihan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Termasuk untuk mentraining ulama secara berkelanjutan. Ulama sebagai ujung tombak keberhasilan sebuah program belum dilirik secara serius oleh Bank Indonesia. Ada sekitar 60.000-70.000 ulama dan dai yang perlu ditraining tentang bank syariah. Bila mereka secara serempak mendakwahkan keunggulan bank syariah di 700.000 mesjid di Indonesia, maka market share bank syariah dalam beberapa bulan akan naik menjadi 30 %. Kita telah membuktikan hal ini di beberapa kota di mana ada kantor cabang bank syariah, sehingga sebuah kantor kas bank syariah bisa terbaik se-Indonesia dalam beberapa bulan untuk kategori penghimpunan dana pihak ketiga. Asset bak syariah bisa meningkat secara fantastis 300 atau 400 %. Banyak lagi yang bisa dilakukan untuk memajukan bank syariah, jika kita punya dana promosi dan pengembangan.
    Prospek Bank Syari’ah
    Tidak bisa dibantah, bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh empat hal ;
    Pertama, Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan. Data terakhir menunjukkan bahwa market share perbankan syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, yaitu 1,65 %, belum mencapai 2 %, (lihat tabel). Ini menunjukkan bahwa market share bank syari’ah masih sangat besar
    Kedua, Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif, tidak seperti sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah. Ketiga Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.
    Keempat, Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan negara dari kehancuran. Bank Indonesia yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar. Memang banyak peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah, khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
    Kelimat, Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia. Ketika harga minyak 32 dollar US perparel, Timur Tengah telah menjadi negara petro dollar, apalagi ketika harganya meningkat menjadi 70 dolar perbarel, tentu dana itu semakin besar. Bila potensi ini berhasil ditarik oleh bank-bank syariah, maka market share bank-bank syariah akan semakin besar. Konon potensi dana Timur Tengah saat ini mencapai 600-700 miliar dolar US.
    10 Pilar Pengembangan
    Untuk mengembangkan dan memajukan bank syariah setidaknya ada 10 pilar yang harus diperhatikan.
    1.Peningkatan pelayanan dan profesionalisme
    Di masa depan, ketika bank-bank syari’ah telah dominan dan meluas ke berbagai daerah, isu halal-haram tidak bisa diandalkan lagi. Pendekatan yang lebih menekankan aspek emosional harus dikurangi. Bank-bank syari’ah harus mengedepankan profesionalisme dan mengutamakan service exellence kepada customer
    Apabila perbankan syari’ah bisa memberikan pelayanan yang prima dan profesional serta memiliki kinerja yang exellence, maka dapat dipastikan umat Islam akan lebih percaya terhadap perbankan syari’ah. Para praktisi bank syari’ah harus dapat meyakinkan ummat Islam bahwa bank syari’ah itu lebih baik. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor pelayanan sangat menentukan pilihan masyarakat dalam memilih bank-bank syariah.
    2.Inovasi Produk
    Perkembangan industri perbankan di dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini amat mengagumkan. Produk-produk yang dikembangkan di pasar semakin bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Semuanya itu dikembangkan dengan dukungan teknologi informasi dan telekomunikasi yang semakin canggih, sehingga mempermudah urusan konsumen dan meningkatkan efisiensi kegiatan usaha para konsumen. Dari hari ke hari produk-produk baru terus bermunculan, menawarkan daya tarik tersendiri.
    Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah
    3. Sumber Daya Insani
    Bank Syari’ah harus mempersiapkan sumber daya insani (SDI) yang berkualitas dan handal, karena eksistensi kualitas sumber daya insani sangat menentukan pengembangan perbankan syari’ah di masa mendatang. Kualitas sumber daya insani merupakan tulang punggung dalam suatu organisasi dan sangat berpengaruh pada keberhasilan organisasi. Untuk bisa menggerakkan bisnis islami dengan sukses, diperlukan SDI yang yang menguasai ilmu bisnis dan ilmu-ilmu syari’ah secara baik. Selama ini SDI penggerak bisnis islami berasal dari pendidikan umum yang diberi training singkat mengenai bisnis islami. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah.
    Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka manajemen bank syari’ah harus siap berinvestasi menyekolahkan dan mentraining para sumber daya insaninya. Integritas tinggi hanya bisa diperoleh dan dipertahankan bila dilandasai kejujuran dan dapat dipercaya, sedangkan kompetensi perlu didukung dengan kecerdasan (fathanah), keterbukaan dan komunikatif (tabligh) .
    4. Perluasan Jaringan Kantor
    Perbankan syariah harus memperluas jaringan kantor agar dapat menjangkau seluruh masyarakat, sehingga alasan darurat bagi daerah yang belum ada bank syari’ahnya bisa dikurangi. Bank-bank milik pemerintah (BUMN) dapat melakukan perluasan outlate dengan memanfaatkan kantor-kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Bank BNI dan BRI. Perluasan jaringan bank pemerintah tersebut tidak harus dengan membuka kantor-kantor cabang baru, karena membutuhkan modal besar. Sedangkan bagi bank swasta yang kekurangan modal untuk memperluas pembukaan outlate, harus inovatif dalam membuat terobosan-terosan baru agar jaringannya menjangkau masyarakat luas sampai ke daerah-daerah. Office channeling merupakan sebuah langkah baru untuk mempercepat pertumbuhan asset bank syariah.
    5. Peraturan yang mendukung
    Sistem perbankan syari’ah merupakan sub-sistem dari sistem keuangan nasional.
    Oleh karena itu, keberadaan dan kegiatan perbankan syari’ah tersebut perlu diatur secara tegas dan jelas dalam hukum positif atau perundang-undangan nasional yang berlaku, sebaiknya dalam bentuk Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang tersebut tidak saja akan mewujudkan kepastian hukum, tetapi juga akan membuat suasana regulasi lebih kondusif.
    Semua fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional MUI tentang produk dan sistem perbankan syari’ah, harus diterjemahkan ke dalam peraturan Bank Indonesia. Hal ini akan semakin menunjang kemampuan kompetitif perbankan syari’ah sehingga dapat meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan. Bila ini dilakukan, maka target 5 % pangsa pasar bank syari’ah yang dicanangkan Bank Indonesia dalam blue print, akan terlampuai sebelum tahun 2011.
    6. Syari’ah Compliance
    Praktek operasional perbankan syari’ah harus benar-benar dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Jawaban-jawaban apologetis yang berlindung di bawah payung Dewan Syari’ah tidak menjamin praktek operasinya benar-benar syari’ah. Dengan semakin meluasnya jaringan perbankan syari’ah, maka Dewan Pengawas Syari’ah, harus lebih meningkatkan perannya secara aktif. Selama ini sangat banyak Dewan Pengawas Syari’ah tidak berfungsi melakukan pengawasan aspek syari’ahnya. Di masa depan, perlu dibentuk Dewan Pengawas Syari’ah di daerah. Bila Dewan Pengawas Syari’ah hanya mengandalkan DPS pusat, sangat dikhawatirkan, praktek operasi bank syari’ah tidak terawasi. DPS pusat kini banyak tak mengetahui kalau di daerah-daerah ribuan penyimpangan syariah terjadi. Pengaduan audiens dalam forum-forum seminar kepada penulis juga tak terhitung banyaknya. Selain itu, para praktisi bank syariah, wajib mengikuti pengajian atau training ekonomi syariah secara berkelanjutan. Kini diasumsikan lebih dari 80 % praktisi bank syariah belum memahami ekonomi syariah dan fiqh muamalah ekonomi. Para petinggi bank-bank syariah tampaknya tidak begitu peduli akan realitas minimnya pengetahuan kesyariahan para kru atau karyawan bank syariah. Memang ada satu atau dua bank yang peduli kepada aspek kepatuhan kepada syariah, namun secara umum, hal ini tidak menjadi perhatian para praktisi bank syariah.
    Selain itu, bank-bank syariah harus menjadi uswah hasanah dalam penerapan GCG (Good Corporate Governance). Bank-bank syariah harus berada di garda terdepan dalam implementasi GCG tersebut. Jangan nodai citra syariah yang suci dengan moral hazard. Penerapan good corporate govarnance di bank syariah, tidak saja meningkatkan kepercayaan publik kepada bank syariah, tetapi juga merupakan bagian dari upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.
    7. Edukasi yang kontiniu.
    Upaya yang paling utama untuk membesarkan bank syariah adalah melaksanakan edukasi masyarakat tentang sistem bank syariah, keunggulannya, prinsip-prinsip yang melandasainya, mekanisme operasional, dsb. Prof.Dr.M.A.Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Fakta membuktikan, bahwa market share perbankan syariah masih sekitar 1,6 persen, karena itu perlu gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah.
    Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Umunya masyarakat belum mengerti kaitan bunga bank dengan APBN, kenaikan harga BBM, listril, telephon. Masyarakat juga belum mengerti betapa mengerikannya pengaruh negatif bunga bank saat ini terhadap kebangkrutan ekonomi Indonesia. Ratusan juta rakyat Indonesia menderita dalam kemiskinan dan penderitaan yang memilukan akibat sistem bunga yang masih berlaku di bank-bank konvensional. Banyak masyarakat awam yang tak faham akan realita ini. Ratusan trilun dalam beberaopa tahun terakhir disumbangkan secara salah kaprah untuk bank-bank konvensional agar mereka dapat bertahan dalam bentuk BLBI, bunganya dan SBI.
    Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Tegasnya, Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa.
    Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampaknya terhadap inflasi, produsti, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah. Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka kita perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
    Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan rasional juga bermakna ; menggunakan akal sehat dan cerdas dalam memilih bank syariah.
    Pendekatan moral-etis adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, dan dampaknya terhadap ekonomi dunia. Dengan penjelasan itu, maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
    Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah yang melekat pada bank syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah, meskipun mereka kurang faham tentang keunggulan bank syariah secara teori dan praktis. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.
    Sasaran edukasi sangat luas meliputi seluruh komponen masyarakat, seperti ulama, pemerintah, akademisi, pengusaha, ormas Islam dan masyarakat secara luas. Upaya ini membutuhkan kerja keras dari para pejuang ekonomi syariah, baik ahli ekonomi Islam maupun praktisi bank syariah.
    8 .Sinergi
    Sinergi sesama bank syariah merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan untuk mengembangkan dan mempromosikan bank syariah secara signifikan. Bank-bank syariah tak boleh promosi dan bekerja secara sendiri-sendiri. Kegiatan Indonesia syariah Expo yang baru-baru ini dilaksanakan merupakan bentuk sinergi yang perlu diteruskan. Masih banyak bentuk sinergi lain yang bisa dilakukan, seperti menggelar kegiatan bersama dalam promosi di TV,Radio, menggelar workshop dan training ulama dan dosen ekonomi, penerbitan majalah dan buletn dan sebagainya. Demikian pula dalam produk tabungan dan ATM bersama, bank-bank syariah bisa bersinergi.
    Pepatah ”Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh” perlu dicermati, konsep ukhuwah perlu diimplementasikan. Bank-bank syariah, perlu menghayati filosofi shalat berjamaah. Jika dua muslim shalat sendiri-sendiri, nilainya menghasilkan masing-masing 1 point. tetapi jika dua orang muslim shalat berjamaah oleh maka akan menghasilkan masing-masing 27. Jadi dalam filosofi matematis shalat jamaah, 1 + 1 bukan sama dengan dua, tetapi sama dengan 27. Karena itu bank-bank syariah, hendaknya jangan ingin besar sendiri dan menang sendiri. Tujuan besar sendiri sulit dicapai tanpa sinergi sesama bank syariah.
    9. Bagi Hasil yang kompetitif
    Bank-bank syariah harus berjuang keras untuk memberikan bagi hasil yang kompetitif dengan memperhatikan efisiensi dan manajemen resiko yang cermat. Jika tingkat bagi hasil jauh dibawah bunga bank, maka sebagian kecil nasabah rasional-materialis akan kembali menarik dananya dari bank syari’ah. Namun bagi nasabah yang rasional-moralis, tingkat bunga tidak berpengaruh baginya untuk pindah ke bank konvensional. Apalagi nasabah spiritual, betapapun tingginya tingkat bunga, mereka tetap loyal menempatkan dananya di bank syariah.
    10.Reorientasi ke Sektor Riil
    Perhatian perbankan syari’ah kepada pengembangan sektor riel harus lebih diutamakan, mengingat realita pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah selama ini begitu pesat, tetapi tidak seimbang dengan pengembangan sektor riel. Dalam ekonomi Islam, pengembangan sektor keuangan harus terkait erat dengan sektor riel syari’ah, karena itu, pengembangan perbankan syari’ah harus mendukung gerakan ekonomi Islam di sektor riel, seperti kegiatan produksi dan distribusi yang dilakukan Ahad-net, MQ-Net, hotel Sofyan syari’ah, super market, agribisnis, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan gerakan usaha sektor lainnya. Orientasi pengembangan ekonomi Islam melalui sektor keuangan harus diimbangi dengan pengembangan sektor riel. Kepincangan dua aspek ini akan menimbulkan bahaya dan malapetaka ekonomi Islam di masa depan dan hal ini merupakan kegagalan dan kehancuran ekonomi Islam.
    Pengembangan sektor riel syari’ah harus menjadi perhatian yang serius bagi perbankan syari’ah. Pembiayaan melalui produk murabahah, sesungguhnya tidak signifikan mengembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif.
    Penutup
    Apabila bank-bank syariah memperhatikan dan menerapkan 10 pilar tersebut, maka perbankan syari’ah akan menjadi perbankan nasional yang tangguh, terpercaya, di samping besar assetnya (market share) nya. Sebagai kesimpulan, bank-bank syariah perlu melakukan konsolidasi baik dari sisi internal maupun eksternal bank. Konsolidasi internal dilakukan dengan cara secara istiqamah menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syari’ah, penguatan internal control dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabah. Sedangkan konsolidasi eksternal berupa peningkatan kerjasama dan konsolidasi dengan institusi terkait dan peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate govarnance sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.

    fahad agna pribadi (073403128) said:
    Februari 25, 2009 pukul 3:26 pm

    Overheating Perbankan Syariah

    Ibarat mobil, bank syariah memulai debutnya di awal 2004 dengan kecepatan tinggi.
    Layaknya sebuah mobil, gejala kepanasan mesin (over-heating) juga dialami
    perekonomian termasuk perbankan syariah Dalam konteks ekonomi makro, overheating
    ditandai dengan laju inflasi yang cepat melebihi laju pertumbuhan ekonomi,
    sehingga secara riil pertumbuhan malah mengalami pertumbuhan negatif. Dalam
    konteks bank syariah, over-heating ditandai dengan pertumbuhan yang cepat, naiknya
    pembiayaan bermasalah, dan turunnya bagi hasil kepada nasabah dana pihak ketiga
    (DPK). Pada tingkat yang parah over-heating mempunyai dampak seperti terjangkit
    penyakit demam berdarah yakni panas tinggi diikuti dengan pendarahan (bleeding).

    Dalam konteks perbankan konvensional, bleeding terjadi ketika pendapatan bunga lebih
    kecil daripada biaya bunga. Sedangkan dalam konteks perbankan syariah, bleeding
    terjadi ketika pendapatan pembiayaan lebih kecil daripada biaya overhead.
    Ada dua cara mengatasi over-heating, yakni memperlambat laju pertumbuhan atau
    mempersiapkan sistem untuk tumbuh dengan cepat.. Pilihan pertama tentu tidak
    diinginkan oleh siapapun, mulai dari BI, pelaku ekonomi, masyarakat luas, maupun MUI.
    Pilihan kedua yang harus sama-sama kita rumuskan. Sistem prosedur yang handal,
    sumberdaya manusia berkualitas tinggi, dan sistem pengawasan khusus diperlukan
    untuk terus berkembang secara fantastis.
    Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah memang hanya separuh
    dibandingkan perbankan konvensional. Namun bila dilihat pergerakannya rasanya ini
    saat yang tepat untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Secara persentase nilainya
    relatif stabil, 4,12% (Des 2002), 3,96% (Mar 2003), 3,93% (Jun 2003), 3,96% (Sep
    2003), 3,67% (Oct 2003), 3,39% (Nov 2003). Dalam keadaan pembiayaan bertumbuh
    demikian cepat, stabilnya angka ini bukan merupakan suatu yang menggembirakan; bila
    pembagi bertambah besar, dan hasilnya sama, itu berarti yang dibagi pun bertambah
    secepat pembaginya.
    Secara nominal pembiayaan macet naik dari bulan ke bulan dari Rp 53 miliar
    (Desember 2002) menjadi Rp 71 miliar (November 2003). Pada kurun waktu yang
    sama, pembiayaan kurang lancar naik dari Rp 51 miliar menjadi Rp 84 miliar,
    pembiayaan dalam perhatian khusus naik dari Rp119 miliar menjadi Rp 344 miliar.
    Lonjakan DPK membuat bank-bank syariah kelebihan likuiditas, yang terlihat jelas
    dari naiknya jumlah dana bank syariah yang ditempatkan pada Sertifikat Wadiah Bank
    Indonesia (SWBI). Pada saat yang bersamaan tugas Badan Penyehatan Perbankan
    Nasional (BPPN) selesai. Dengan selesainya tugas BPPN, ratusan ribu asset yang
    semula di BPPN kembali ke pasar, sekarang dapat di restrukturisasi, di biayai ulang,
    dan aktif kembali. Tersedianya kelebihan likuiditas dan tersedianya asset ex BPPN
    yang siap dibiayai dapat jadi campuran kimia yang pas untuk menggenjot pertumbuhan
    pembiayaan. Inilah urgensi tulisan ini. Prinsip kehati-hatian dalam pemberian
    pembiayaan harus diutamakan daripada memproduktifkan dana yang tersimpan di
    SWBI. Bukankah kaidah fikih mengatakan dar-ul mafasid muqaddam ‘ala jabbal
    mashalih (mendahulukan mencegah mudarat lebih utama daripada mencari manfaat).
    Pilihan kedua adalah dengan membeli obligasi syariah maupun medium term notes
    (MTN) syariah yang semakin marak. Dari aspek kesyariahan tentu maraknya instrumen
    ini patut disyukuri. Namun hal itu jangan sampai melupakan konsekuensi risiko dari
    suatu obligasi korporasi, dalam hal ini rating yang didapatkannya dari Pefindo

    (Pemeringkat Efek Indonesia). Saat ini, belum semua dari 6 obligasi syariah dan 1 MTN
    syariah yang diterbitkan, yang menyandang rating minimal A-. Meskipun kita sama tahu
    untuk investment grade (layak investasi) tidak perlu A-. Walaupun risiko gagal bayar
    memang baru akan muncul 5-7 tahun kemudian, namun setidaknya hal ini patut
    dicermati secara seksama.
    Bagi hasil DPK bank-bank syariah memang lebih tinggi daripada suku bunga. Ketika
    suku bunga (saat ini) sekitar 6%, bagi hasil dapat mencapai 9%. Di satu sisi tentu ini
    menggembirakan. Di sisi lain, hal ini juga harus dicermati terutama penurunan bagi
    hasilnya. Dalam bank syariah, bagi hasil DPK merupakan refleksi langsung pendapatan
    pembiayaan sehingga merupakan refleksi tidak langsung kualitas pembiayaan. Pada
    perbankan konvensional, bunga ditentukan dalam rapat ALCO (Asset & Liabilily
    Committee) yang tidak merefleksikan langsung kinerja di sisi asset. Sehingga bila
    sekarang bunga 6%, bulan depan dapat saja meningkat menjadi 7%, 8%, atau bahkan
    9% tanpa perlu adanya perbaikan kinerja kredit. Tidak demikian halnya di bank syariah,
    apalagi kalau kita mengetahui bahwa 72% pembiayaan yang disalurkan perbankan
    syariah adalah murabahah (pembiayaan jual beli dengan cicilan tetap) yang secara
    teoritis akan memberikan tingkat rate pendapatan yang tetap. Bila kemudian bagi hasil
    DPK menurun, maka ada dua kemungkinan. Pertama, bank syariah menurunkan
    nisbah bagi hasil nasabah. Kedua, kinerja pembiayaan memburuk. Untuk yang
    pertama, tentunya bank syariah harus meminta kesepakatan nasabah akan nisbah baru
    tersebut. Penurunan nisbah tanpa kesepakatan nasabah, tentu menyalahi syariah.
    Untuk yang kedua, patut dicermati dengan lebih hati-hati.
    Pada aspek pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab
    atas pengawasan syariah mengingat demikian kompleksnya transaksi perbankan.
    Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) bukanlah
    cara yang realistis. Pengawasan syariah sepatutnya merupakan tanggung jawab
    bersama semua stakeholders. Selain DPS yang bertanggung jawab pada aspek
    syariahnya, untuk aspek operasional pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan
    oleh audit internal bank, direktur kepatuhan, bahkan komisaris harus ikut menjaga
    kepatuhan syariah. Audit ekstern yang dilakukan oleh kantor akuntan publik juga tidak
    boleh melewatkan begitu saja adanya pelanggaran atas kepatuhan syariah. Dan
    tentunya BI bertanggung jawab sebagai otoritas perbankan. Semua institusi ini sesuai
    kompetensi dan wewenangnya masing-masing harus bahu membahu menjalankan
    fungsi pengawasan syariah.

    guntara medya pratama (073403148) said:
    Februari 25, 2009 pukul 3:31 pm

    Perbedaan Antara Sistem Akuntansi Syariah Islam Dengan Akuntansi Konvensional

    Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;

    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;

    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;

    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;

    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;

    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/16:89)

    Yosep Mulia (073403141) said:
    Februari 25, 2009 pukul 3:41 pm

    SAHAM SYARIAH, PENGERTIAN, DAN HAMBATANNYA DI INDONESIA
    Pasar Modal Syariah
    Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan, karena dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan juga mendatangkan manfaat bagi orang lain. Al-Quran dengan tegas melarang aktivitas penimbunan (iktinaz) terhadap harta yang dimiliki.
    Untuk mengimplementasikan seruan investasi tersebut, maka harus diciptakan suatu sarana untuk berinvestasi.Banyak pilihan orang untuk menanamkan modalnya dalam bentuk investasi. Salah satu bentuk investasi adalah menanamkan hartanya di pasar modal. Pasar modal pada dasarnya merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan atau surat-surat berharga jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri. Institusi pasar modal syariah merupakan salah satu pengejawantahan dari seruan Allah tentang investasi tersebut
    Pasar modal merupakan salah satu pilar penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya.
    Bahkan, perekonomian modern tidak akan mungkin eksis tanpa adanya pasar modal yang terorganisir dengan baik. Setiap hari terjadi transaksi triliunan rupiah melalui institusi ini
    Menurut metwally (1995) fungsi dari keberadaan pasar modal syariah :
    • Memungkinkan bagi masyarakat berpartispasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian dari keuntungan dan risikonya.
    • Memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya guna mendapatkan likuiditas
    • Memungkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun dan mengembangkan lini produksinya

    • Memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional
    • Memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.

    Sedangkan karakteristik yang diperlukan dalam membentuk pasar modal syariah (Metwally, 1995) adalah sebagai berikut :
    • Semua saham harus diperjualbelikan pada bursa efek
    • Bursa perlu mempersiapkan pasca perdagangan dimana saham dapat diperjualbelikan melalui pialang
    • Semua perusahaan yang mempunyai saham yang dapat diperjualbelikan di Bursa efek diminta menyampaikan informasi tentang perhitungan (account) keuntungan dan kerugian serta neraca keuntungan kepada komite manajemen bursa efek, dengan jarak tidak lebih dari 3 bulan
    • Komite manajemen menerapkan harga saham tertinggi (HST) tiap-tiap perusahaan dengan interval tidak lebih dari 3 bulan sekali
    • Saham tidak boleh diperjual belikan dengan harga lebih tinggi dari HST
    • Saham dapat dijual dengan harga dibawah HST
    • Komite manajemen harus memastikan bahwa semua perusahaan yang terlibat dalam bursa efek itu mengikuti standar akuntansi syariah
    • Perdagangan saham mestinya hanya berlangsung dalam satu minggu periode perdagangan setelah menentukan HST
    • Perusahaan hanya dapat menerbitkan saham baru dalam periode perdagangan, dan dengan harga HST
    Khan (2005) menambahkan, bahwa saham dan perdagangannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dalam islam. Agar tercipta pasar saham yang adil maka shareholder dilarang berpartisipasi dalam perdagangan dan tidak diperbolehkan untuk mempunyai orang yang bermain dalam pasar saham. Pasar saham juga harus bebas dari penipuan, praktek-praktek yang dapat merugikan investor, seperti rekayasa informasi, pelarangan short selling, dan pencegahan adanya insider trading.

    Definisi Saham Syariah
    Produk investsi berupa Saham pada prinsipnya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam teori percampuran, Islam mengenal akad syirkah atau musyarakah yaitu suatu kerjasama antara dua atau lebih pihak untuk melakukan usaha dimana masing-masing pihak menyetorkan sejumlah dana, barang atau jasa.
    Adapun jenis-jenis syirkah yang dikenal dalam ilmu fikih yaitu:
    ‘inan, mufawadhah, wujuh, abdan, mudharabah. Pembagian tersebut diadasarkan pada jenis setoran masing-masing pihak dan siapa diantara pihak tersebut yang mengelola kegiatan usaha tersebut.
    Fatwa diatas telah menentukan bagaimana memilih saham-saham yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam perkembangannya telah banyak negara-negara yang telah menentukan batasan suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah.
    Di dalam literatur – literatur, tidak terdapat istilah atau pembedaan antara saham yang syariah dengan yang non syariah. Akan tetapi, saham, sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan, dapat dibedakan menurut kegiatan usaha dan tujuan pembelian saham tersebut. Saham menjadi halal (sesuai syariah) jika saham tersebut dikeluarkan oleh perusahaan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang yang halal dan/atau dalam niat pembelian saham tersebut adalah untuk investasi, bukan untuk spekulasi (judi). Untuk lebih amannya, saham yang dilisting dalam Jakarta Islamic Index merupakan saham-saham yang insya Allah sesuai syariah.
    Syarat investasi saham sesuai syar’i
    Syarat suatu saham yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dikatakan syariah adalah sebagai berikut :
    • Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan yang mengeluarkan saham (emiten) atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah , antara lain:
    o perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;

    o lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
    o produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
    o produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
    o melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
    • Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas saham syariah yang dikeluarkan.
    • Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer. (fatwa DSN No 40/2003)
    Khan (2005) dalam menjelaskan identifikasi perusahaan yang dapat ikut dalam saham Islami mengajukan beberapa syarat yaitu :
    • Emiten/perusahaan tersebut tidak berkaitan dengan riba
    • Perusahaan tersebut tidak membuat atau memprioduksi barang atau jasa yang dilarang oleh syariah
    • Perusahaan tidak bertindak ekpliotatif secara berlebihan terhadap faktor-faktor produksi alam yang diberikan Allah
    • Perusahaan tidak mempermainkan harga sekehendaknya, perusahaan tersebut tidak menghalangi terjadinya free market
    • Perusahaan tersebut mempunyai sosial responsibility yang tinggi sehingga punya kepedulian terhadap ummat, dan memilii ethical behaviour .
    sektor kegiatan usaha oleh perusahaan yang bersangkutan, juga bisa di dilihat dari sisi permodalan dari perusahaan dimaksud, seperti (Arrifa’i, 2003):
    • Rasio atas utang dan ekuitas (debt to equity ratio)

    • Cash and interest bearing securities to equity ratio
    • Rasio atas kas dan aset (cash to asset ratio).
    Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinisp syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Jakarta terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi criteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM).
    Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah.
    Melalui index ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah.
    Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah PT Danareksa Invesment Management.
    Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:
    o Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
    o Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
    o Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
    o Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

    Selain krteria diatas, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII Bursa Efek Jakarta melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:
    1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).
    2. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang meiliki rasio Kewajiban terhadap Aktiva maksimal sebesar 90%.
    3. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.
    4. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.

    Hambatan
    Walaupun kinerja JII cukup baik, namun hal itu belum menggambarkan tingkat perkembangan pasar saham khususnya dan pasar modal syariah umumnya di Indonesia .Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, maka
    Indonesia terlihat sangat jauh tertinggal dalam mengembangkan kegiatan investasi syariah di pasar modal. Malaysia pertama kali mengembangkan kegiatan pasar modal syariahnya sejak awal tahun 1990 dan sejak saat itu terus mengalami kemajuan yang cukup pesat. Data lain menunjukkan pula bahwa, sejak diperkenalkannya instrumen reksa dana syariah di Malaysia pada tahun 1993, terbukti hingga akhir tahun 2002 telah tercatat 36 (tiga puluh enam) Reksa Dana Syariah dari 174 (seratus tujuh puluh empat) total Reksa Dana yang ada di Malaysia. Kemudian Total Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana Syariah mencapai 5% (lima per seratus) dari total NAB industri Reksa Dana yang ada di Malaysia. Sementara Indonesia yang memulai hal yang sama pada pertengahan tahun 1997, hingga awal November 2004 baru memiliki 10 (sepuluh) reksa dana syariah dari total 223 (duaratus dua puluh tiga) reksa dana yang ada, dengan NAB sebesar 0,32% (nol koma tiga puluh dua per seratus) dari total NAB industri reksa dana yang ada di Indonesia.
    Menurut penelitian Departemen keuangan yang bekerjasama dengan Bapepam (2005) , ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab lambatnya perkembangan pasar modal syariah, diantaranya adalah :

    1. Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang pasar modal syariah ;
    2. Ketersediaan informasi tentang pasar modal syariah ;
    3. Minat pemodal atas efek syariah ;
    4. Kerangka peraturan tentang penerbitan efek syariah ;
    5. Pola pengawasan (dari sisi syariah) oleh lembaga terkait ;
    6. Pra-proses (persiapan) penerbitan Efek syariah ;
    7. Kelembagaan atau Institusi yang mengatur dan mengawasi kegiatan pasar modal syariah di Indonesia

    Devi Marisyah Pertiwi said:
    Februari 25, 2009 pukul 8:08 pm

    “PERADABAN KITA PASTI DATANG”
    By: Aji Dedi Mulawarman

    CITRA AKUNTANSI: KEPEDULIAN-KEHORMATAN ATAU KEKUASAAN-KESERAKAHAN?
    Nov 16, ’07 10:43 AM

    Mengapa terjadi kecelakaan Adam Air (yang nota bene mendapat Award of Merit in the Category Low Cost Airline of the Year 2006 dalam acara 3rd Annual Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit di Singapura, 9 Nopember 2006) dan KM Senopati yang menelan nyawa manusia ratusan jiwa mati dan menelan kesedihan ribuan keluarganya? Mengapa terjadi kecelakaan beruntun Kereta Api kelas ekonomi dan merenggut ratusan nyawa untuk mengamankan ratusan nyawa Kereta Api kelas eksekutif dan bisnis? Mengapa Lumpur Sidoarjo tak kunjung selesai mengamankan kepentingan masyarakat Sidoarjo, tetapi lebih mementingkan kemungkinan kandungan minyak atau gas milik Lapindo? Mengapa Blue Print Migas Nasional hanya berorientasi pada pencapaian harga ke keekonomian untuk kepentingan pembukaan pasar minyak dan gas dengan mengorbankan kesengsaraan rakyat atas nama beratnya subsidi BBM dalam APBN? Mengapa perusahaan-perusahaan air minum daerah hampir mengalami “kerugian bersama secara nasional” dan meminta “pemutihan hutang” untuk efisiensi dan kinerja? Mengapa hutan-hutan kita tak kunjung “sehat” dari para pembalakan liar besar-besaran dan mengkambinghitamkan peladang berpindah atau penebang liar kecil sebagai biang keladi?
    Begitu banyak kejadian yang menimpa Negara Indonesia ini, hal yang tersebut di atas hanya sebagian kecil saja tragedy yang sangat merugikan berbagai pihak, dan tidak sedikitnya memakan korban yang tidak berdosa.
    Hal ini bukan hanya dikarenakan kesalahan manajerial dan organisasi perusahaan yang semakin liar. Atau salah kaprahnya manajemen pemerintahan, atau bahkan lingkungan alam yang biasanya dijadikan “tumbal kesalahan” akhir. Lebih jauh dari itu adalah konsep akuntansi kita yang salah kaprah. Akuntansi dan akuntan dalam konteks kontemporer saat ini selalu diklaim pada realitas yang obyektif, ilmiah, materialistik-kuantitatif, dan merupakan gagasan yang bebas nilai (value free). Pendidikan akuntansi sebagai sarana transfer knowledge-pun kemudian menjadi alat dari pola yang diarahkan pada setiap mahasiswanya untuk berpikir obyektif dan bebas nilai, materialistik-kuantitatif serta menjadi sosok akuntan yang independen. Tetapi di sisi lain, akuntansi dan akuntan sebenarnya dikerangkakan dalam model yang ”establish dan takluk” dalam genggaman para pemilik modal dan investor.
    Akuntansi sekarang masih menjadi “menara gading” dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan market (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk usaha mikro, kecil dan menengah yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Menurut data Indonesian Capital Market Direktory 2005, perusahaan yang terdaftar di bursa saham per Desember 2004 mencapai 331 perusahaan. Sebagai perbandingan, jumlah usaha mikro, kecil dan menengah saat ini mencapai lebih dari 16 juta entitas. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia.
    Akuntansi sebagai akhir aktivitas organisasi dalam pelaporan keuangan perusahaan merupakan mekanisme simbol pertanggungjawaban ritual dan dinamis. Dinamika pertanggungjawaban, di dalamnya mengandung makna ritmik kehidupan atas capaian produktivitas. Produktivitas dan capaian organisasi bisnis perusahaan sebagai head line selama ini selalu berujung pada bottom line laba, sebagai simbol self-interest perusahaan untuk kepentingan pemilik dan atau pemegang saham. Ritmik kehidupan seperti ini jelas bertentangan dengan ritmik biologis yang selalu mempertimbangkan keseimbangan alam semesta. Kesalahan bottom line laba sebenarnya berakar pada head line produktivitas merupakan capaian ritualitas yang kering dan bermakna keserakahan sebagai antitesis keseimbangan.
    Model kekuasaan dengan kehormatan yang dilandasi keserakahan jelas berbuah keseimbangan baru yang dilandasi keserakahan dari keinginan balas dendam yang tak lekang jaman. Ketika akuntansi mencatat bahwa keberhasilan perusahaan menduduki peringkat usahanya dengan kekerasan dan strategi perang model Kuda Troya, maka head line produksi dilakukan dengan kekerasan untuk menghasilkan bottom line keuntungan dengan keserakahan. (Red: Kuda Troya adalah simbol keberhasilan Agememnon dengan kelicikan dan keserakahan menduduki Troya).
    Ketika akuntansi mencatat perlunya toleransi terhadap realitas lain bahwa perusahaan memiliki karyawan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka perusahaan seharusnya menanamkan empatinya kepada realitas “dalam” dan “luar”. Karyawan juga memiliki ritual yang berbeda dengan perusahaan, karyawan memiliki realitas “dalam” dan “luar” pula. Realitas “dalam” karyawan seperti istri dan anak-anak serta keluarganya. Realitas “luar” karyawan seperti rekan sesama karyawan, atasan, tetangga dan lainnya. Realitas “dalam” perusahaan juga bukan hanya pemilik dan pemegang saham, tetapi juga karyawan dan tenaga kerja non-manajemen. Realitas “luar” perusahaan lebih luas lagi, seperti pemasok, distributor, masyarakat sekitar perusahaan, lingkungan alam dan Tuhan. Bahkan Tuhan bukan hanya sebagai realitas “luar” tetapi juga merupakan realitas “dalam” bagi perusahaan, pemilik, pemegang saham, karyawan, tenaga kerja non-manajemen, pemasok, distributor, masyarakat sekitar, lingkungan alam dan bahkan alam semesta ini. Bayangkan betapa rumit dan kompleksnya realitas “dalam” dan “luar yang berinteraksi dengan perusahaan. Ketika realitas “dalam” dan “luar” dimudahkan seperti pemikiran Agememnon yang berorientasi kekuasaan dan keserakahan, maka realitas dalam hanyalah dirinya dan luar adalah realitas yang dapat diabaikan, hanya untuk kepentingan kekuasaan dan keserakahan. Dengan demikian, pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan juga menjadi mudah dan tak perlu serumit realitas alam semesta yang saling berinteraksi dan memiliki relasinya yang membentuk ritmik kehidupan. Ketika realitas dianggap sebagai realitas kompleks sebenarnya harus ada sikap yang lebih luas pula daripada hanya head line kekuasaan dan bottom line keserakahan.

    CITRA KEPEDULIAN DAN KEHORMATAN
    Ritme kehidupan produktif sebagai head line seharusnya mulai diorientasikan pada bottom line nilai tambah perusahaan untuk kepentingan penggiat organisasi, lingkungan di luar organisasi baik langsung maupun tidak langsung, berujung pada pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Bottom line nilai tambah sebagai bentuk ritmik kehidupan dapat dicapai ketika ritmik produktivitas memang “menyenandungkan” keseimbangan dan bukan keserakahan. Ritmik produksi sebagai head line harus menggambarkan “cinta” dan “kehormatan” perusahaan dari realitas “dalam” dan “luar” secara utuh, dan bukan hanya realitas pemilik serta pemegang saham. Cinta adalah kepedulian mendalam dari lubuk jiwa perusahaan ketika mengelola perusahaan untuk menghasilkan produk dan selalu mengedepankan kekuasaan yang penuh kehormatan dan bukan kekuasaan penuh keserakahan.
    Konsep akuntansi jelas harus memiliki citra kepedulian dan kehormatan perusahaan. Simbol perusahaan bukan hanya dilihat dari brand image, perluasan usaha, megahnya gedung dan pabrik, besarnya akumulasi modal, kinerja perusahaan, maupun citra pemilik. Simbol perusahaan harus memiliki pula “citra utamanya sebagai perusahaan yang selalu menyemai kepedulian dan menjaga kehormatannya”. Simbol kepedulian dan kehormatan perusahaan secara utuh hanya dapat dilakukan ketika akuntansi juga mencitrakan hal yang sama. Apa ya mungkin? Semoga Allah memberikan petunjuk bagi setiap orang yang ingin diberi petunjuk oleh-Nya. Amiin.

    TIKO FAJAR KURNIA_073403026 said:
    Februari 25, 2009 pukul 8:39 pm

    TIKO FAJAR KURNIA (073403026_AK_A_07)
    ARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH DAN AKUNTANSI DAN ISLAM

    Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dewasa ini berjalan dengan sangat pesat. Walaupun demikian,jumlah bank, jumlah kantor bank dan jumlah total aset Bank Syariah masih sangat kecil apabila dibandingkandengan bank konvensional. Banyak faktor yang akan mempengaruhi percepatan perkembangan perbankan syariah di masa yang akan datang. Salah satu faktor yang sangat penting adalah faktor hukum. Arah perkembangan perbankan syariah dimasa yang akan datang masih akan sangat signifikan dipengaruhi oleh perkembangan infrastruktur hukum perbankan syariah di Indonesia. Kita telah membuktikan bahwa perkembangan perbankan syariah yang pesat baru terjadi setelah diberlakukannya UU No. 10 Tahun1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam perkembangan bank syariah di Indonesia.
    Apabila dipahami bahwa Hukum Perbankan adalah segala sesuatu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perbankan syariah. Bank Syariah atau Bank Islam dilihat dari penerapan hukum Islam terhadap kegiatan bank. “Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.”(Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, 1992:1-2)”.
    Akuntansi Syariah menjadi sebuah wacana yang menarik sejak sekitar tahun 1980an. Hal ini terjadi karena mulai munculnya berbagai lembaga keuangan yang mencoba berusaha dengan menerapkan prinsip-prinsip islam (Adnan, 2005). Ini menimbulkan tantangan besar bagi para pakar syariah Islam. Mereka harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi yang berbeda dengan standar akuntansi bank dan lembaga konvensional seperti yang telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan Bank Islam dan atau Lembaga Keuangan Islam lainnya.Untuk lebih meyakinkan kita mengenai ada tidaknya akuntansi didalam islam, maka akan dibahas mengenai bagai mana sebenarnya Akuntansi didalam Islam, Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam dan sejarah perkembangan Akuntansi Syariah.
    Akuntansi di dalam Islam
    Berdasarkan penuturan allah dalam alqur’ an ternyata pengelolaan sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata allah menggunakan sistem yang mirip dengan apa yang sekarang kita kenal dengan akuntansi. Allah tidak membiarkan kita bebas tanpa monitoring dan pencatatan dari Allah. Allah memiliki malaikat Rakib dan Atid yang tugasnya mirip dengan tugas akuntan, yaitu mencatat setiap kegiatan maupun transaksi yang dilakukan oleh setiap manusia, yang menghasilkan buku yang disebut sijjin (Laporan Amal Baik) dan Illyin (laporan Amal Buruk), yang nantinya akan dilaporkan kepada kita di akhirat nanti untuk pertnggung jawaban. Hal ini disampaikan dengan jelas pada surat Al-Infithaar ayat 10-12 yang berbunyi:¨padahal sesungguhnya pada kamu ada malikat yang memonitor pekerjaanmu. Yang mulia disisi allah dan yang mencatat pekerjaanmu itu. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan¨.Laporan ini didukung bukti dimana tidak ada satupun transaksi yang dilakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan allah, seperti yang terlihat pada surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi:¨barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun niscaya dia melihatnya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrahpun dia akan melihatnya¨.Selain Allah selalu mencatat apa saja yang manusia kerjakan, Allah juga memerintahkan umat Islam agar melakukan pencatatan pada saat bermuamalah tidak secara tunai, yang dapat kita lihat pada surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi: ¨hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah iya menulis . . .¨Muamalah disini diartikan seperti kegiatan jual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa dan sebagainya. Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam islam sejak munculnya peradaban Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw, telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan diantara kedua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (sekarang dikenal dengan nama Accountability) . Sedangkan pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diatur. Karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh kitab suci. Dan mengenai hal ini rasulullah mengatakan:¨kamu lebih tahu urusan duniamu¨. Kesimpulannya akuntansi bagi islam adalah kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof islam terkenal 700tahun kemudian tidak mengenal akuntansi
    Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam
    Dalam istilah islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki 2 pengertian pokok yaitu: Muhasabah dengan arti musa’alah (perhitungan) dan munaqasyah (Perdebatan) . Proses musa-alah bisa diselesaikan secara individual atau dengan perantara orang lain, atau bisa juga dengan perantara malaikat, atau oleh allah sendiri pada hari kiamat nanti. Muhasabah dengan arti pembukuan/pencatatan keuangan seperti yang diterapkan pada masa awal munculnya islam. Juga diartiakan dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan kerugian.
    Muhasabah pun berarti pendataan, pembukuan, dan juga semakna dengan musa’alah (perhitungan) , perdebatan, serta penentuan imbalan/balasan seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga negara, lembaga baitul maal, undang-undang wakaf, mudharabah, dan serikat-serikat kerja.
    Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian akuntansi (muhasabah) didalam islam adalah:
    1.Pembukuan keuangan
    2.Perhitungan, perdebatan, dan pengimbalan
    Kedua makna ini saling terkait dan sulit memisahkannya, yaitu sulit membuat perhitungan tanpa adanya data-data, dan juga data-data menjadi tak berarti tanpa perhitungan dan perdebatan.

    DAFTAR PUSTAKA
    Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law-
    Common Law-Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

    Bank Indonesia, Direktorat Perbankan Syariah, Laporan Perkembangan
    Perbankan Syariah Tahun 2004.

    SENDI NUGRAHA said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:21 pm

    16 February 2008
    SENDI NUGRAHA (073403125)
    AKUNTANSI SYARIAH: Pengantar (1)

    1. PENDAHULUAN

    Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber dari dan diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di Indonesia? Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).
    Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).
    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%[1]. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).
    Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006)[2].
    Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).
    Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
    2. Akuntansi Syariah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.

    2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI[3] secara internasional dan PSAK No. 59[4] atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
    Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syariah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
    2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat[5]. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shariate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).

    DIMAS said:
    Februari 25, 2009 pukul 9:26 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah

    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik.

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    evi silviani (073403025) said:
    Februari 26, 2009 pukul 8:58 am

    AKUNTANSI SYARIAH
    1. PENDAHULUAN
    Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber dari dan diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di Indonesia? Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).
    Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).
    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).
    Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006).
    Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).
    Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
    2. AKUNTANSI SYARIAH: ANTARA ALIRAN PRAGMATIS DAN IDEALIS
    Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
    2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).

    Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
    Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syariah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
    2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
    Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah idealis (filosofis-teoritis), mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shariate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
    2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
    Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shariate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    3. PROYEK IMPLEMENTASI SHARIATE ENTERPRISE THEORY
    Proses pencarian bentuk teknologis dari akuntansi syariah aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
    Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syariah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shariate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shariate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).
    SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.

     Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.
    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.
    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.
    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.
    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).
    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4
    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
    1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:
    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8
    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9
    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12
    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13
    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14
    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    RIZAL BAEHAKI (073403140) said:
    Februari 26, 2009 pukul 12:09 pm

    Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber dari dan diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di Indonesia? Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).

    Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).

    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).

    Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006).

    Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).

    Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?

    2. Akuntansi Syari’ah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS

    Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.

    2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis

    Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.

    Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).

    Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.

    Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.

    2.2. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis

    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).

    Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.

    Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).

    2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis

    Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

    idealispragmatis.jpg

    3. Proyek IMPLEMENTASI Shari’ate Enterprise Theory

    Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.

    Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).

    SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.

    KAIDAH-KAIDAH AKUNTANSI SYARIAH

    Sesungguhnya kaidah-kaidah akuntansi yang utama merupakan terjemahan dan pelaksanaan prinsip-prinsip akuntansi, serta wajib diambil kesimpulannya, ditafsirkan dan dianalisa melalui pemahaman kita tentang ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan syariat islam, atau minimal tidak berlawanan dengan syariat Islam tersebut, kaidah-kaidah yang akan kita ulas pada bab ini adalah: Objectivitas, Accrual, Qiyas, Konsistensi, Hauliyah, Pencatatan yang sistematis, dan tranparansi. (Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid dalam buku Akuntansi Syariah, 2004 halaman 212-236).
    1. Kaidah Objektivitas.
    Sesungguhnya setiap aktifitas pemikiran atau fisik, dalam tingkat kemurniannya, kandungannya, dan penampilannya hanya bersandar lepada orang yang menghasilkan atau melakukan aktivitas tersebut.
    Demikian juga, aktivitas itu haruslah muncul dari pengetahuan, kesadaran dan pemahaman orang itu sendir
    Jadi berdasarkan hal tersebut, ada beberapa sifat yang harus terpenuhi dalam diri seorang akuntan, untuk mencerminkan keimanan dan kebaikannya, sehingga dia menjadi objektif di dalam aktifitasnya, Jujur di dalam apa yang dikatakan dan ditulisnya, dan bisa dipercaya di dalam apa-apa yang diputuskan atau ditetapkannya pada data-data atau informasi yang dapat membantu pihak lain dalam pengambilan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakannya. Agar akuntan tersebut dapat memiliki dan menikmati sifat objektif ini,
    2. Kaidah Accrual.adalah bagian dari kaidah-kaidah yang mempunyai signifikansi dalam kegiatan akuntansi. Signifikansi ini akan tampak secara lebih jelas dalam pengukuran keuntungan-keuntungan melalui perbandingan pemasukan-pemasukan dengan pengeluaran-pengeluaran. Kaidah accrual ini dapat didefinisikan sebagai berikut: “Suatu kaidah yang menangani tentang penjadwalan perimbangan pemasukan dan pengeluaran, baik yang telah diterima atau dibayarkan maupun yang belum diterima atau dibayarkan. Hal ini berdasarkan kaidah-kaidah umum dan standar-standar khusus yang harus dijadikan sandaran dalam mengakui pemasukan-pemasukan dan pengeluaran syakhsiyah i’tibariyah, untuk suatu periode keuangan yang dijadikan rujukan oleh pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran tersebut”.
    3. Kaidah Pengukuran
    . Kaidah pengukuran dapat kita definisikan, “yaitu suatu kaidah yang menjelaskan karakter jumlah sesuatu menurut dasar-yang telah disepakati dan dibatasi sebelumnya, tanpa melihat kepada karakter dari suatu tersebut atau substansinya.Metode pengukuran dengan uang ialah suatu istilah untuk penggunaan uang guna menjelaskan harga segala sesuatu yang memberi mafaat yang diperoleh atau ditawarkan oleh individu-individu dalam pergaulan mereka. Dan pengukuran dengan uang digunakan untuk menerapkan aturan pengukuran baik harga barang atau jasa disaat sekarang atau di masa mendatang, baik barang atau jasa dipertukarkan dengan pihak lain atau dipergunakan sendiri dalam kegiatan produksi. Sering kali pengukuran dengan uang disebut sebagai pengukuran terhadap niali, tapi kami berpendapat bahwa ia adalah pengukuran terhadap harga dan bukan terhadap nilai. Sebab nilai itu suatu yang relatif dan berbeda kadarnya antara seseorang dengan lainnya, sedang harga suatu barang bisa tetap pada suatu waktu tertentu sementara nialainya pada saat yang sama berbeda antara seseorang dengan lainnya.
    4. Kaidah Konsistensi adalah kaidah yang harus dipegang untuk menetapkan bahwa data akuntansi dapat dibandingkan. Kaidah konsistensi dapat didefinisikan, “yaitu kaidah yang menuntut suatu komitmen untuk mengikuti prosedurnya sendiri, dalam mengakui pengeluaran, pemasukan, hak-hak milik, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta menuntut kontinuitas penggunaan prosedur, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan standad-standard itu sendiri dalam mencatat data-data akuntansi, mengikhtisarkan, dan menyajikannya.
    Penerapan kaidah konsistensi tidak berarti harus tetap, sebagian prosedur atau setandar yang tidak sesuai dengan kondisi yang melingkupi keputusan atau tindakan tertentu. Sebab, ada kondisi-kondisi istimewa yang menuntut pengecualian dan dikesampingkannya prosedur atau standar itu sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya kaidah konsistensi dapat ditinggalkan dalam hal-hal furu’ (cabang) yang terdapat dalam kaidah-kaidah, tetapi tidak dapat ditinggalkan dalam ushul (dasar-dasar) dan prinsip-prinsip. Sebab, dasr-dasar dan prinsip-prinsip harus senantiasa konsisten dan tidak boleh keluar darinya. Akan tetapi apa bila kita keluar dari kaidah konsistensi ini, karena ketidak sesuaian prosedur atau setandar, dalam laopran keuangan haruslah ada penjelasan tentang tidak adanya keterkaitan dengan kaidah konsistensi.
    5. Kaidah Hauliyah.
    Kaidah hauliyah (periode akuntansi) menurut pembagian kehidupan perusahaan menjadi periode-periode yang sama untuk pengukuran hasil kegiatan perusahaan secara teratur. Hal itu bertujuan memastikan penilaian mengenai langkah-langkah kerjanya. Yang dimaksud dengan memastikan penilaian disini adalah mengetahui sejauh mana tujuan pendirian perusahaan itu telah tercapai. Hal itu dilaksanakan secara periodik, sehingga memungkinkan pelurusan langkah-langkah perusahaan jika diperlukan. Berdasarkan keterangan tersebut, kaidah hauliyah memberi kesempatan kepada manajemen perusahaan untuk mengukur hasil pekerjaan selama periode tersebut, yaitu melalui perhitungan laba rugi. Kaidah ini juga memberi kesempatan kita untuk mengetahui realitas perusahaan melalui penggambaran posisi keuangan perusahaan pada akhir periode perhitungan, dan perbandingan hasil-hasil pekerjaan serta posisi keuangan periode ini dengan periode-periode sebelumnya, atau denga target yang ditetapkan, atau dengan keduanya atau juga dibandingkan denga perusahan-perusahan lain, terutama para pesaing.
    Sesungguhnya teratur dalam mengukur hasil pekerjaan dan posisi keuangan perusahaan tidak dikarenakan oleh keinginan pemilik atau para perusahaan saja, dengan tujuan menikmati keuntungan, tetapi juga karena faktor-faktor lain yang menuntut penerapan kaidah Hauliyah sebagi suatu kaidah yang mengukuhkan prisip kontinuitas
    6. Kaidah Pencatatan sistematis.Yang dimaksud dengan prisnsip pencatatan sistematis ialah pencatatan dalam buku dengan angka atau kalimat untuk transaksi-transaksi, tidakan, tindakan, dan keputusan-keputusan yang telah berlangsung pada saat kejadiannya, secara sistematis dan sesuai dengan karakter perusahaan serta kebutuhan menejennya.
    7. Kaidah Transparansi
    Yang dimaksud dengan kaidah tranparansi ialah penggambaran data-data akuntansi secara amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun darinya serta tidak menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya atau yang menimbulkan kesan yang melebihi makna data-data akuntansi tersebut.
    Tujuan dari kaidah ini adalah mengikatkan diri dengan syariat Islam dalam hal menjauhi pengelabuhan dan kecurangan. Sebab menyembunyikan sebagian informasi, atau menggambarkan dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya, atau dengan cara yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan menyebabkan pengambilan keputusan yang keliru oleh pihak yang hendak mengambil manfaat dari data akuntansi tersebut.

    Asri Rahmawati (063403242_Ak B) said:
    Februari 26, 2009 pukul 8:02 pm

    SYARIAH ACCOUNTING
    Sumber TAZKIYAH PERADABAN
    Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d). Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).
    Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).
    Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006).
    Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
    Aliran akuntansi syariah pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
    Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a).
    Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
    KAS DSAK TERBITKAN ENAM PSAK
    Sumber ISM
    Komite Akuntansi Syariah Dewan Standar Akuntasi Keuangan (KAS DSAK) menerbitkan enam Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi seluruh lembaga keuangan syariah (LKS). PSAK yang diterbitkan merupakan standard akuntansi yang mengatur seluruh transaksi keuangan syariah dari berbagai LKS.
    PSAK tersebut adalah PSAK No 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, PSAK No 102 tentang akuntansi Murabahah (Jual beli), PSAK No 103 tentang Akuntansi Salam, PSAK No 104 tentang Akuntansi Isthisna, PSAK No 105 tentang Akuntansi Mudarabah (Bagi hasil), dan PSAK No 106 tentang Akuntansi Musyarakah (Kemitraan).
    “Mulai berlaku efektif 1 Januari 2008,” jelas Ketua KAS DSAK, M Yusuf Wibisana dalam seminar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang bertajuk “Dampak Penerbitan PSAK dalam Transaksi Keuangan Syariah”.
    Dalam penyusunannya KAS DSAK mendasarkan pada Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia dan fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).
    Mengomentari terbitnya enam PSAK tersebut, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Gunawan Yasni yang menjadi moderator dalam seminar tersebut, berpendapat terdapat satu permasalahan dalam menerapkan SAK Murabahah (Jual beli) Nomor 102.
    SAK tersebut menurutnya berpotensi menyebabkan berlakunya pajak ganda dalam transaksi pembiayaan murabahah perbankan syariah, karena SAK mewajibkan pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar dalam pembukuan bank syariah. Dalam hal ini bank syariah dapat dianggap sebagai perusahaan perdagangan dan bukan bank sehingga pajak ganda berlaku.
    Padahal, berdasarkan PAPSI yang disusun BI 2003 lalu, dalam transaksi murabahah, bank syariah dimungkinkan langsung mencatatnya sebagai piutang murabahah.
    Disebutkan, bila pajak ganda berlaku, itu dapat menjadi kendala bagi pengembangan industri perbankan syariah. Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu didorong agar segera mengamendemen UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga transaksi keuangan murabahah dengan pola pencatatan berdasarkan SAK 102 tidak mewajibkan pajak ganda.
    Sementara itu, Direktur Bank Syariah Mandiri (BSM), Hanawijaya tidak mempersalahkan penerbitan SAK Murabahah dimana dalam standar akuntansi tersebut diwajibkan adanya pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar. Penyusunan SAK tersebut didasarkan pada prinsip fiqh murabah. Karena itu, SAK Murabahah Nomor 102 tidak perlu dirubah.
    Tidak ada masalah dengan penerbitan SAK murabahah yang mengatur tentang inventory (persediaan) masuk dan keluar karena memang penyusunan SAK tersebut berdasarkan rukun Murabahah.
    Dengan demikian, yang diperlukan bagi perkembangan industri perbankan syariah terkait SAK Murabahah, adalah komitmen pemerintah dalam mendukung perkembangan industri dengan segera menetapkan pembiayaan murabahah tidak sebagai transaksi jual beli, tapi sebagai transaksi intermediasi perbankan. Karena itu, pembiayaan murabahah hanya boleh dikenakan PPN satu kali.

    Ana Destriana (073403007) said:
    Februari 27, 2009 pukul 1:55 pm

    [Ekonomi-Syariah] KONSEP AKAD ASURANSI SYARIAH BERBASIS WAKAF, Bisakah?

    By Rikza Maulan
    Wed, 04 Feb 2009 23:09:22 -0800

    Dalam industri asuransi syariah, kita mengenal adanya 2 konsep akad yang digunakan, yaitu; wakalah bil ujrah dan mudharabah musytarakah (sebagaimana telah difatwakan oleh DSN-MUI No 50 & 52/ DSN-MUI/III/2005). Kedua akad inilah (dan juga akad turunannya atau akad yang sepadan dengannya) yang mendominasi penggunaan konsep Takaful (Baca; Asuransi Syariah), di hampir seluruh negara. Namun ternyata di Pakistan, terdapat satu penerapan konsep Takaful yang “agak” berbeda dengan yang umumnya diimplementasikan di beberapa negara.
    Pak-Kuwait Takaful Company, menggunakan konsep waqf-wakalah (wakaf & wakalah) dalam pengelolaannya. Bagaimanakah konsep tersebut? menurut saya kurang lebih konsepnya adalah sebagai berikut :

    1. Pada dasarnya konsepnya hampir sama dengan konsep takaful (baca ; asuransi syariah) dengan model saving. Hanya pada bagian savingnya dialokasikan untuk wakaf. Sebagai contoh (pada model takaful dengan konsep mudharabah/ wakalah bil ujrah) ketika nasabah membayar premi, maka premi tersebut diberlakukan menjadi tiga alokasi berikut :

    * …% untuk ujrah, yang dialokasikan untuk operasional perusahaan.
    * …% untuk tabarru’, untuk dana tolong menolong, dialokasikan kepada nasabah yang terkena musibah (klaim)
    * …% untuk saving, milik peserta dan sepenuhnya akan dikembalikan ke peserta beserta hasil investasinya

    Sedangkan pada konsep wakaf wakalah, distribusi preminya adalah hampir sama, kecuali pada sisi savingnya saja yang berubah menjadi waqf :

    * …% untuk ujrah, yang dialokasikan untuk operasional perusahaan.
    * …% untuk tabarru’, untuk dana tolong menolong, dialokasikan kepada nasabah yang terkena musibah (klaim)
    * …% untuk wakaf yang diwakafkan untuk kemaslahatan umat (tidak
    kembali kepada nasabah)

    2. Dana wakaf yang diwakafkan, sama sekali tidak boleh diguanakan untuk operasioal, biaya klaim atau apapun. Dana wakaf harus menjadi aset tetap yang keberadaannya relatif “abadi”. Karena konsep wakaf itu adalah bahwa harta yang diwakafkan tidak boleh berkurang, tidak boleh habis, namun bersifat produktif dan menghasilkan. Sebagaimana yang Rasulullah SAW sabdakan kepada Umar,

    إن شئت حبست أصلها وتصدق بها – رواه البخاري

    Jika engkau mau, maka tahanlah pokok harta (yang diwakafkan), dan engkau
    (dapat) bersedkah dengan hasilnya (HR. Bukhari).

    3. Sedangkan hasil investasi dari dana wakaf tersebut, boleh digunakan untuk operasioanl (maksimal 12.5% dari hasil investasi), dan juga tentunya untuk “menambah” cadangan tabarru’ (87.5%). Tentunya cukup menarik untuk menambah cadangan tabarru’ perusahaan asuransi syariah. Selain sebenarnya perusahaan asuransi syariah juga sudah mengelola “tabarru'” nasabah.

    4. Dalam hal ini, nasabah secara otomatis akan menjadi muwakif/ wakif/ orang yang berwakaf, secara langsung ketika nasabah membayar premi, dalam bentuk cash wakaf/ wakaf tunai. Sehingga manfaat/ benefit yang akan diterima nasabahpun menjadi lebih banyak :

    * sebagai nasabah yang berfungsi untuk ta’awun
    * sebagai muwakif/ wakif
    * sebagai penerima manfaat apabila mendapat musibah.
    * investor

    5. Sedangkan perusahaan asuransi syariah juga memiliki fungsi yang lebih “maksimal”, yaitu

    * sebagai wakil, yang mengelola resiko nasabah
    * atau mudharib, dalam menginvestaikan dana nasabah
    * sebagai nadzir wakaf, yang berkewajiban mengelola wakaf nasabah.
    * sebagai pengelola komitas takaful yang saling berta’awun dan tolong menolong.

    6. Akad wakaf yang digunakan adalah wakaf untuk maslahat umat, atau wakaf untuk ta’awun. Karena wakaf itu tergantung peruntukkannya. Jika muwakif mewakafkan untuk membangun masjid, maka alokasinya harus untuk niat muwakifnya. Oleh karenanya, peranan “arah” dari niat muwakif sangat penting pada sisi ini. menurut saya yang paling “pas” adalah wakaf untuk maslahat umat (al-waqf limaslahatil ummah), atau wakaf untuk ta’awun (al-waqf lit ta’awun).

    7. Dana wakaf yang terkumpul, bisa “dialokasikan” untuk investasi pada aset tetap perusahaan asuansi syariah, seperti “gedung wakaf” yang digunakan sebagai “kantor” perusahaan asuransi syariah. Bahkan jika dana wakaf semakin membesar dalam jumlah yang sangat besar, tentunya bisa merambah untuk membuat rumah sakit, sekolah, dsb. Walaupun bisa juga diinvestasikan pada investasi perkebunan, pembangunan gedung-gedung perkantoran yang disewakan. Dimana semua hasilnya adalah akan digunakan untuk maslahah umat (pembayaran klaim dan juga sedikit untuk operasional).

    Konsep ini sangat tepat jika digunakan untuk konsep asuransi (syariah) berbasis sosial, micro insurance atau “asuransi non profit” lainnya. Walaupun, untuk yang “profit” pun, sangat mungkin dan sangat bisa dilakukan. Meskipun demikian memang tidak bisa dipungkiri adanya “sisi kerumitan” dalam pengimplementasiannya. Seperti pasa sisi pricing yang cenderung akan “relatif” lebih mahal. Karena memasukkankomponen wakaf dalam komponen premi yang harus dibayar oleh nasabah. Sehingga menjadi kurang “kompetitif”. dan juga diperlukannya modal awal yang sangat besar, untuk mengimplementasikannya.

    Diantara keunggulannya adalah sebagai berikut :
    • Asset yang tidak akan pernah berkurang, bahkan cenderung meningkat sangat cepat, seiring meningkatnya jumlah nasabah dan perputaran waktu.
    • Nasabah akan benar-benar merasa mendapatkan dunia akhirat, ketika membayar premi. Karena ketika membayar premi dia juga secara langsung berwakaf untuk kemaslahatan umat. (Walaupun pada asuransi syariah dengan konsep wakalah dan mudharabah pun sebenarnya juga dunia akhirat, karena bersifat membantu nasabah yang tertimpa musibah (tabarru’).
    • Hasil investasi dari dana wakaf, akan menambah cadangan tabarru’, disamping juga sebagiannya bisa untuk menambah biaya operasional perusahaan asuransi syariah (nadzir), yaitu maksimal 12.% atau 1/8 dari total hasil nvestasinya.
    • Dana wakaf yang terkumpul, dapat dijadikan gedung wakaf yang dijadikan kantor perusahaan asuransi syariah, yang dijadikan aset tetap dari dana wakaf tersebut. Atau bahkan dapat juga diinvestasikan dalam bentuk investasi properti yang disewakan untuk perkantoran, dan hasil investasinya untuk kepentingan nasabah.

    http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg03835.html

    Indri Supartini Nadiya (073403127) said:
    Februari 27, 2009 pukul 2:25 pm

    Urgensi Standarisasi Akuntansi Perbankan Syariah
    Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc
    dan
    Laily Dwi Arsyianti
    Kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini.
    Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan kalangan perbankan konvensional. Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat.Konteks perbankan kontemporer memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Namun yang perlu diperhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada perbankan syariah memiliki karakter berbeda dengan sistem akuntansi perbankan konvensional, meski memiliki persamaan pada aspek tertentu. Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.
    Mekanisme Dasar Bank Syariah
    Mekanisme dasar bank syariah adalah menerima deposito dari pemilik modal pada sisi kewajibannya untuk kemudian menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola atau skema yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori yaitu interest-free current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor. Sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.
    Untuk mencapai tujuan akuntansi yang bersifat standar, maka struktur dasar aktivitas investasi dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu. rekening investasi tanpa batasan, maksudnya adalah bank Islam memiliki kebebasan untuk menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara bersama-sama dengan modal pemilik bank, dan rekening investasi dengan batasan, maksudnya adalah pihak bank hanya bertindak sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang diterimanya dengan modal pemilik banknya tanpa persetujuan investor. Bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu, pada aspek pengenalan, pengukuran, dan pencatatan setiap transaksi pada sistem akuntansi bank syariah terdapat kesamaan dengan proses-proses yang terjadi pada sistem konvensional.
    Tujuan Akuntansi Keuangan
    Tujuan sistem akuntansi keuangan syariah adalah untuk menentukan hak dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan, seperti para depositor. Kemudian untuk menjamin keamanan dan keselamatan aset bank syariah, termasuk menjamin hak bank yang bersangkutan dan hak stakeholder lainnya. Yang ketiga, menjamin perbaikan manajemen dan kapabilitas produktif bank syariah agar senantiasa selaras dengan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan yang keempat adalah untuk menyediakan laporan keuangan yang berguna bagi para pemakainya ¡ªseperti pemegang saham, pemilik rekening, otoritas fiskal, dll¡ª sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang legitimate didalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan pihak bank syariah.
    Agar sebuah laporan keuangan tersebut benar-benar dapat di pertanggung jawabkan, maka kualitas informasi yang diberikan harus memenuhi beberapa criteria, diantaranya:
    1. Asas manfaat, terutama bagi pihak pemakai,
    2. Relevansi antara laporan keuangan dengan tujuan pelaporannya,
    3. Tingkat kepercayaannya,
    4. Komparabilitas, yaitu dapat diperbandingkan berdasarkan periode tertentu,
    5. Mudah dipahami serta tidak multi interprestasi.
    Jika Bank melakukan deal pada transaksi yang diharamkan, misalnya terkait dengan sistem riba, maka harus dijelaskan secara detil mengenai pemisahan pencatatan transaksi tersebut. Dan informasi tersebut harus mampu membantu pihak luar bank untuk mengevaluasi rasio kecukupan modal, resiko investasi, likuiditas, dan berbagai aspek finansial perbankan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, sehingga kredibilitas bank dapat dipertanggungjawabkan.
    Tantangan kedepan
    Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun sistem auditing dan akuntansi yang bersifat standar bagi kalangan perbankan syariah. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh AAOIFI (the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang berbasis di Bahrain. Sejak berdiri pada tahun 1991, lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun tentu saja, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pakar dan praktisi perbankan syariah. Hal ini dikarenakan tantangan yang semakin besar, termasuk bagaimana bersaing secara sehat dan produktif dengan kalangan perbankan konvensional.
    Diantara tantangan yang terberat kedepannya adalah bagaimana menciptakan standar metodologi akuntansi terhadap beragam tipe pola atau skema pembiayaan perbankan syariah yang dapat diterima secara internasional. Kemudian juga adalah tantangan regulasi yang secara umum belum menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap sektor perbankan syariah. Bila semua pihak tetap konsisten didalam menegakkan konsep perbankan syariah secara utuh, maka lambat laun perbankan syariah kedepannya memiliki harapan untuk dapat menggantikan sistem perbankan konvensional.

    RENY SUMARNI (073403034) said:
    Februari 27, 2009 pukul 2:55 pm

    AKUNTANSI DALAM PRESPEKTIF ISLAM
    Posted by shariahlife on January 14, 2007
    Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Partanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah ekonomi islam.
    Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam –Al-Qur’an dan Ahlul Bayt– maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.
    Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia, baik dalam tataran makro maupun mikro.. Ajaran agama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan.
    Dari Normatif ke Teoritis
    Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak melulu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.
    Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dibahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah. Dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.
    Wacana Akuntansi Syariah
    Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.
    Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt.
    Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
    1. Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
    2. Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
    3. Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
    4. Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
    5. Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
    6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha.
    Konsepsi Pelaporan Keuangan
    Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.
    Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.
    Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
    Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini.

    YAYAT SURYANA (073403014) said:
    Februari 27, 2009 pukul 3:19 pm

    AKUNTABILITAS SEBAGAI TUJUAN DASAR AKUNTANSI SYARIAH
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:

    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8

    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11

    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.

    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12

    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13

    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas .

    YAYAT SURYANA (073403014) said:
    Februari 27, 2009 pukul 3:42 pm

    Manfaat Analisis Laporan Keuangan Dalam Pengambilan Keputusan Pemberian Pembiayaan Guna Mengurangi Risiko Kerugian Pembiayaan Bank Syariah:
    Yusuf, Yovi Maulana

    Kehancuran bank-bank konvensional di Indonesia saat ini, merupakan suatu bukti dari kekejaman dari system riba atau yang sering disebut bunga. Dan banyaknya kredit-kredit yang diberikan dianalisis secara tidak layak sehingga dengan analisis seadanya timbul kredit-kredit macet yang menjadi kerugian dan beban bagi bank konvensional. Kredit dalam istilah bank syariah adalah pembiayaan merupakan salah satu sumber utama pendapatan bagi bank syariah, hampir semua dana masyarakat yang tersimpan di bank disalurkan melalui pembiayaan yang mempunyai resiko yang cukup besar bagi bank yang berpengaruh terhadap tingkat kesehatan bank syariah.
    Resiko usaha bank salah satunya adalah terjadinya pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank tidak dapat terbayar dan tidak dapat memberikan bagi hasil untuk bank, disisi lain bank syariah pun harus dapat menyediakan dana masyarakat yang disimpan tersebut dapat tersedia setiap saat dan berharap Bank Syariah dapat memberikan bonus atau bagi hasil. Suatu Bank Syariah dituntut untuk dapat mengelola dana masyarakat tersebut dengan baik dan aman serta diharapkan bank syariah dapat memberikan bonus atau bagi hasil bagi para nasabahnya. Sehubungan dengan hal diatas, Bank Syariah memerlukan ketepatan dan kecakapan dalam mengelola dana masyarakat yang disimpan dibank syariah yang disalurkan melalui pembiayaan yaitu dengan memberikan pembiayaan kepada calon penerima penerima pembiayaan yang benar-benar layak dan berpotensi untuk menghasilkan bagi hasil bagi pihak bank terutama bagi calon penerima pembiayaan yang mngajukan permohonan pembiayaan dalam jumlah yang cukup besar. Bank syariah pun harus bisa mengendalikan resiko pembiayaan yang macet, untuk itu proses seleksi calon penerima pembiayaan adalah hal yang harus dilakukan oleh pihak bank syariah. Melalui proses penilaian terhadap calon penerima pembiayaan yang dilakukan oleh pihak Bank Syariah tersebut diharapkan diharapkan dapat menghasilkan calon penerima pembiayaan yang baik dan berpotensi untuk menghasilkan keuntungan bagi pihak Bank Syariah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk dapat mengetahui keefektifan atau â Manfaat Analisis Laporan Keuangan Dalam Pengambilan Keputusan Pemberian Pembiayaan Guna Mengurangi Resiko Kerugian Pemberian Pembiayaan Bank Syariahâ .
    Dari hasil analisis terhadap PT. Bank Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kabupaten Bandung dapat menunjukan bahwa analisis laporan keuangan bermanfaat dalam pengambilan keputusan pemberian pembiayaan guna mengurangi resiko kerugian pembiayaan bank syariah. Dari hasil analisis terhadap PT. Bank Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran kabupaten Bandung Dapat menunjukan bahwa laporan keuangan sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan penberian pembiayaan guna mengurangi resiko kerugian pembiayaan Bank Syariah. URI: http://hdl.handle.net/10364/611 Date: 2005-11

    Ira Febriani said:
    Februari 27, 2009 pukul 8:44 pm

    Ira Febriani
    073403017

    Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah
    Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”
    Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Sumber : http://f-andriana.blogspot.com/2007/10/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah.html

    Risa Nurinsani said:
    Februari 27, 2009 pukul 8:47 pm

    Risa Nurinsani
    073403005
    AKUNTANSI DALAM KONSEP SYARIAH ISLAM
    • Pengertian Akuntansi Dalam Konsep Syariah Islam
    Akuntansi adalah suatu ilmu dari beberapa informasi yang mencoba menganalisis bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.
    Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
    ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
    Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
    Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
    Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
    • Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah
    Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
    • Tujuan akuntansi syariah
    Tujuan akuntansi syariah tegas adalah merealisasikan kecintaan utama kepada Allah SWT, dengan melaksanakan akuntabilitas ketundukan dan kreativitas, atas transaksi-transaksi, kejadian-kejadian ekonomi serta proses produksi dalam organisasi, yang penyampaian informasinya bersifat material, batin maupun spiritual, sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.

    Oleh: Aji Dedi Mulawarman
    http://akuntansi-ku.blogspot.com/2009/01/tazkiyah-tujuan-akuntansi-syariah.html

    Trisnawati said:
    Februari 27, 2009 pukul 8:59 pm

    Trisnawati
    073403037
    PROSPEK DAN TANTANGAN AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    Perkembangnya akuntansi syariah beserta cabang cabangnya cukup signfikan dewsa ini. Kebutuhan dari para praktisi ekonomi syariah akan akuntansi syariah amat besar. Tidak hanya kaum muslimin saja yang membutuhkan akuntansi syariah tetapi juga masyarakt dunia secara umum. Saat ini orang sudah mulai jenuh dengan sistem akuntansi konvensional buatan Barat yang notabene cenderung materialsitis kosong dari ruh spiritualisme.
    Perkembangan akuntansi syariah menuntut pula perubahan pada cabang-cabang dari ilmu akuntansi tak terkecuali pada Akuntansi Biaya. Kebutuhan adanya suatu sistem akuntansi biaya yang berbasis syariah sangatlah besar.
    Hambatan-hambatan berkembangnya akuntansi biaya berbasis syariah:
    a) Hingga saat ini sedikit sekali orang yang memberikan atensi khusus pada hal ini. Kebanyakan ahli dalam akuntansi syariah memfokuskan pembahasannya pada pada laporan keuangan saja, tidak pada proses kegiatannya. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa sebagian besar buku tentang akuntansi syariah membahas tentang laporan keuangan. Juga pada PSAK 59 dan PSAK 101-106 pokok bahasannya pada laporan keuangan. Padahal akuntansi tidak hanya sekedar laporan keuangan saja tetapi juga seluruh proses yang berkesinambungan dari penjurnalan hingga pelaporan keuangan.
    b) Orang juga masih ragu untuk memakainya. Hal ini terjadi karena belum adanya standar yang baku dalam akuntansi biaya berbasis syariah.
    c) Perbedaan persepsi antara akuntansi syariah aliran pragmatis dan aliran idealis
    Akuntansi biaya berbasis syariah bukanlah mimpi tetapi ini merupakan suatu realita seperti Akuntansi Syariah itu sendiri. Seperti sistem yang lainnya tentu ada saja kekurangan hambatannya. Peran para ahli untuk menemukan formula yang tepat sangatlah dibutuhkan. Begitu pula yang paling penting peran dari praktisi-praktisinya.
    “Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam” antara lain terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (nsure) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4. Konsep konvensional mempraktekkan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari insure (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu nsurea ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perbedaan akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah sangatlah mendasar. Perbedaan ini menurun pula pada cabang-cabang dari ilmu akuntansi tak terkecuali pada Akuntansi Biaya.

    Rani Hermayani said:
    Februari 28, 2009 pukul 8:53 am

    Rani Hermayani
    073403001

    Sistem Ekonomi Konvensional versus Sistem Ekonomi Islam

    Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia untuk mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Cara pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) inilah yang membentuk sistem ekonomi yang diterapkan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa suatu kerangka konseptual berkembang dari tujuan, teori, konsep, definisi dan aturan, maka sistem ekonomi sebagai penentu pendisribusian kesejahteraan tidak bisa lepas dari kajian mengenai kerangka konseptual akuntansi.
    Ada lima sistem ekonomi yang dikenal masyarakat yaitu :
    (a) kapitalisme
    (b) sosialisme
    (c) fasisme
    (d) komunisme
    (e) islam.
    Empat sistem ekonomi pertama adalah sistem ekonomi konvensional di mana sistem Kapitalisme yang masih bertahan. Pembahasan mengenai setiap sistem ekonomi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

    a. Sistem Ekonomi Kapitalisme

    Sistem ekonomi kapitalisme diperkenalkan pertama kali oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya An Inquiry into The Nature and Causes of the Wealth of Nation dengan banyak pendukung: Ricardo, Malthus, Keynes. Sistem ekonomi kapitalisme telah menerima akseptansi dunia dan telah berkembang apalagi setelah berhasil menggantikan sistem ekonomi di negara- negara motor penggerak sistem komunisme dan sosialisme. Smith berpendapat bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar kepentingan pribadi. Motif kepentingan individu didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Menurut Smith, jika individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, maka ia seakan dibimbing invisible hand. Sehingga pada sistem ekonomi kapitalisme berlaku Free Fight Liberalism (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuatan modal dapat memenagkan persaingan bisnis. Walaupun sistem ini telah mendapatkan tempat yang tinggi di dunia, namun ada beberapa kelemahan yang dapat dicermati (Adnan, 2005).
    Pertama, ekonomi kapitalis adalah konsep yang human made, sama sekali tidak ada sentuhan Ilahiyah. Kedua, kapitalisme tidak mengenal kata keadilan yang seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun sistem ekonomi yang solid. Ketiga, tidak manusiawi karena adanya eksploitasi baik dari manusia ke manusia lain, ataupun negara ke negara lain, Ketiga, telah terbukti bahwa penerapan konsep kapitalisme tidak otomatis memberikan kesejahteraan. Keempat, kapitalisme terbatas pada ukuran duniawi saja, kesejahteraan diukur dengan aspek materi dan kering dari nilai- nilai agama.

    b. Sistem Ekonomi Sosialisme

    Sosialisme muncul dari ketidakpuasan terhadap kapitalisme. Sosialisme diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah menasionalisasikan industri besar dan strategis seperti penambangan , jalan- jalan, kereta api serta cabang- cabang produk lain yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk paling lengkap, sosialisme melibatkan semua pemilikan alat- alat produksi termasuk di dalamnya tanah- tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan kepemilikan swasta (Brinton dalam Eldine, 2005). Hal yang menonjol dalam sosialisme adalah rasa kebersamaan sehingga alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber ekonomi negara diatur pemerintah.

    c. Sistem Ekonomi Fasisme

    Fasisme muncul dari filsafat radikal yang dipicu oleh revolusi industri yaitu sindikalisme. Intinya, filsafat sindikalisme menginginkan reorganisasi masyarakat menjadi asosiasi- asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat pekerja. Sindikat yang pada dasarnya serikat buruh akan menggantikan negara. Pemerintah melakukan pengendalian di bidang produksi sedangkan kekayaan dimiliki pihak swasta

    d. Sistem Ekonomi Komunisme

    Kata komunisme sering digunakan untuk menggambarkan sistem sosial di mana barang- barang dimiliki secara bersama- sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing- masing anggota masyarakat. Komunisme muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme sebagai aliran yang ekstrim dan lebih bersifat ideologis. Karl Marx adalah pejuang komunisme yang amat membenci kapitalisme karena ia melihat bagaimana kapitalisme telah mengeksploitir sebagian masyarakat, termasuk keluarganya, sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para borjuis. Paham komunisme adalah from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai kemampuan untuk setiap orang sesuai kebutuhan)

    e. Sistem Ekonomi Islam

    Dalam ekonomi islam kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi dialokasikan sedemikian rupa sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorangpun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam ekonomi islam manusia tidak berada dalam kedudukan untuk dapat dengan leluasa mendistribusikan sumber- sumber daya: ada Al Qur’an dan Hadits yang membatasi. Misalnya membuat dan menjual minuman beralkohol bisa jadi merupakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan tinggi dan merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi konvensional, namun dalam sistem ekonomi islam hal tersebut tidak diperkenankan (Eldine, 2005).
    Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin dan melarang penumpukan kekayaan. “Kecelakaanlah bagi setiap… yang mengumpulkan harta dan menghitung- hitung” (QS: 104-2) Ajaran Islam menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial. “Jangan sampai kekayaan hanya beredar di kalangan orang- orang kaya saja diantara kamu” (QS: 59- 7). Ekonomi Islam juga berbeda dengan sosialisme karena kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam islam bertentangan dengan ajaran sosialisme (Mubyarto, 2002).

    ade sopyan ansori said:
    Februari 28, 2009 pukul 11:44 am

    ADE SOPYAN ANSORI
    AKUNTANSI SYARIAH DAN PENERAPANNYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
    http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/akuntansi-syariah-sesuai-psak-59
    Akuntansi Islam (Akuntansi Syariah) muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid.
    Dengan demikian Akuntansi Islam menjadi suatu kebutuhan bagi institusi bisnis syariah yang bertujuan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam dan menjadikannya sebagai suatu kegiatan yang berdimensi ibadah. Dalam menjawab kebutuhan akuntansi yang sesuai nilai-nilai Islami yang dirumuskan dalam Konsep Akuntansi Islam, telah disusun PSAK Syariah oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Hal ini dikarenakan di Indonesia Sejak 1992-2002 atau 10 tahun Bank Syariah tidak memiliki PSAK khusus. PSAK 59 sebagai produk DSAK – IAI perlu diacungkan jempol dan merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi Akuntansi Syariah di Indonesia. PSAK ini disahkan tanggal 1 Mei 2002 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003.
    TUJUAN
    PSAK 59 bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi (pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan) transaksi khusus yang berkaitan dengan aktivitas bank syariah.
    RUANG LINGKUP
    a. PSAK 59 diterapkan untuk bank umum syariah, bank perkreditan rakyat syariah, dan kantor cabang syariah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia.
    b. Hal-hal umum yang tidak diatur dalam PSAK 59 mengacu pada pernyataan standar akuntansi keuangan yang lain dan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
    c. PSAK 59 bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) pemerintah, lembaga pengawas independen, dan bank sentral (Bank Indonesia).
    A. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN MUDHARABAH
    Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisab bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Maka jika usaha mengalami kerugian, seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
    Mudharabah terdiri dari 2 (dua) jenis :
    1) Mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), yaitu mudharabah yang dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
    2) Mudharabah muqayyadah (investasi terikat), yaitu mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan pada pengelola dana mengenai tempat, cara dan objek investasi.
    Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) metode, yaitu :
    1. Metode bagi laba (profit sharing), yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah
    2. Bagi pendapatan (revenue sharing), yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.
    B. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN MUSYARAKAH
    Musyarakah adalah akad kerjasama diantara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan.
    Pembiayaan musyarakah diberikan dalam bentuk :
    – Kas;
    – Setara kas; atau
    – Aktiva non kas;
    – Aktiva tidak berwujud, seperti : lisensi dan hak paten
    Laba musyarakah dibagi diantara para mitra, baik secara proporsional sesuai dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya) atau sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh semua mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya).
    C. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN MURABAHAH
    Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
    Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
    Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:
    (a) mempercepat pembayaran cicilan; atau
    (b) melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
    Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.
    Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah
    Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir, yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (qardhulhasan).
    D. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN SALAM
    Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
    Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan bank.
    Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi : jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.
    E. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ISTISHNA
    Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani (produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi : jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagal pembeli atau penjuat dalam suatu transaksi istishna.
    Pada dasarnya istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:
    a. kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau
    b. akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
    Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen/penjual atas :
    (a) jumlah yang telah dibayarkan; dan
    (b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
    Produsen/penjual mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa harga yang disepakati akan dibayar tepat waktu.
    F. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYAH BITTAMLIK
    Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik ma’jur (objek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya. Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada spat tertentu sesuai dengan akad sewa.
    H. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN QARDH
    Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.
    Bank syariah di samping memberikan pinjaman qardh, juga dapat menyalurkan pinjaman dalam bentuk qardhul hasan. Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaiannya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset bank yang bersangkutan.
    Sumber dana qardhul hasan berasal dari eksternal dan internal. Sumber dana eksternal meliputi dana qardh yang diterima bank syariah dari pihak lain (misalnya dari sumbangan, infak, shadaqah, dan sebagainya), dana yang disediakan oleh para pemilik bank syariah dan hash pendapatan nonhalal. Sumber dana internal meliputi hash tagihan pinjaman qardhul hasan.
    I. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN SHARF
    Sharf adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi valuta asing pada bank syariah (di luar jual bell banknotes) hanya dapat dilakukan untuk tujuan lindung nilai (hedging) dan tidak dibenarkan untuk tujuan spekulatif.
    Pendapatan Sharf
    Selisih antara kurs yang diperjanjikan dalam kontrak dan kurs tunai (mark to market) pada tanggal penyerahan valuta diakui sebagai keuntungan/kerugian pada saat penyerahan/penerimaan dana.
    Selisih penjabaran aktiva dan kewajiban valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.
    J. PENGAKUAN DAN PENGUKURAN KEGIATAN BANK SYARIAH BERBASIS IMBALAN
    Kegiatan-kegiatan yang menghasilkan ujrah (imbalan), antara lain, wakalah, hiwalah, dan kafalah.
    Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama pemberi kuasa. Akad Wakalah tersebut dapat digunakan, antara lain dalam pengiriman transfer, penagihan utang balk melalui kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.
    Kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh kaafil (penjamin/bank) kepada makful (penerima jaminan) dan penjamin bertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak penerima jaminan. Kafalah dapat digunakan untuk pemberian jasa bank, antara lain, garansi bank, standby L/C, pembukaan L/C impor, akseptasi, endosemen, dan aval.
    Hiwalah adalah pemindahan atau pengalihan hak dan kewajiban, balk dalam bentuk pengalihan piutang maupun utang, dan jasa pemindahan/pengalihan dana dari satu entitas kepada entitas lain.
    Imbalan dari Kegiatan Bank Syariah Berbasis Imbalan
    Pendapatan dan beban yang berkaitan dengan jangka waktu diakui selama jangka waktu tersebut. Pendapatan dan beban yang tidak berkaitan dengan jangka waktu diakui pada saat terjadinya transaksi dalam periode yang bersangkutan.
    F. LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA ZAKAT, INFAK DAN SHADAQAH
    Bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan zakat, infak, dan shadaqah sebagai komponen utama laporan keuangan, yang menunjukkan:
    a. sumber dana zakat, infak, dan shadaqah yang berasal dari penerimaan: (i) zakat dari bank syariah; (ii) zakat dari pihak luar bank syariah;(iii) infak; dan (iv) shadaqah;
    b. penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah untuk:
    i. fakir;
    ii. miskin;
    iii. hamba sahaya (riqab);
    iv. orang yang terlilit utang (gharim);
    v. orang yang baru masuk Islam (muallaf);
    vi. orang yang berjihad (fiisabilillah);
    vii. orang yang dalam perjalanan (ibnusabil); dan
    viii. anvil;
    c. kenaikan atau penurunan sumber dana zakat, infak, dan shadaqah;
    d. saldo awal dana penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah; dan
    e. saldo akhir dana penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah.
    Zakat adalah sebagian dari harts yang wajib dikeluarkan oleh muzaki (pembayar zakat) untuk diserahkan kepada mustahiq (penerima zakat). Pembayarai zakat diiakukan apabila nisab dan haul-nya terpenuhi dari harts yang memenuhi kriterii wajib zakat. Pada prinsipnya wajib zakat adalah shahibul mal. Bank dapat bertindal sebagai anvil zakat.
    Unsur dasar laporan : sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah, meliputi sumber dana, penggunaan dana selama suatu jangka waktu, serta saldo dan zakat, infak, dan shadaqah pada tanggal tertentu.
    Sumber dana zakat, infak, dan shadaqah berasal dari bank dan pihak lain yang diterima bank untuk disalurkan kepada yang berhak.
    Penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah berupa penyaluran kepada yang berhak sesuai dengan prinsip syariah.
    Saldo dana zakat, infak, dan shadaqah adalah dana zakat, infak, dan shadaqah yang belum dibagikan pada tanggal tertentu.
    G. LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA QARDHUL HASAN
    Bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan sebagai komponen utama laporan keuangan, yang menunjukkan :
    a. sumber dana dana qardhul hasan yang berasal dari penerimaan:
    i. infak;
    ii. shadaqah;
    iii. denda;
    iv. pendapatan nonhalal;
    b. penggunaan dana qardhul hasan untuk:
    i. pinjaman;
    ii. sumbangan;
    iii. kenaikan atau penurunan sumber dana qardhul hasan;
    iv. saldo awal dana penggunaan dana qardhul hasan; dan
    v. saldo akhir dana penggunaan dana qardhul hasan.
    Unsur dasar laporan sumber dan penggunaan dana qardhulhasan meliputi sumber, penggunaan dana qardhul hasan selama jangka waktu tertentu, dan saldo dana qardhul hasan pada tanggal tertentu.
    Sumber dana qardhul hasan berasal dari bank atau dari luar bank. Sumber dana qardhul hasan dari luar berasal dari infak dan shadaqah dari pemilik, nasabah, atau pihak lainnya.
    Penggunaan dana gardhu/hasan meliputi pemberian pinjaman baru selama jangka waktu tertentu dan pengembalian dana qardhul hasan temporer yang disediakan pihak lain.
    Saldo dana qardhul hasan adalah dana qardhul hasan yang belum disalurkan pada tanggal tertentu.
    Bank syariah harus mengungkapkan hal-hal berikut :
    (a) jenis aktiva produktif, sektor ekonomi, dan jumlah aktiva produktif masing-masing;
    (b) jumlah aktiva produktif yang diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
    (c) kedudukan bank dalam pembiayaan bersama dan besarnya porsi yang dibiayai;
    (d) jumlah aktiva produktif yang telah direstrukturisasi dan informasi lain tentang aktiva produktif yang direstrukturisasi selama periode berjalan;
    (e) klasifikasi aktiva produktif menurut jangka waktu, kualitas aktiva produktif, valuta dan tingkat bagi hasil rata-rata;
    (f) ikhtisar perubahan penyisihan kerugian dan penghapusan aktiva produktif yang diberikan dalam tahun yang bersangkutan yang menunjukkan saldo awal, pen yisihan selama tahun berjalan, penghapusan selama tahun berjalan, pembayaran aktiva produktif yang telah dihapusbukukan dan saldo pen yisihan pada akhir tahun;
    (g) kebijakan dan metode akuntansi penyisihan, penghapusan dan penanganan aktiva produktif bermasalah;
    (h) metode yang digunakan untuk menentukan penyisihan khusus dan umum;
    (i) kebijakan, manajemen, dan pelaksanaan pengendallan risiko portofolio aktiva produktif;
    (j) besarnya aktiva produktifbermasalah dan penyisihannya untuk setiap sektor ekonomi; dan
    (k) saldo aktiva produktif yang sudah dihentikan.

    Seni Siti Maidah 073403022 said:
    Februari 28, 2009 pukul 11:52 am

    Seni Siti Maidah
    073403022
    KONSEP DASAR AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    Akuntansi Syari’ah adalah Secara etimologi , kata akuntansi berasal dari bahasa inggris, accounting, dalam bahasa Arabnya disebut “ Muhasabah” yang berasal dari kata hasaba, hasiba, muhasabah atau wazan yang lain adalah hasaba, hasban, hisabah, artinya menimbang, memperhitungkan mengkalkulasikan, mendata, atau menghisab, yakni menghitung dengan seksama atau teliti yang harus dicatat dalam pembukuan tertentu.
    Kata “hisab” banyak ditemukan dalam Al-qur’an dengan pengertian yang hampir sama, yaitu berujung pada jumlah atau angka
    1. Definisi Biaya
    Carter dan Usry (2004, 29) mengutip Sprouse dan Moonitz yang mendefinisikan biaya sebagai “nilai tukar, pengeluaran, pengorbanan untuk memperoleh manfaat. Dalam akuntansi keuangan, pengeluaran atau pengorbanan pada saat akuisisi diwakili oleh penyusutan saat ini atau di masa yang akan datang dalam bentuk kas atau aktiva lain.”
    Dalam konsep Islam sesuatu dianggap biaya jika pengeluaran itu telah benar-benar dikeluarkan untuk kepentingan tersebut. Hal ini karena akuntansi syariah menganut cash basis dalam perhitungannya sehingga pengeluaran yang belum benar-benar dikeluarkan tidak dapat diakui sebagai biaya.
    2. Anggaran
    Anggaran menurut Carter dan Usry (2004, 13) pernyataan terkuantifikasi dan tertulis dari rencana manajemen. Anggaran berisi rencana pendapatan dan pengeluaran perusahaan dalam satu periode.
    Dalam konsep Islam, anggaran merupakan cerminan niat dari perusahaan. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda “ Sesungguhnya tiap amal tergantung dari niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari anggaran ini dapat dilihat tujuan perusahaan dan cara-cara yang akan ditempuhnya untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu sudah sejak proses penganggaran tidak ada hal-hal yang menyimpang dari syariat Islam.
    3. Penetapan Harga
    Penetapan harga jual dipengaruhi oleh berbagai aspek diantaranya adalah aspek biaya. Islam tidak melarang manusia untuk mengambil laba. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 198 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari keutamaan(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. Akan tetapi Islam melarang umatnya dari mengambil keuntungan yang melebihi kewajaran. Misalkan biaya yang dikeluarkannya 100 rupiah tetapi dia menjualnya seharga 10.000 rupiah. Dia memperoleh keuntungan yang sangat banyak tetapi untuk itu dia mendzalimi pembelinya. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam
    4. Traceability Biaya ke Obyek Biaya
    Kemampuan untuk menelusuri biaya ke obyek biaya sangat penting dalam konsep syariah. Dari sini dapat diketahui modal mana yang digunakan untuk membiayai proyek yang mana sehingga pembagian hasil/labanya dapat tepat dan memenuhi unsur keadilan.

    Prasetya Dekawati 073403035 said:
    Februari 28, 2009 pukul 11:55 am

    Prasetya Dekawati
    073403035
    PERBEDAAN AKUNTANSI BIAYA KONVENSIONAL DENGAN AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    1. Klasifikasi Biaya
    Pada akuntansi biaya konvensional,biaya secara umum diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
    1. Biaya Tetap : biaya yang jumlahnya tetap meskipun aktivitas bisnis naik atau turun.
    2. Biaya Variable: biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan aktivitas bisnis.
    3. Biaya Semivariable: biaya yang memiliki karakterisktik biaya tetap dan variable.
    Dalam Islam harus ada kejelasan tidak boleh ada unsur yang samar (gharar) sehingga penetapan biaya dilakukan per aktivitas. Contohnya pada aktivitas A. Perhitungan biayanya dirinci sesuai dengan biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk aktivitas tersebut. Sehingga nanti akan ada Biaya tetap aktivitas A, Biaya variable aktivitas A, Biaya Semi variable aktivitas A. Yang jadi masalah adalah sulitnya untuk menentukan secara tepat berapa biaya tetap yang benar-benar terpakai untuk suatu aktivitas. Allah berfirman “ Bertakwalah kepada Allah semampu kalian”. Allah juga berfirman “Allah tidak akan membebani manusia apa-apa yang tidak dapat dipikulnya”. Oleh karena itu sedapat mungkin harus dicari biaya yang benar-benar terpakai baik dengan metode High and Low Point, metode Scattergraph, atau dengan metode Kuadrat Terkecil. Nantinya jika jumlahnya tidak benar-benar tepat, maka tidak mengapa.

    2. Sistem Perhitungan Biaya
    Pada akuntansi biaya konvensional dikenal empat macam sistem perhitungan biaya yaitu:
    1. Job Order Costing : biaya diakumulasikan untuk setiap batch, lot, atau pesanan pelanggan.
    2. Process Costing: biaya diakumulasikan berdasarkan proses produksi atau berdasarkan departemen.
    3. Metode Campuran : campuran dari job order costing dan process costing
    4. Backflush Costing : biaya diakumulasikan secara sangat cepat seperti pada sistem just in time yang sudah matang.
    Dalam Akutansi Islam lebih ditekankan pada darimana pembiayaan proses produksi barang/jasa. Produksi suatu barang/jasa harus qath’i (jelas) darimana biayanya. Misalkan dalam produksi barang A digunakan 100% dari modal Tuan A. Sedangkan pada produksi barang B, dananya 50% dari Tuan Fulan 50% dari Tuan Allan.. Hal ini akan menentukan besarnya jumlah bagi hasil yang diberikan pada tiap-tiap pemilik modal.
    Hal di atas adalah perhitungan yang ideal. Perhitungan ini mudah dilakukan pada entitas-entitas bisnis berskala kecil yang kegiatannya masih sederhana. Tapi bagaimana dengan entitas bisnis berskala besar yang modalnya berasal dari puluhan atau bahkan ratusan orang? Pengklasifikasian ini tentu akan sangat sulit. Maka kita kembali pada ayat “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” Sedapat mungkin dilakukan pengklasifikasian per aktivitas, jika tidak bisa maka pembagian proporsi hasil usaha dilihat dari jumlah total aktivitasnya
    Yang harus diperhatikan disini adalah modal yang berasal dari utang baik utang jangka panjang maupun utang jangka pendek. Islam tidak melarang utang tapi juga tidak menganjurkannya. Rasulullah pernah tidak mau menyalatkan seseorang karena orang tersebut mati dalam keadaan memiliki utang. Sehingga sedapat mungkin dihindari berhutang. Apalagi jika utang tersebut mengandung unsure riba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi riba, juru tulisnya dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’ Tidak boleh menggunakan utang yang mengandung unsur riba untuk aktivitas perusahaan. Bagaimana jika sebagian aktivitas perusahaan terlanjur dijalankan dari utang? Maka harus dijelaskan secara jelas berapa jumlahnya dan digunakan dimana. Kemudian nanti hasilnya dibagi sesuai proporsi pembiayaan dari utang maupun pembiayaan dari pemilik modal. Proporsi hasil yang berasal dari utang dipisahkan dari laba perusahaan yang dibagi pada para pemilik modal. Laba dari utang ini sebaiknya disumbangkan untuk kegiatan sosial maupun keagamaan.
    3. Jenis-jenis Biaya yang Tidak Dapat Diakui
    Pada akuntansi konvensional segala macam pengeluaran atau pengorbanan ekonomis yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan, baik berhubungan langsung maupun tidak langsung dapat diakui sebagai biaya. Dalam akuntansi syariah tidak tiap pengeluaran bisa dianggap sebagai biaya. Pengeluaran yang tidak sesuai dengan syariat Islam tidak dapat diakui sebagai biaya. Contohnya :
    Pembelian barang haram seperti alkohol,babi,narkoba,rokok,dll
    Islam melarang jual beli barang-barang yang haram. Misalkan perusahaan membeli alkohol untuk suatu keperluan. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk mendapatkan alkohol itu tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi dianggap sebagai rugi karena Islam melarang pemanfaatan alkohol meskipun tidak diminum. Rasulullah dulu memerintahkan para sahabatnya agar membuang/menumpahkan khamr (minuman beralkohol). Para sahabat protes dengan alasan khamr ini tidak diminum dan hanya digunakan untuk hal lain..Akan tetapi Rasulullah tetap memerintahkan untuk membuangnya. Dari kisah ini dapat disimpulkan larangan membeli,menjual, memanfaatkan sesuatu yang haram.Pelakunya mendapatkan dosa dan kerugian di dunia maupun akherat.
    Asuransi
    Hai`ah Kibaril Ulama ( Majelis Ulama Besar) dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Dewan Fiqh Internasional) menetapkan haramnya seluruh jenis asuransi yang berjalan dengan sistem perdagangan, baik itu asuransi jiwa, barang, atau yang lainnya karena mengandung unsur untung-untungan atau judi. Bagaimana jika asuransi ini diwajibkan pemerintah atau perusahaan terlanjur membayar premi asuransi? Jika mendapatkan klaim perusahaan hanya boleh mengambil pokok asuransi yang dibayarkannya sisa lebihnya diinfakkan untuk umat. Sementara jika tidak mendapatkan klaim, pengeluaran yang dibayarkan pada perusahaan asuransi dianggap sebagai kerugian.
    Biaya suap
    Risywah (Suap) dalam Islam diharamkan. Rasulullah melaknat orang yang menyuap maupun orang yang disuap. Pengeluaran yang dikeluarkan tidak dapat diakui sebagai biaya tetapi dianggap sebagai kerugian. Hal ini tidak berlaku jika perusahaan melakukan suap karena terpaksa, jika tidak menyuap maka perusahaan tidak mendapatkan haknya. Pengeluaran ini dapat dianggap sebagai biaya.
    Infak, Sedekah,Wakaf,
    Dalam konsep Islam segala pengorbanan kita baik itu berupa materiil maupun non materiil bukanlah sebagai biaya. Akan tetapi dianggap sebagai investasi. Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 261 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dari ayat ini dapat disimpulkan pengeluaran yang dilakukan di jalan Allah kelak akan mendapatkan gantinya sebesar 700 kali lipat.
    Pembayaran bunga bank
    Sudah sangat jelas bahwa bunga bank termasuk riba yang haram. Oleh karena itu tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi sebagai kerugian.
    Zakat
    Pembayaran zakat tidaklah dapat dianggap sebagai biaya karena sejak mulanya harta yang dizakatkan itu bukanlah milik perusahaan tetapi milik orang-orang yang berhak dizakati baik itu fakir miskin dan selainnya. Oleh karena itu pembayaran zakat tidak dihitung sebagai biaya tetapi dihitung sebagai pengembalian asset milik orang lain.
    Aktivitas yang bertentangan dengan syariat Islam
    Segala macam tindakan yang tidak dibenarkan oleh Islam yang dilakukan perusahaan tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi dianggap sebagai kerugian.

    YAYAT SURYANA (073403014) said:
    Februari 28, 2009 pukul 3:35 pm

    Fiqih Mu’amalah Akuntansi
    http://marsudi.mei-azzahra.com
    Dr. Husen Syahatah (dalam Muhammad Syakir Sula, 2004, hal 390) Pakar akuntansi dari Mesir menjelaskan beberapa prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi pegangan bagi seorang akuntan terutama dalam menyusun neraca keuangan : 1) Amanah, 2) Mishdaqiyah 3) Diqqah 4) Tauqit 5) Adil 6) Tibyan.
    Amanah.
    Orang yang menyiapkan laporan hitungan akhir dan neraca keuangan harus bersifat amanah dalam semua informasi dan keterangan yang di paparkannya. Ia hendaklah memaparkan apa-apa yang dianggap layak dan menyembunikan rahasia-rahasia yang wajib ia jaga secara syar’i. Sifat amanah ini dituntut dalam semua jenis aktivitas manusia. Ketika putri Nabi Syuaeb mengusulkan untuk mempekerjakan Nabi Musa, fokus usulan waktu itu ialah faktor kekuatan sifat amanah, seperti yang dijelaskan dalam Al-quran (Al-Qashash:26 ) : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.
    Oleh karena itu, seorang akuntan yang memberika informasi-informasi keuangan yang didalamnya terdapat pemalsuan data, penipuan, dan pembodohan dianggap sebagai penghianat terhadap amanah yang telah diterimanya sebagai orang yang di percaya untuk menyusun data-data hitungan akhir tahun dan neraca keuangan. Ia juga dianggap sebagai penghianat terhadap dirinya sendiri, terhadap orang yang mempekerjakannya, terhadap orang yang menggunakan data-data itu, serta juga dianggap sebagai penghianat terhadap Allah.
    Misdaqiyah. ( Sesuai Realitas ).
    Didalam akuntansi yang dimaksud dengan misdaqiyah secara umum ialah menyiapkan hitungan-hitungan akhir serta neraca-neraca keuangan. Adapun secara husus ialah bahwa keterangan-keterangan dan informasi yang ada harus benar dan sesuai dengan realitas serta tidak ada kebohongan dan kecurangan karena data-data tersebut merupakan kesaksian, sebagaimana firman Allah ( Al-Furqaan: 72 ): Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
    Di antara hadist Rosulullah yang menerangkan jujur dalam mu’amalah adalah :
    ” Jual beli itu dengan khiar selagi keduanya ( penjual dan pembeli ) belum berpisah, maka jika keduanya jujur dan benar, mereka akan diberkati dalam hal jual beli mereka. Akan tetapi, jika mereka saling merahasiakan dan berdusta, lenyaplah keberkatan jual beli mereka”.
    Rasulullah adalah seorang saudagar yang jujur, seperti yang digambarkan dalam hadist tersebut, ” Seorang pedagang jujur lagi dipercaya akan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada pada hari kiamat” (HR Bukhari).
    Diqqah ( Cermat dan Sempurna ).
    Yang dimaksud dengan diqqah berbuat sebaik-baiknya dan menyempurnakan pekerjaan, seperti yang digambarkan Al-quran : (Alkahfi: 30): Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.
    Di antara syarat-syarat diqqah ”ketelitian dan kesempurna” dalam menyiapkan hitungan-hitungan neraca keuangan adalah harus mematui atau komitmen terhadap kaidah-kaidah resmi akuntansi, peraturan-peraturan atau petunjuk yang telah ditetapkan secara syar’i. Diqqah juga tidak mungkin terealisasi kecuali jika akuntannya bersifat amanah, jujur dan mengetahui batasan-batasan tugasnya serta bagaimana ia menjalankannya.
    Seorang akuntan juga harus meminta bantuan kepada orang-orang yang berpengalaman dan ahli jika keadaan menuntut begitu, sebagaimana pasti ia juga memerlukan bantuan dengan metode-metode atau perangkat-perangkat ilmiah yang dapat mewujudkan keadaan diqqah, seperti sebuah mesin hitung atau komputer.
    Tauqit ( Penjadwalan yang Tepat ).
    Yang dimaksud dengan tauqit adalah hasil-hasil hitungan dan neraca-neraca keuangan dapat diselesaikan dalam batas waktu yang telah ditetapkan tanpa mengulur-ulur waktu sehingga tidak mengurangi manfaat dan efesiensi kerja. Juga harus mencantumkan penanggalan dalam laporan itu, hal ini ditegaskan Al-Qur’an (Al-Baqarah : 282 ) :
    ” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. Dalam ayat yang sama dilanjutka ” dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
    Adil dan Netral.
    Sifat amanah dan jujur akan menimbulkan sifat komitmen seorang akuntan, Yaitu yang akan menyiapkan laporan hitungan akhir dan neraca keuangan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran, sikap netral tanpa basa basi atau sungkan dan segan, sebab kebenaran lebih utama untuk diikuti, Allah telah menunjukan hal itu dalam ayat piutang berikut ini ( Al-Baqarah 282 ).
    ” dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,”.
    Tibyan ( Transparan ).
    Yang dimaksud dengan tibyan adalah penyajian data-data yang jelas dan tidak ada keterangan apapun yang disembunyikannya terhadap penggunaan data-data tersebut, yang tentunya masih dalam batas-batas kaidah yang lalu, yaitu diantaranya amanah, jujur, diqqah, cermat dan sempurna tauqit penjadwalam yang tepat dan adil. Ini karena tidaklah mungkin data-data penghitungan akhir sebuah neraca berdasarkan tsiqah dan manfaat itu akan berhasil tnpa adanya kejelasan dan ketegasan yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah dan kebiasan-kebiasan resmi serta aturan-aturan perakuntansian.Tidaklah ada ada kaidah khusus yang menentukan tingkatan atau derajat tibyan itu, karena setiap posisi mempunyai tingkatan tibyan tersendiri. Akan tetapi kaidah-kaidah global atau umum yang mungkin dapat dipedomani ialah sebagai berikut:
    ” La dharara wala dhirar ” tidak bermadharat baginya dan tidak pula bagi orang lain.
    ” La iftrath wala tafrith tidak berlebih-lebihan dalam sesuatu dan tidak pula terlalu berkurang atau lali.
    ” daf’u dharar akbar bi dharar aqall ” menolak mudharat yang lebih besar dengan mudharat yang lebih kecil’.

    bayu nurzaman(063403102) said:
    Maret 1, 2009 pukul 9:14 am

    Dasar Hukum dan Karakteristik Akuntansi Syariah

    konsep akuntansi yang harus
    dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan
    yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai
    dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang
    menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan
    tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban
    di akhirat, dimana setiap orang akan
    mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan
    yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang
    mencatat semua tindakan manusia bukan saja di bidang
    ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan
    pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
    2.Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
    3.Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
    4.Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
    5.Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
    6.Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
    7.Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
    Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
    1.Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
    2.Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
    3.Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
    4.Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
    5.Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
    6.Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
    Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
    Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
    Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

    Riska Aprilia said:
    Maret 2, 2009 pukul 11:44 am

    Riska Aprilia (073403119)

    Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank

    Oleh Ari A. Perdana

    Untuk pinjaman, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif?
    Dari berbagai perdebatan soal ekonomi Islam vs. konvensional (baca: kapitalisme), perbandingan mengenai praktek pembiayaan dan transaksi finansial adalah yang paling sering dibahas. Selain paling sering, perdebatan di ranah ini juga yang paling spesifik dan terstruktur dibandingkan, misalnya, persoalan moralitas dan keadilan.
    Hal ini tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah ekonomi modern. Penemuan mekanisme pembiayaan transaksi, yang mendorong lahirnya sistem dan lembaga keuangan, adalah hal yang tak terpisahkan dalam kapitalisme. Uang adalah ”darah” perekonomian. Adanya institusi yang kuat untuk mengatur peredaran uang adalah kunci kemajuan perekonomian.
    Perbedaan (dan pembedaan) antara sistem keuangan dan perbankan Islam dan konvensional berujung pada satu pertanyaan: apakah bunga halal atau haram (riba)? Perdebatan ini sudah berlangsung lama. Masing-masing pihak–baik yang mengatakan haram atau tidak–punya argumen yang valid. Tulisan ini tidak akan masuk ke ranah fikih perdebatan itu. Tapi, katakanlah bunga bank itu haram. Lalu apa? Solusi apa yang ditawarkan oleh pemikiran ekonomi Islam dalam hal transaksi keuangan?
    Menurut para pengusungnya, jawaban Islam adalah bagi hasil dan bagi risiko. Ada tiga skema yang ditawarkan: mudharabah, musyarakah dan murabahah. Dalam skema mudharabah, seorang atau sekelompok investor memercayakan uang mereka pada satu pihak atau lembaga untuk dikelola ke dalam kegiatan yang produktif. Keuntungan dari pengelolaan uang itu akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Sebaliknya, kerugian yang terjadi juga akan dibagi sesuai perjanjian.
    Praktek musyarakah pada dasarnya mirip dengan mudharabah. Bedanya, dalam musyarakah pihak pengelola uang juga ikut menanamkan uangnya. Menurut proponen ekonomi Islam, ada dua hal yang membedakan praktek mudharabah dan musyarakah dengan praktek bunga konvensional. Pertama adalah unsur bagi risiko (risk-sharing). Kedua, besarnya nisbah bagi hasil ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama, bukan ditetapkan sebelumnya seperti dalam bunga konvensional.
    Model bagi hasil dan bagi risiko memiliki kelebihan. Dalam model ini, pihak yang mengelola dana akan dipaksa untuk melakukan kalkulasi yang matang dalam memilih kegiatan ekonomi untuk dibiayai. Inilah yang menjadi alasan mengapa bank-bank syariah umumnya relatif lebih aman dan sehat. Saat krisis ekonomi menyebabkan kolapsnya sejumlah bank konvensional, bank-bank syariah tidak ikut kolaps, bahkan menjamur setelahnya.
    Kritik Konsep Bagi Risiko
    Tapi, ada tiga hal yang bisa dikritisi dari konsep ini. Pertama, harus diingat bahwa praktek perbankan yang sehat seperti ini akan bisa terjadi jika skala uang yang berputar relatif kecil. Artinya, untuk tetap sehat dan aman, perbankan syariah memang tak bisa menjadi besar. Konsekuensinya, jika perbankan syariah akan tetap kecil, kemampuannya menjadi penggerak ekonomi juga tidak akan signifikan. Sebaliknya, jika aset dan dana yang dikelola bank syariah jauh lebih besar dari yang ada sekarang, maka kapasitas yang ada sekarang akan terbatas. Bank syariah pun akan dihadapkan pada problem yang sama dengan yang dihadapi perbankan konvensional.
    Kedua, seberapa konsisten perbankan syariah menjalankan praktek bagi hasil dan bagi risiko tanpa adanya rasio bagi hasil yang ditetapkan sebelumnya? Jika hal ini dijalankan konsisten, harusnya bank akan memiliki kontrak individual yang berbeda-beda untuk tiap nasabah. Ini bisa dijalankan jika jumlah nasabah yang dikelola relatif sedikit. Jika jumlah nasabahnya banyak, biaya transaksi untuk memberlakukan kontrak spesifik akan makin membengkak, sehingga mungkin sekali tidak efisien bagi pihak bank.
    Faktanya, semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil secara ex-ante, baik untuk simpanan maupun pinjaman. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga.
    Untuk pinjaman, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan tambahan: seberapa jauh bank syariah konsisten dengan kritiknya terhadap bunga yang dianggap memberatkan dan eksploitatif.
    Ketiga, pertanyaan lain adalah ke mana bank syariah memutarkan dana nasabah. Secara prinsip, dana yang dihimpun oleh bank syariah hanya dibenarkan untuk membiayai kegiatan produktif yang halal. Artinya, bank syariah tidak dibenarkan memutar kembali uangnya di kegiatan-kegiatan spekulatif atau menanamkan dananya di investasi berbasiskan bunga.
    Seberapa konsisten bank syariah dalam menjalankan usahanya bisa dilihat dari besaran nisbah bagi hasil yang ditawarkan dari waktu ke waktu. Jika bank syariah benar-benar memutar dana nasabah ke kegiatan produktif, kita akan melihat pergerakan nisbah bagi hasil antar waktu yang lebih fluktuatif dari pergerakan bunga konvensional.
    Faktanya, merujuk pada statisik bulanan yang dikeluarkan oleh Divisi Syariah Bank Indonesia, fluktuasi nisbah bagi hasil bersih rata-rata hampir sama dan sebangun dengan pergerakan suku bunga deposito bank konvensional. Sebagai perbandingan, ekonom Timur Kuran (2004) menemukan hal yang sama di Turki. Pergerakan yang sejalan ini mengindikasikan besarnya kemungkinan bahwa dalam mengelola dana nasabahnya, bank syariah masih menanamkan uang di sektor investasi berbasiskan bunga. Setidaknya, kondisi ideal bahwa seluruh dana ditanamkan di kegiatan produktif tidak terjadi.
    Bentuk pembiayaan yang ketiga, murabahah, sederhananya adalah mark-up. Seorang konsumen ingin membeli mobil tetapi tidak punya uang. Ia bisa datang ke bank atau lembaga keuangan syariah yang akan membeli mobil tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, si konsumen akan membayar kembali ke bank ditambah jumlah tertentu. Di kalangan praktisi ekonomi Islam sendiri ada perdebatan mengenai kehalalan model transaksi ini. Beberapa pihak menganggap transaksi murabahah termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai ”bunga siluman”.
    Menariknya, transaksi murabahah ini adalah model yang paling populer di banyak negara yang punya sistem perbankan Islam. Timur Kuran menyebutkan bahwa 80-90 persen transaksi bank Islam di dunia menggunakan metode ini. Di tahun 1980-an, 80 persen portfolio aset milik Islamic Development Bank juga berasal dari pembiayaan murabahah.
    Polemik Seputar Murabahah
    Ada juga yang menilai murabahah tidaklah haram, atas tiga alasan. Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha, bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode sudah dibelinya barang dan kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen.
    Terlepas dari apakah murabahah termasuk transaksi yang halal, haram atau syubhat, fakta menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara substansinya dengan bunga. Artinya, kalau murabahah bisa dianggap halal, pengharaman atas bunga menjadi sesuatu yang aneh dan tidak konsisten. Selain itu, argumen bahwa nilai mark-up adalah kompensasi atas risiko yang ditanggung justru menjadi kontradiksi, karena di saat yang sama proponen ekonomi Islam tetap menolak justifikasi bunga sebagai kompensasi atas risiko.
    Artinya, fakta bahwa murabahah adalah model pembiayaan yang paling populer menunjukkan ketidakmampuan ekonomi Islam dalam memberi jawaban atas haram dan eksploitatifnya sistem bunga.
    Tulisan ini hendaknya dijadikan tantangan bagi proponen ekonomi Islam untuk terus menemukan praktek keuangan dan perbankan yang otentik sekaligus tetap relevan dengan tantangan ekonomi modern. Alternatifnya adalah mendefinisikan kembali pemahaman dan posisi Islam mengenai bunga bank.

    Prasetya Dekawati said:
    Maret 3, 2009 pukul 1:17 pm

    Prasetya Dekawati
    073403035
    PERBEDAAN AKUNTANSI BIAYA KONVENSIONAL DENGAN AKUNTANSI BIAYA BERBASIS SYARIAH
    1. Klasifikasi Biaya
    Pada akuntansi biaya konvensional,biaya secara umum diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
    1. Biaya Tetap : biaya yang jumlahnya tetap meskipun aktivitas bisnis naik atau turun.
    2. Biaya Variable: biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan aktivitas bisnis.
    3. Biaya Semivariable: biaya yang memiliki karakterisktik biaya tetap dan variable.
    Dalam Islam harus ada kejelasan tidak boleh ada unsur yang samar (gharar) sehingga penetapan biaya dilakukan per aktivitas. Contohnya pada aktivitas A. Perhitungan biayanya dirinci sesuai dengan biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk aktivitas tersebut. Sehingga nanti akan ada Biaya tetap aktivitas A, Biaya variable aktivitas A, Biaya Semi variable aktivitas A. Yang jadi masalah adalah sulitnya untuk menentukan secara tepat berapa biaya tetap yang benar-benar terpakai untuk suatu aktivitas. Allah berfirman “ Bertakwalah kepada Allah semampu kalian”. Allah juga berfirman “Allah tidak akan membebani manusia apa-apa yang tidak dapat dipikulnya”. Oleh karena itu sedapat mungkin harus dicari biaya yang benar-benar terpakai baik dengan metode High and Low Point, metode Scattergraph, atau dengan metode Kuadrat Terkecil. Nantinya jika jumlahnya tidak benar-benar tepat, maka tidak mengapa.

    2. Sistem Perhitungan Biaya
    Pada akuntansi biaya konvensional dikenal empat macam sistem perhitungan biaya yaitu:
    1. Job Order Costing : biaya diakumulasikan untuk setiap batch, lot, atau pesanan pelanggan.
    2. Process Costing: biaya diakumulasikan berdasarkan proses produksi atau berdasarkan departemen.
    3. Metode Campuran : campuran dari job order costing dan process costing
    4. Backflush Costing : biaya diakumulasikan secara sangat cepat seperti pada sistem just in time yang sudah matang.
    Dalam Akutansi Islam lebih ditekankan pada darimana pembiayaan proses produksi barang/jasa. Produksi suatu barang/jasa harus qath’i (jelas) darimana biayanya. Misalkan dalam produksi barang A digunakan 100% dari modal Tuan A. Sedangkan pada produksi barang B, dananya 50% dari Tuan Fulan 50% dari Tuan Allan.. Hal ini akan menentukan besarnya jumlah bagi hasil yang diberikan pada tiap-tiap pemilik modal.
    Hal di atas adalah perhitungan yang ideal. Perhitungan ini mudah dilakukan pada entitas-entitas bisnis berskala kecil yang kegiatannya masih sederhana. Tapi bagaimana dengan entitas bisnis berskala besar yang modalnya berasal dari puluhan atau bahkan ratusan orang? Pengklasifikasian ini tentu akan sangat sulit. Maka kita kembali pada ayat “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” Sedapat mungkin dilakukan pengklasifikasian per aktivitas, jika tidak bisa maka pembagian proporsi hasil usaha dilihat dari jumlah total aktivitasnya
    Yang harus diperhatikan disini adalah modal yang berasal dari utang baik utang jangka panjang maupun utang jangka pendek. Islam tidak melarang utang tapi juga tidak menganjurkannya. Rasulullah pernah tidak mau menyalatkan seseorang karena orang tersebut mati dalam keadaan memiliki utang. Sehingga sedapat mungkin dihindari berhutang. Apalagi jika utang tersebut mengandung unsure riba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, memberi riba, juru tulisnya dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’ Tidak boleh menggunakan utang yang mengandung unsur riba untuk aktivitas perusahaan. Bagaimana jika sebagian aktivitas perusahaan terlanjur dijalankan dari utang? Maka harus dijelaskan secara jelas berapa jumlahnya dan digunakan dimana. Kemudian nanti hasilnya dibagi sesuai proporsi pembiayaan dari utang maupun pembiayaan dari pemilik modal. Proporsi hasil yang berasal dari utang dipisahkan dari laba perusahaan yang dibagi pada para pemilik modal. Laba dari utang ini sebaiknya disumbangkan untuk kegiatan sosial maupun keagamaan.
    3. Jenis-jenis Biaya yang Tidak Dapat Diakui
    Pada akuntansi konvensional segala macam pengeluaran atau pengorbanan ekonomis yang berhubungan dengan aktivitas perusahaan, baik berhubungan langsung maupun tidak langsung dapat diakui sebagai biaya. Dalam akuntansi syariah tidak tiap pengeluaran bisa dianggap sebagai biaya. Pengeluaran yang tidak sesuai dengan syariat Islam tidak dapat diakui sebagai biaya. Contohnya :
    •Pembelian barang haram seperti alkohol,babi,narkoba,rokok,dll
    Islam melarang jual beli barang-barang yang haram. Misalkan perusahaan membeli alkohol untuk suatu keperluan. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk mendapatkan alkohol itu tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi dianggap sebagai rugi karena Islam melarang pemanfaatan alkohol meskipun tidak diminum. Rasulullah dulu memerintahkan para sahabatnya agar membuang/menumpahkan khamr (minuman beralkohol). Para sahabat protes dengan alasan khamr ini tidak diminum dan hanya digunakan untuk hal lain..Akan tetapi Rasulullah tetap memerintahkan untuk membuangnya. Dari kisah ini dapat disimpulkan larangan membeli,menjual, memanfaatkan sesuatu yang haram.Pelakunya mendapatkan dosa dan kerugian di dunia maupun akherat.
    •Asuransi
    Hai`ah Kibaril Ulama ( Majelis Ulama Besar) dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Dewan Fiqh Internasional) menetapkan haramnya seluruh jenis asuransi yang berjalan dengan sistem perdagangan, baik itu asuransi jiwa, barang, atau yang lainnya karena mengandung unsur untung-untungan atau judi. Bagaimana jika asuransi ini diwajibkan pemerintah atau perusahaan terlanjur membayar premi asuransi? Jika mendapatkan klaim perusahaan hanya boleh mengambil pokok asuransi yang dibayarkannya sisa lebihnya diinfakkan untuk umat. Sementara jika tidak mendapatkan klaim, pengeluaran yang dibayarkan pada perusahaan asuransi dianggap sebagai kerugian.
    •Biaya suap
    Risywah (Suap) dalam Islam diharamkan. Rasulullah melaknat orang yang menyuap maupun orang yang disuap. Pengeluaran yang dikeluarkan tidak dapat diakui sebagai biaya tetapi dianggap sebagai kerugian. Hal ini tidak berlaku jika perusahaan melakukan suap karena terpaksa, jika tidak menyuap maka perusahaan tidak mendapatkan haknya. Pengeluaran ini dapat dianggap sebagai biaya.
    •Infak, Sedekah,Wakaf,
    Dalam konsep Islam segala pengorbanan kita baik itu berupa materiil maupun non materiil bukanlah sebagai biaya. Akan tetapi dianggap sebagai investasi. Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 261 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Dari ayat ini dapat disimpulkan pengeluaran yang dilakukan di jalan Allah kelak akan mendapatkan gantinya sebesar 700 kali lipat.
    •Pembayaran bunga bank
    Sudah sangat jelas bahwa bunga bank termasuk riba yang haram. Oleh karena itu tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi sebagai kerugian.
    •Zakat
    Pembayaran zakat tidaklah dapat dianggap sebagai biaya karena sejak mulanya harta yang dizakatkan itu bukanlah milik perusahaan tetapi milik orang-orang yang berhak dizakati baik itu fakir miskin dan selainnya. Oleh karena itu pembayaran zakat tidak dihitung sebagai biaya tetapi dihitung sebagai pengembalian asset milik orang lain.
    •Aktivitas yang bertentangan dengan syariat Islam
    Segala macam tindakan yang tidak dibenarkan oleh Islam yang dilakukan perusahaan tidak dapat dianggap sebagai biaya tetapi dianggap sebagai kerugian.

    RENI RUSMIYATI said:
    Maret 3, 2009 pukul 3:17 pm

    RENI RUSMIYATI KELAS B (073403053)

    URGENSI STANDARISASI AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH

    Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc
    Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Kita mengetahui bahwa diantara kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini.
    Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan kalangan perbankan konvensional. Bahkan jika kita melihat pada Al-Quran, maka kebutuhan pencatatan transaksi dalam sebuah sistem akuntansi yang tertata merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah : 282, dimana Allah SWT berfirman : ¡°Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…¡±.
    Tentu saja, kalau kita kaitkan ayat tersebut dengan konteks perbankan kontemporer, maka memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Namun yang perlu kita perhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada perbankan syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi perbankan konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu, keduanya memiliki persamaan-persamaan. Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.
    Mekanisme Dasar Bank Syariah
    Sebagai sebuah lembaga intermediasi keuangan, mekanisme dasar bank syariah adalah menerima deposito dari pemilik modal (depositor) pada sisi liability-nya (kewajiban) untuk kemudian menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-free current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor. Sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.
    Untuk mencapai tujuan akuntansi yang bersifat standar, maka struktur dasar aktivitas investasi dapat kita bagi kedalam dua bagian, yaitu pertama, unrestricted investment accounts (rekening investasi tanpa batasan) dan yang kedua, yaitu restricted investment accounts (rekening investasi dengan batasan). Adapun maksud poin yang pertama adalah bank Islam memiliki kebebasan untuk menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara bersama-sama dengan modal pemilik bank. Sedangkan maksud pada poin yang kedua adalah pihak bank hanya bertindak sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang diterimanya dengan modal pemilik banknya tanpa persetujuan investor. Selain kedua hal tersebut, bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu, pada aspek pengenalan (recognition), pengukuran (measurement), dan pencatatan (recording) setiap transaksi pada sistem akuntansi bank syariah terdapat kesamaan dengan proses-proses yang terjadi pada sistem konvensional.
    Tujuan Akuntansi Keuangan
    Untuk menjaga konsistensi, baik yang bersifat internal maupun eksternal bank, maupun untuk menjamin kesesuaiannya dengan syariat Islam, maka kita perlu mendefinisikan tujuan standarisasi akuntansi keuangan pada bank syariah. Hal ini juga sebagai upaya untuk memberikan panduan umum didalam menentukan sejumlah pilihan berdasarkan alternatif-alternatif yang ada. Adapun tujuan sistem akuntansi keuangan ini adalah pertama, untuk menentukan hak dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan, seperti para depositor dan pemilik bank. Kemudian yang kedua adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan aset bank syariah, termasuk menjamin hak bank yang bersangkutan dan hak stakeholder lainnya. Yang ketiga, menjamin perbaikan manajemen dan kapabilitas produktif bank syariah agar senantiasa selaras dengan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan yang keempat adalah untuk menyediakan laporan keuangan yang berguna bagi para pemakainya ¡ªseperti pemegang saham, pemilik rekening, otoritas fiskal, dll¡ª sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang legitimate didalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan pihak bank syariah.
    Agar sebuah laporan keuangan tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka kualitas informasi yang diberikan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (i) asas manfaat, terutama bagi pihak pemakainya; (ii) relevansi antara laporan keuangan tersebut dengan tujuan pelaporannya; (iii) tingkat kepercayaan; (iv) komparabilitas, artinya dapat diperbandingkan berdasarkan periode waktu tertentu; (v) konsistensi, artinya metode yang digunakan konsisten dan tidak mudah berubah; dan (vi) mudah dipahami, serta tidak multi interpretasi. Selain keenam hal tersebut, informasi yang diberikan juga harus mencakup beberapa aspek. Pertama, informasi yang tersedia harus mampu menggambarkan pencapain tujuan yang ada dan konsistensinya dengan syariat. Jika bank melakukan deal pada transaksi yang diharamkan, misalnya terkait dengan sistem riba, maka harus dijelaskan secara detil mengenai pemisahan pencatatan transaksi tersebut. Dan yang kedua, informasi tersebut harus mampu membantu pihak luar bank untuk mengevaluasi rasio kecukupan modal, resiko investasi, likuiditas, dan berbagai aspek finansial perbankan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, sehingga kredibilitas bank dapat dipertanggungjawabkan.
    Tantangan kedepan
    Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun sistem auditing dan akuntansi yang bersifat standar bagi kalangan perbankan syariah. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh AAOIFI (the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang berbasis di Bahrain. Sejak berdiri pada tahun 1991, lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun tentu saja, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pakar dan praktisi perbankan syariah. Hal ini dikarenakan tantangan yang semakin besar, termasuk bagaimana bersaing secara sehat dan produktif dengan kalangan perbankan konvensional.
    Diantara tantangan yang terberat kedepannya adalah bagaimana menciptakan standar metodologi akuntansi terhadap beragam tipe pola atau skema pembiayaan perbankan syariah yang dapat diterima secara internasional. Kemudian juga adalah tantangan regulasi yang secara umum belum menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap sektor perbankan syariah. Namun penulis berkeyakinan, bila semua pihak tetap konsisten didalam menegakkan konsep perbankan syariah secara utuh, maka lambat laun perbankan syariah kedepannya memiliki harapan untuk dapat menggantikan sistem perbankan konvensional. Semoga. Wallahu`alam.
    Ditulis oleh:
    Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM IPB dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia)
    dan
    Laily Dwi Arsyianti (Mahasiswa Program S2 Keuangan Syariah IIU Malaysia)

    DINIATY YUSUF KELAS B (073403042) said:
    Maret 3, 2009 pukul 3:54 pm

    Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah

    Pendahuluan
    Menggeliatnya perkembangan sistem Ekonomi Islam pada masa kini seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku ekonomi. Sistem ekonomi konvensional (termasuk di dalamnya akuntasi) terbukti tidak mampu lagi bisa menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama semakin kompleks. Ilmu ekonomi konvensional yang kelihatannya anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.

    Hal ini didasarkan pada falsafahnya, materialisme, yang memandang manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari ruh manusia itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan analisisnya hanya berpijak pada pandangan dunia yang sempit karena semua diukur dari aspek kebendaan.1 Ada sisi lain yang selama ini ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan psikologis, spiritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

    Akutansi modern yang bersifat value-free sebagai salah satu bagian dari sistem ekonomi selama ini juga dirasakan hanya berpihak pada sebagian kecil dari pelaku ekonomi saja. Pengaruh stockholders dirasa begitu kuat dan dominan sehingga laporan keuangan lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan mereka yang memiliki modal dan mengabaikan tujuan dasar dari akutansi itu sendiri yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas (kekuatan untuk dipertanggungjawabkan) terhadap kondisi riil yang ada kepada publik sebagai obyek, pihak yang juga punya hak untuk mempertanyakannya. Ia mempunyai celah yang lebar dan luas untuk dipermainkan untuk kepentingan satu pihak.

    Tulisan ini mencoba membandingkan formasi pertanggungjawaban (akuntabilitas) sebagai salah satu tujuan dasar dalam akutansi menurut kaca mata konvensional dan shari’ah.

    Pembahasan
    Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).

    Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).4

    Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:

    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
    Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
    Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
    Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
    Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
    Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5

    Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.

    Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

    Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia7 karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

    Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

    Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. Bukankah Allah telah menyatakan:

    أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nyatakan dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.8

    Untuk selanjutnya segala keputusan dan kebijakan yang diambil berdasarkan laporan akuntan diharapkan bisa menjadi “ibadah lanjutan” dari “ibadah” sebelumnya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah”.9

    Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11

    Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.

    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

    “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.12

    إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

    “Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktu)nya. Agar setiap jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai dengan hasil usahanya”.13

    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan”.14

    Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

    Kesimpulan
    Tujuan dasar akuntansi sebagai alat penyampai informasi dan akuntabilitas hanya benar-benar bisa tercapai apabila akuntansi dan para akuntan itu sendiri diikat oleh “seperangkat aturan” yang mempunyai nilai lebih dari sekedar seperangkat aturan ciptaan manusia. Akutansi modern yang bersifat value-free ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang makin kompleks karena sifatnya yang harus bebas nilai. Ia masih mempunyai celah yang lebar untuk direkayasa demi kepentingan satu pihak karena tidak adanya spirit dan ruh yang jelas untuk dipedomani.
    Akutansi shari’ah telah memberikan nilai pencerahan dan menyelamatkan masa depan akutansi. Karena Islam mendudukkan pada setiap pekerjaan dalam sebuah organisasi ataupun individu dengan nilai “ibadah”. Ibadah dalam bentuk individu akan berbuah pada ibadah sosial. Ibadah sosial akan membentuk individu-individu yang beribadah. Sehingga tujuan dasar dari akutansi sebagai alat penyampai informasi bisa benar-benar mempunyai nilai akuntabilitas yang tinggi dan bisa diambil kebijakan selanjutnya dalam pengendalian sebuah organisasi yang dilaporkan. Ini bukan suatu kemustahilan.

    Bibliografi
    Antonio, Syafi’i, M., Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
    Arifin, Syamsul, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: Sipress, 1996.
    Harahap, Sofyan Syafri, Akutansi Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001.
    Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: AMP YKPN, tt.
    _________, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
    _________, Teori Akutansi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999.
    Tiyuwono, Iwan, Organisasi dan Akutansi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2000.
    _________, “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah”‘ Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997.
    __________, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.
    1 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 252.

    2 Iwan Triyuwono, “Akutansi Syari’ah dan Koperasi Mencari Bentuk dalam Metafora Amanah” Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia, vol I no. 1, Mei 1997, 3-4.

    3 Akutansi dan …, 27.

    4 Lihat Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akutansi Syari’ah (Yogyakarta: LkiS, 2000), xiv.

    5 Sofyan Syafri Harahap, Teori Akutansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), 98-99.

    6 Stockholders adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham perusahaan. Entity adalah perusahaan sebagai sebuah entitas yang terlepas dari stockholders.

    7 Syamsul Arifin, Agus Purwadi dan Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), 76-77.

    8 Q.S al-Mulk, 14.

    9 Q.S al-Dzariat, 56.

    10 Lihat: Sofyan Syafri Harahap, Akutansi Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), 154-155.

    11 Lihat Iwan Triyuwono, Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuajn Dasar Laporan Keuangan Akutansi Shari’ah, disampaikan dalam Simposium Nasional 1 Ekonomi Islami oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FE-UI, 2002.

    12 Q.S al-Baqarah 30.

    13 Q.S Thaha, 15.

    14 Q.S al-Nur, 24.

    Penulis: M. Aqim Adlan

    Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

    Milan Ulfah Fauzani (073403044) kelas B said:
    Maret 5, 2009 pukul 11:58 am

    Benarkah Akuntansi Ada Didalam Islam??

    Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan (termasuk sebagian besar muslim di Indonesia), hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya dengan orang meragukan dan mempertanyakan seperti apakah ekonomi islam. Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam kapitalisme. Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun kelompok. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
    Akuntansi Syariah menjadi sebuah wacana yang menarik sejak sekitar tahun 1980an. Hal ini terjadi karena mulai munculnya berbagai lembaga keuangan yang mencoba berusaha dengan menerapkan prinsip-prinsip islam (Adnan, 2005). Ini menimbulkan tantangan besar bagi para pakar syariah Islam. Mereka harus mencari dasar bagi penerapan dan pengembangan standar akuntansi yang berbeda dengan standar akuntansi bank dan lembaga konvensional seperti yang telah dikenal selama ini. Standar akuntansi tersebut harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan Bank Islam dan atau Lembaga Keuangan Islam lainnya.

    Akuntansi di dalam Islam
    Berdasarkan penuturan allah dalam alquran ternyata pengelolaan sistem jagad dan manajemen alam ini ternyata allah menggunakan sistem yang mirip dengan apa yang sekarang kita kenal dengan akuntansi. Allah tidak membiarkan kita bebas tanpa monitoring dan pencatatan dari Allah. Allah memiliki malaikat Rakib dan Atid yang tugasnya mirip dengan tugas akuntan, yaitu mencatat setiap kegiatan maupun transaksi yang dilakukan oleh setiap manusia, yang menghasilkan buku yang disebut sijjin (Laporan Amal Baik) dan Illyin (laporan Amal Buruk), yang nantinya akan dilaporkan kepada kita di akhirat nanti untuk pertnggung jawaban. Hal ini disampaikan dengan jelas pada surat Al-Infithaar ayat 10-12
    Laporan ini didukung bukti dimana tidak ada satupun transaksi yang dilakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan allah, seperti yang terlihat pada surat Al-Zalzalah ayat 7-8
    Selain Allah selalu mencatat apa saja yang manusia kerjakan, Allah juga memerintahkan umat Islam agar melakukan pencatatan pada saat bermuamalah tidak secara tunai, yang dapat kita lihat pada surat Al-Baqarah ayat 282
    Muamalah disini diartikan seperti kegiatan jual-beli, berutang-piutang, sewa-menyewa dan sebagainya. Dari ayat ini dapat kita catat bahwa dalam islam sejak munculnya peradaban Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw, telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan diantara kedua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi (sekarang dikenal dengan nama Accountability) . Sedangkan pencatatan untuk tujuan lain seperti data untuk pengambilan keputusan tidak diatur. Karena ini sudah dianggap merupakan urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh kitab suci. Dan mengenai hal ini rasulullah mengatakan: ¡¨kamu lebih tahu urusan duniamu¡¨. Kesimpulannya akuntansi bagi islam adalah
    kewajiban dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof islam terkenal 700tahun kemudian tidak mengenal akuntansi(Harahap, 2003).
    Pengertian Akuntansi dalam Konsep Islam
    Dalam istilah islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki 2 pengertian pokok (Syahatah, 2001) yaitu:
    1). Muhasabah dengan arti musa-alah (perhitungan) dan munaqasyah (Perdebatan) . Proses musa-alah bisa diselesaikan secara individual atau dengan perantara orang lain, atau bisa juga dengan perantara malaikat, atau oleh allah sendiri pada hari kiamat nanti. 2). Muhasabah dengan arti pembukuan/pencatata n keuangan seperti yang diterapkan pada masa awal munculnya islam. Juga diartiakan dengan penghitungan modal pokok serta keuntungan dan kerugian. Muhasabah pun berarti pendataan, pembukuan, dan juga semakna dengan musa-alah (perhitungan) , perdebatan, serta penentuan imbalan/balasan seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga negara, lembaga baitul maal, undang-undang wakaf, mudharabah, dan serikat-serikat kerja. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian akuntansi (muhasabah) didalam islam adalah: 1). Pembukuan keuangan 2). Perhitungan, perdebatan, dan pengimbalan
    Kedua makna ini saling terkait dan sulit memisahkannya, yaitu sulit membuat perhitungan tanpa adanya data-data, dan juga data-data menjadi tak berarti tanpa perhitungan dan perdebatan.
    Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
    1. Akuntansi Zaman Nabi Yusuf as.
    Jika kita kaji kembali kisah-kisah para nabi di Al-Quran, maka seorang akuntan sewajarnya tertegun pada saat membaca kisah nabi yusuf. Dimana saat nabi yusuf mengartikan mimpi raja mesir, tercantum pada surat Yusuf ayat 46-49 .
    Dan seperti yang kita ketahui, kemudian datanglah hal yang seperti mimpi raja tersebut. Maka nabi Yusuf yang saat itu menjadi bendaharawan negara mengatur distribusi kekayaan kerajaan dan juga mengurus distribusi bantuan pangan bagi orang-orang yang terkena dampak kemarau panjang meskipun yang membutuhkan bantuan itu berasal
    dari negara lain. Tidaklah mungkin nabi yusuf dapat melakukan itu semua tanpa sistem pencatatan yang baik serta perhitungan yang akurat. Hanya saja karena masanya yang telah lama berlalu, sehingga sulit untuk menemukan bukti mengenai bagaimana cara pencatatan keuangan pada masa itu.
    2. Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam (syahatah, 2001)
    Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mngetahi dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan. Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai katibul amwal (pencatat keuangan) atau penanggung jawab keuangan.
    3. Konsep akuntansi pada awal munculnya Islam (Syahatah, 2001)
    Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan,perjudia n, pemerasan, monopoli, dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).
    Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Quran, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk menetahui utang-utang dan
    piutag serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu. Diantara undang-undang akuntansi yang telah diterapkan pada waktu itu ialah undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara.
    Dengan melihat sejarah peradaban islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.
    4. Akuntansi Setelah Runtuhnya Khilafah Islamiyah
    Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dujajahnya kebanyakan nagara islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasardisemua segi kehidupan ummat islam, termasuk di bidang muamalah keuangan.
    Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat. Untuk mengetahui bagai mana perkembangan akuntansi pada fase ini, mungkin dapat membaca pada buku-buku teori akuntansi.
    5. Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam (Syahattah, 2001)
    Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis.
    Wallahu a’lalam

    sumber : http://irfunk.multiply.com/journal/item/15/BENARKAH_AKUNTANSI_ADA_DALAM_ISLAM

    karianto,spa said:
    Mei 3, 2011 pukul 2:11 pm

    terimakasi atas artikelnya, moga ilmunya berkah selalu, amien.

    Chikachantiqka Miliknya Bobyboyist said:
    Juni 26, 2012 pukul 3:08 pm

    terima kasih , sangat mmbantu saya

    sony warsono said:
    Agustus 9, 2012 pukul 12:28 pm

    Saat ini ada buku “Al-Qur’an & Akuntansi: Menggugah pikiran Mengetuk relung qalbu” (Agustus 2012) yang membuktikan bahwa pengembangan awal akuntansi berlandas sepenuhnya pada Al-Qur’an. Bukti ini tidak semata-mata berdasar sesuatu yang bersifat interpretasi yang masih bisa diperdebatkan, tetapi berdasar perspektif matematika sederhana yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Buku tersebut juga menjelaskan tentang sejarah panjang perjalanan akuntansi, contoh-contoh kebenaran dalam kitab suci Al-Qur’an yang dewasa ini telah menjadi ilmu pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh manusia, dan telaah kritis pengembangan akuntansi di era modern berdasar QS. Al-Baqarah [2]: 282.

    Oregon freeze dry said:
    Desember 19, 2012 pukul 9:23 pm

    Heya i am for the primary time here. I came across this board and I to
    find It really helpful & it helped me out much. I hope to present one thing again and help others
    like you aided me.

    hcg menu said:
    Februari 7, 2013 pukul 6:03 pm

    Hello, Neat post. There’s an issue together with your website in web explorer, might check this? IE still is the marketplace chief and a large part of other folks will omit your fantastic writing because of this problem.

    http://google.com said:
    Februari 14, 2013 pukul 1:59 pm

    It seems like u understand plenty pertaining to this particular issue and that shows via this specific post, named “Kumpulan
    Artikel Akuntansi Syariah IMAN P. HIDAYAT”.
    Thanks -Ned

    incentivechannel.wordpress.com said:
    April 17, 2013 pukul 1:59 am

    Greate post. Keep posting such kind of info on your blog.
    Im really impressed by your site.
    Hey there, You have performed a great job. I will certainly digg it
    and in my opinion recommend to my friends. I’m sure they will be benefited from this website.

    Siti Hasma said:
    April 23, 2013 pukul 10:12 pm

    terima kasih

    hot tub repairs devon said:
    Juli 3, 2013 pukul 5:37 pm

    I hope all these tips listed above have given you and insight on losing weight without Dieting On Weekends has bagged
    recognition from the doctors.

Tinggalkan Balasan ke Selly Silviawati (063403193) Kls: B'06 Batalkan balasan